Runtuhnya rezim otoritarian Indonesia disusul datangnya gelombang reformasi politik diharapkan dapat membuka keran-keran demokrasi yang sudah lama tertutup, sehingga pluralitas nilai dapat hidup di dalamnya secara berdampingan, dan tentu saja diikuti. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu, kenyataan justru menunjukan sebaliknya: pluralitas nilai yang ada di masyarakat justru termarginalisasi karena pemaksaan ideologi dan keinginan oleh kelompok tertentu. Ini menunjukkan ketidakdewasaan dan ketidaksanggupan kita untuk hidup berdampingan secara damai dalam pluralitas nilai yang niscaya itu.
Gelombang reformasi yang digaungkan masyarakat Indonesia dari segala lapisan mahasiswa, akademisi, petani, buruh, dan gerekan perempuan telah memberikan berkah yang amat berharga bagi perkembangan demokrasi Indonesia, yakni kebebasan sipil, khususnya kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berserikat. Kebebasan sipil ini merupakan modal utama pelaksanaan cita-cita reforasi karena melaluinya akan muncul secara alami apa yang sangat penting dalam pola hubungan negara-masyarakat. Dan hanya suasana kebebasan tanpa tekanan dalam bentuk apapun yang akan memberi kesempatan yang lebih besar kepada negara untuk muncul ke permukaan sebagai negara yang unggul.
Sebaliknya, pengekangan kebebasan hanya akan menimbulkan kerugian dan kerusakan bagi semua pihak, sebab yang muncul ke permukaan dan menjadi unggul ialah yang didukung atau dipaksakan pihak-pihak yang kuat, yang umumnya terjadi berdasarkan pertimbangan kepentingan sepihak semata, bukan pertimbangan kebenaran etika politik.
Prinsip-prinsip inilah yang terpenting dalam kehidupan bermasyarakat kita. Begitu pula dengan kehidupan keagamaan kita, sudah seharusnya kita berkaca pada pengalaman para pendahulu kita yang dapat hidup berdampingan, toleran dan saling menghargai perbedaan agama serta keyakinan masing-masing, selain juga budaya dan kebiasaan mereka.
Ini perlu direnungkan kembai karena beberapa tahun belakangan kecenderungan keberagamaan kita mengarah kepada eksklusivisme. Jika dilihat dari berbagai fenomena dan ekspresi keberagamaan antara 2005 dan 2006, boleh dikatakan bahwa 2005 dan dalam perjalanan 2006 merupakan tahun yang paling buruk, atau mengarah pada perkembangan yang menurun dibandingkan perkembangan kebebasan keberagamaan pada tahun-tahun sebelumnya.
Sepanjang 2005 dan 2006, banyak sekali peristiwa kebebasan keberagamaan yang sangat mengkhawatirkan. Salah satu peristiwa ekspresif yang mencolok di depan mata kita, misalnya, peristiwa mengenai Ahmadiyah. Juga beberapa kasus di Surabaya, dan kelompk-kelompk yang lebih kecil, seperti Lia Eden, Ustad Roy, dan dututupnya beberapa pesantren di berbagai wilayah hanya karena pemahaman keberagamaan mereka yang berbeda. Atau juga kelompok Kristen dan kelompok-kelompok keberagamaan lainnya yang mempunyai pemahaman yang berbeda dengan mainstream (arus utama). Mereka mendapatkan diskriminasi, persekusi, dan seterusnya. Praktek hidup semacam inilah yang dikecam para founding father bangsa kita, karena berseberangan dengan cita-cita demokrasi.
Cara Hidup
Karena itu, sudah waktunya kita merenungkan kembali apa yang pernah dikatakan para pendahulu kita bahwa kita benar-benar perlu menghayati demokrasi sebagai cara hidup. Tanpa pengahayatan seperti itu, maka usaha menegakan demokrasi akan menjadi palsu, seperti patung tanpa nyawa. Di mana-mana, termasuk di Indonesia, sering eksperimen demokratis dan perjuangannya terhalang oleh mereka yang mengaku demokrat tetapi tidak menunjukan sikap pribadi yang demokratis, karena gagal meyakini dan mempraktekan demokrasi sebagai way of life. Misalnya, suatu ironi, bahwa contradictio interminus, bahwa seseorang, atas nama demokrasi, memaksakan pendapat dan kebebasannya sendiri. Jelas sekali bahwa hal itu terjadi karena dominanya unsur-unsur yang berkepentingan.
Demokrasi selalu mengalami dua hal: kadang-kadang negatif, dalam arti mundur, dan kadang-kadang positif, dalam arti berkembang maju. Jika merujuk pada pengandaian bahwa negara yang demokratis adalah negara yang padanya terdapat proses-proses perkembangan menuju kearah keadaan yang lebih baik dalam melaksanakan nilai-nilai kemanusiaan asasi dan memberi hak kepada masyarakat, baik individu maupun sosial, untuk mewujudkan nilai-nilai itu, Indonesia merupakan negara tidak demokratis. Ini karena sebagai negara, Indonesia belum mampu melindungi warganya dari berbagai ancaman yang menimpa seseorang atau kelompok dari ke totaliteran kelompok lain.
Tantangan
Tantangan masa depan demokrasi di Indonesia ialah bagaimana mendorong proses-proses untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut agar terus berlangsung secara konsisten. Dengan kata lain, bagaimana melaksanakannya sehingga benar-benar menjadi pandangan hidup nyata dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mewujudkan itu, ada satu hal yang perlu ditegaskan, yakni pentingnya kesadaran akan kemajemukan (pluralisme). ini bukan saja sekedar pengakuan pasif akan kenyataan masyarakat yang majemuk. Lebih dari itu, kesadara kemajemukan menghendaki tanggapan yang positif terhadap kemajemukan itu sendiri secara kolektif.
Perlu ditegakan bahwa dalam kemajemukan budaya dan nilai dalam masyarakat Indonesia, sikap toleran merupakan pilihan budaya yang cerdas. Sebab, dengan sikap itu sekurang-kurangnya dimungkinkan tercipta suatu peaceful coexistence (hidup berdampingan secara damai), dapat tercipta suatu fertiliasi silang dari berbagai pandangan, kebiasaan dan nilai-nilai budaya dalam komunikasi budaya antara berbagai kelompok yang ada. Sebaliknya, intoleransi akan merupakan pilihan yang merugikan dan tidak cerdas. Sebab, tanpa toleransi akan mudah sekali timbul berbagai perselisihan antar bahasa, dan mungkin juga kebencian antar etnis.
Sebagai sebuah negara, Indonesia pernah merasakan indahnya kehidupan ketika toleransi berlangsung di dalamnya. Harus diakui bahwa berbagai fenomena aksi kekerasan oleh kelompok-kelompok tertentu yang muncul belakangan ini merupakan implikasi dari lemahnya negara dalam mengelola berbagai konflik yang ada. Padahal negara sepenuhnya memiliki apa yang disebut dengan legitimized violence atau democratized violence sehingga ia memiliki otoritas tertentu untuk melakukan kekerasan dalam arti menindak kelompok-kelompok keagamaan atau siapa aja yang mengekspresikan hak-haknya, tapi akan dilihat dari konsekuensinya. Kalau ekspresi keagamaan justru bersifat harmfull (menyakiti) terhadap yang lain atau memaksakan pandangannya yang dengan itu hak-hak orang lain dihancurkan, negar aboleh campur tangan.
Jadi campur tangan negara atas tidakan destruktif tadi lebih bermanfaat ketimbang membiarkan aksi-aksi kekerasan itu trerjadi secara bebas dan liar. Lagi pula negara dalam kontrak sosial kita merupakan satu-satunya instrumen yang memonompoli aparatur-aparatur kekerasan. Karena itu, di luar negara tidak boleh ada kelompok-kelompok yang mempunyai peralatan kekerasan, peralatan yang dapat memaksakan keaykinan atau apapun.
Jika model seperti di atas dipraktekan dalam kehidupan kita, dengan negara menjadi satu-satunya kekuatan pengatur yang mengelola konflik yang ada—dalam hal ini konflik keagamaan, mengingat kecenderungannya lebih ke arah sana—kehidupan keberagaman kita pun dengan sendirinya akan tertata dengan baik, sehingga semua orang dapat menghargai perbedaan, bertoleransi terhadap keragaman, dan mau mendengarkan pendapat orang lain. Maka setiap orang akan merasakan kenyamanan dan mendapat jaminan serta diakui eksistensinya sebagai warga negara.
Sebagai sebuah agama yang menjunjung tinggi humanisme universal, Islam harus menjadi atmosfer dan menaungi golongan-golongan serta kelompok-kelompok lain dalam masyarakat. Islam yang dimengerti di sini bukanlah Islam yang disubordinasi oleh negara, tapi Islam yang mau bekerjasama dengan kelompok-kelompok lain, karena kemenangan mereka adalah kemenangan Islam sendiri. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah kita di masa mendatang bahwa kita harus membuat kehidupan sosial kita menjadi lebih baik ketimbang tahun-tahun sebelumnya; bahwa kita mesti mampu mengelola berbagai perbedaan yang ada di rumah sendiri sebagai sebuah berkah. Dengan demikian, kita dapat menatap masa depan bangsa ini dengan tatapan yang optimis tanpa bayang-bayang rasa ketakutan.
Tulisan ini pernah dimuat di Koran Tempo, 4 Januari 2007.