Makalah singkat ini mula pertama akan berupaya membuat tafsiran normatif tentang ekonomi kerakyatan/ekonomi Pancasila, terutama untuk memandu kita memilih pranata dan kelembagaan semacam apa yang saya anggap “lebih dekat” dengan ekonomi Pancasila. Kata kuncinya di sini adalah “lebih dekat”. Lebih dekat di sini diartikan sebagai “secara normatif lebih koheren dan secara pranata/kelembagaan lebih konsisten dengan upaya memajukan nilai-nilai Pancasila”.
Secara bersahaja, di sini diajukan proposisi normative: kebijakan ekonomi yang lebih koheren dengan nilai dan semangat Pancasila dan UUD 45 (keadilan sosial dan demokrasi) adalah kebijakan dan pranata ekonomi yang mengutamakan efisiensi dan keadilan sosial, dan tidak boleh mengorbankan salah satunya. Menurut bapak bangsa kita Muh Hatta, hak milik dan usaha swasta (pasar) harus dihormati dan dilindungi, akan tetapi, keadilan sosial juga harus diupayakan sebaik-baiknya.
Dalam kosa kata klasik Indonesia, bagaimana Daulat Pasar dan Daulat Rakyat diwujudkan sama tinggi tanpa menenggelamkan salah satunya; Instrumen kebijakan dan pranatanya bisa bermacam-macam, mulai dari koperasi, BUMN, kebijakan sosial/jaminan sosial hingga peranan dan kapasitas pemerintah daerah yang kuat. Ketimpangan sosial hanya boleh terjadi jika dan hanya jika, sistem itu memberikan keuntungan bagi kelompok lemah, sebagaimana dirumuskan oleh John Rawls.