Kemajuan peradaban bukan tanpa celah, termasuk di Indonesia. Salah satu pilar peradaban, yakni kebudayaan, mencatat kian mengalamani permasalahan yang cukup serius, terutama terkait terkikisnya nilai-nilai luhur. Berbagai catatan mengenai intoleransi, perundungan, dan kekerasan terjadi dan semakin berkembang dari tahun ke tahun seiring dengan kemajuan peradaban itu sendiri.
Terbaru, data Survei Penetrasi Internet dan Perilaku Pengguna Internet di Indonesia yang dirilis Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat, terdapat 49% dari 5.900 responden pengguna media sosial di Indonesia pernah mengalami cyber bullying. Padahal, pengguna media sosial di Indonesia terkini, lebih banyak dipenuhi oleh pengguna di rentang usia “anak muda”.
Catatan di atas menunjukkan, kebudayaan yang berkembang mengalami kemunduran sangat pesat. Nilai-nilai yang dianggap warisan luhur dari peradaban mencapai titik nadir, terkikis, adalah suatu fakta yang sulit dibantah.
“Potensi kemanusiaan kita diuji, salah satunya rasa kepada sesama manusia dan alam semesta,” papar Linda Restaningrum, Asisten Deputi Pemberdayaan Pemuda Kemenko PMK RI (21/09/2022).
Merespons permasalahan tersebut, Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UIN Syarif Hidayatulllah menyelenggarakan kuliah umum (public lecture) bersama Yudi Latif, Ph.D., salah seorang intelektual kini menjadi Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan/PSIK-Indonesia) dengan tajuk “Pendidikan Berkebudayaan: Melawan Intoleransi, Perundungan, dan Kekerasan di Kalangan Muda.”
“Ini (kuliah umum) menjadi sangat penting, mengingat peran pendidikan khususnya calon pendidik itu sangat krusial, bagaimana bisa mengurangi praktik-praktik yang tidak manusiawi, yaitu praktik kekerasan, perundungan, bullying, dan intoleransi,” ungkap Dr. Sunaryo, Direktur Eksekutif Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia.
Bekerja sama dengan Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia (PSIK Indonesia), dan Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) Indonesia, kuliah umum diselenggarakan di Ruang Teater Lantai 3, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada Rabu, 21 September 2022.
Bersama Yudi Latif, permasalahan nilai-nilai kebudayaan di Indonesia mendapat sorotan yang cukup intensif. Kuliah umum yang berjalan penuh narasi kritik-konstruktif tersebut memandang, jalan keluar menuju revitaliasi kebudayaan, terutama kualitas manusianya, adalah menggunakan peta jalan pendidikan. Menurutnya, kebudayaan di Indonesia sudah terlalu lama tidak diberikan kesempatan merasakan pembangunan.
Padahal, “Pembangunan adalah hakikatnya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, yang berarti mengoptimalkan kapabilitas dan keberfungsian nalar manusia, jalan utamanya adalah pendidikan.” Demikian ujar Yudi Latif, penulis buku Negara Paripurna.
Bersamaan dengan promosi buku terbarunya, Pendidikan yang Berkebudayaan, ia memantik kesadaran ratusan peserta kuliah umum untuk turut terlibat aktif dalam memperbaiki pendidikan di Indonesia. Menurutnya, memberikan perhatian kepada pendidikan sama artinya (sama pentingnya) dengan memperhatikan kualitas manusia dalam suatu kebudayaan (peradaban).
“Pendidikan adalah never ending process, suatu rekayasa sosial untuk menciptakan manusia yang beradab,” jelasnya.
Narasi Yudi Latif mengenai pendidikan sebagai peta utama dalam memperbaiki kebudayaan dilontarkan bukan tanpa alasan. Menurutnya, Indonesia kini berada di posisi yang berpotensi saangat menguntungkan untuk memperbaiki dan membangun peradabannya. Ia menjelaskan, Indonesia diuntungkan, selain karena letak geografisnya yang sangat strategis, juga human capital yang dimiliki Indonesia sangatlah besar, terutama mengenai bonus demografi yang sedang disandangnya saat ini
Wacana pendidikan yang berkebudayaan disampaikan dengan sangat komprehensif pada sesi kuliah umum ini. Ia seolah ingin menegaskan, pendidikan adalah jalan satu-satunya untuk memberbaiki peradaban yang semakin terpolarisasi dan dipenuhi narasi negatif yang intoleran. Baginya, pendidikan yang relevan dibutuhkan untuk saat ini adalah pendidikan yang berkebudayaan,
“Pendidikan di Indonesia terlalu mementingkan cognitif learning. Padahal di tengah permasalahan hari ini, kita perlu membangun konsep pendidikan yang lebih dibutuhkan, yakni pendidikan berbasis nilai,” tuturnya. “Pendidikan yang bisa mengolah nilai pada dasarnya adalah pendidikan yang berkebudayaan,” sambungnya.
Tidak hanya itu, pendidikan yang berkebudayaan mempunyai ciri yang khas dan sangat relevan dengan masalah yang disorot. Berbagai masalah, seperti kebencian, eksklusvitas, intoleransi, perundungan, bahkan kekerasan akan terkikis dengan manusia-manusia yang mempunyai nilai fundamental yang luhur, semisal terbuka dan welas asih. Di titik ini, pendidikan yang berkebudayaan memainkan peran pentingnya, karena di sistem pendidikan ini, sesuai penegasannya, pendidikan tidak hanya mementingkan nalar tapi juga nilai.
“Pendidikan yang berkebudayaan tidak hanya menciptakan manusia yang bisa mengembangkan penalaran yang tinggi, melainkan juga menciptakan manusia yang mampu memandang dunia, nilai, dan keyakinan dengan lebih luas,” imbuhnya.
Kulian umum ini dirasa sangat penting bagi masyarakat secara umum, dan pelaku pendidikan secara khusus, terutama Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah sebagai penyelenggara. Seperti yang diungkapkan Dr. Sururin, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah Keguruan dalam sambutannya, “Acara ini sangat penting, semacam pencerahan, bagi kita civitas akademika dan calon pendidik, untuk memberikan pembekalan mengenai pendidikan yang penuh rasa kasih, kasih sayang, yang akan menjadi jawaban atas berbagai kasus yang selama ini terjadi.”
Oleh karena itu, konsep pendidikan berkebudayaan yang dipopulerkan Yudi Latif diharapkan mampu menciptakan kualitas manusia yang tidak individualistik. Sebaliknya, menciptakan manusia yang memegang nilai-nilai luhur, seperti keterikatan, keterhubungan, dan keberartian secara komunal.
Melalui nilai-nilai tersebut akan mendorong terciptanya ruang-ruang perjumpaan sekaligus pemantik untuk terjadinya interaksi, pengkikisan prasangka, melebarkan inklusivitas, dan penanaman-penanaman nilai-nilai luhur sesuai dengan cita-cita kebudayaan dalam membangun peradaban sekaligus menjawab tantangan yang kini dihadapi.