Hanya karena panggilan sejarah yang tak terelakkan, demi menghindari perpecahan bangsa yang baru merdeka, pemimpin besar perang kemerdekaan Amerika Serikat, George Washington, mau menerima pengangkatannya sebagai presiden AS yang pertama.
Setelah masa jabatan kepresidenan pertamanya berakhir, dia berniat kembali ke peternakannya. Namun, niat itu terpaksa ia urungkan mengingat kondisi republik muda masih goyah dirundung konflik elite kekuasaan.
Setelah masa jabatan kedua berakhir, dia bisa saja berkuasa lagi hingga kapan pun ia mau. Namun, kompas etis kepemimpinannya mengatakan enough is enough. Keberlangsungan republik tak boleh bergantung pada seseorang, sebesar dan sehebat apa pun orang itu. Tunas baru harus meneruskan estafet kepemimpinan.
Praktik kekuasaan Washington itu lalu menjadi standar etis masa bakti kepresidenan. Meski Konstitusi AS aslinya tak membatasi berapa kali seseorang bisa menjabat Presiden, setiap ada orang yang berhasrat mencalonkan lagi setelah dua kali terpilih, kepekaan rasa malunya selalu tak sanggup menghadapi pertanyaan gaib nurani publik, “Apakah Anda merasa lebih hebat dari Washington?”
Demikianlah, warisan terhebat pemimpin adalah standar dan visi etis yang ditinggalkannya. Sumbangsih kepempinanan tak ditentukan oleh berapa lama ia berkuasa, tetapi nilai apa yang dibudayakannya selama berkuasa.
Kepemimpinan negara itu pusat teladan ibarat mata air yang darinya mengalir sungai-sungai kehidupan yang memasok air ke hilir. Mutu air di hulu akan memengaruhi mutu kehidupan di hilir. Dalam demokrasi luhur adab, hukum berenang di lautan etika. Defisit institusi dan peraturan selalu bisa ditutupi kedalaman moralitas penyelenggara negara dan warganya.
Dalam demokrasi rendah adab, surplus pasal konsitusi dan undang-undang tak membuat kepastian dan tertib hukum, tetapi dicari celahnya untuk disiasati demi kepentingan sesaat. Setiap ada usaha mengembalikan konsitusi ke rel yang benar, selalu ada penumpang gelap yang membonceng, mencegat kewarasan dengan kesesatan.