Mestinya kita tidak perlu gundah dengan pluralitas kebangsaan Indonesia. Toh, meminjam ungkapan Albert Einstein, Tuhan tidak sedang “bermain dadu” dalam desain penciptaan negeri ini sebagai negeri multikultural.
Keragaman tak selalu berakhir dengan pertikaian asal tersedia sistem pengelolaan yang tepat. Kita juga tak perlu terobsesi dengan homogenisasi kebangsaan karena keseragaman bukanlah jaminan kedamaian dan kesejahteraan. Pada kenyataannya, realitas sejagat kontemporer menunjukkan hanya sedikit negara yang terdiri dari satu kelompok etno-kultural. Umumnya, negara modern merupakan negara dengan aneka suku bangsa (polietnik). Bahkan, negara dengan ragam kebangsaan hadir di pelbagai belahan dunia. Yang terakhir ini lebih tepat dikatakan “nations-state” ketimbang “nation-state“.
Untuk mempersatukan keragaman, posisi subyek dalam kebangsaan multikultural tak bisa dipandang sebagai sesuatu yang akan terwujud dengan sendirinya tanpa usaha secara sengaja. Indonesia dengan segala pecahankekamian berbasis agama, ras, suku, kepartaian, dan kelas sosial tak akan bisa dijumlahkan menjadi kebersamaan-kekitaan, kecuali memiliki kerangka titik-temu (common denominator). Dalam mengupayakan titik-temu, kita memerlukan suatu konsepsi (cita negara) dan konsensus bersama menyangkut hal-hal fundamental bagi keberlangsungan, keutuhan, dan kejayaan bangsa.
Di atas segala kebesaran, keluasan, dan kemajemukan bangsa, Indonesia harus merumuskan konsepsi dasar negara yang dapat meletakkan segenap elemen bangsa di atas suatu landasan yang statis (“meja statis”), sekaligus dapat memberi tuntunan yang dinamis (“Leitstar/bintang pimpinan dinamis”). Para pendiri bangsa berusaha menjawab tantangan itu dengan melahirkan konsepsi negara persatuan (kekeluargaan) berwatak gotong royong, bukan negara perseorangan seperti dalam konsepsi liberalisme-kapitalisme atau negara golongan (kelas) seperti konsepsi komunisme.
Dalam ungkapan Soekarno, “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara ‘semua buat semua’, ‘satu buat semua, semua buat satu’.” Negara persatuan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ideologi inklusif
Dengan semangat kekeluargaan itu, konsepsi dasar (falsafah) negara dirumuskan dengan merangkum lima prinsip utama sebagai “titik temu” (yang mempersatukan keragaman bangsa), “titik pijak” (yang mendasari ideologi dan norma negara), serta “titik tuju” (yang memberikan orientasi kenegaraan-kebangsaan) negara-bangsa Indonesia. Kelima prinsip utama itudikenal dengan sebutan Pancasila. Dengan semangat dasar kelima prinsip Pancasila, negara/bangsa Indonesia memiliki konsepsi kenegaraan-kebangsaan yang begitu visioner dan tahan banting.
Prinsip dalam Pancasila mampu mengantisipasi dan merekonsiliasikan paham kenegaraan radikalisme sekularis dan radikalisme keagamaan, paham kebangsaan homogenis dan tribalisme atavisitis, kebangsaan chauvinis dan globalisme triumpalis, pemerintahan otokratik dan demokrasi pasar-individualis, ekonomi etatisme dengan kapitalisme predatoris.
Pancasila dapat dikatakan ideologi komprehensif tentang inklusi sosial yang ingin menyertakan keragaman agama dan kepercayaan, asal usul manusia, ragam etnis dan adat istiadat, serta aliran politik dan kelas sosial dalam kehidupan publik. Dari sudut pandang paradigma Pancasila, meningkatnya kecenderungan eksklusi sosial yang menampakkan diri dalam aneka bentuk kekerasan sosial berbasis fundamentalisme keagamaan, tribalisme, premanisme, serta sentimen kelas sosial mencerminkan lemahnya proses institusionalisasi dan implementasi nilai-nilai Pancasila.
Menurut sila pertama, eksklusi sosial terjadi akibat kecenderungan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan keagamaan tak lagi mencerminkan semangat “ketuhanan yang berkebudayaan”; “yang lapang dan toleran”, sebagaimana ditandaskan Bung Karno.Banyak orang beragama tak mengembangkan sifat ketuhanan (meniru sifat rahman-rahim/welas-asih Tuhan).Modus beragama yang berhenti sebagai pemujaan eksterioritas formalisme peribadan, tanpa kesanggupan menggali interioritas nilai spiritualitas dan moralitas ketuhanan, mendorong ekspresi keberagaman yang mandul, kering, keras, yang menimbulkan penghancuran ke dalam dan ancaman keluar.
Menurut sila kedua, meningkatnya kecenderungan eksklusi sosial secara eksternal mencerminkan dekadensi nilai-nilai keadilan dan keadaban dalam relasi kemanusiaan universal era globalisasi; dan secara internal mencerminkan lemahnya pemahaman, penghayatan, dan pengamalan masalah “hak-hak asasi manusia”.
Globalisasi membelah dunia ke pihak “yang menang” (winners) dan “yang kalah” (losers), serta menumbuhkan ketaksetaraan baik secara internasional maupun dalam negara-bangsa (Hobsbawm, 2007). Selain menimbulkan deprivasi sosial bagi pihak-pihak kalah, globalisasi juga menimbulkan pluralisasidunia kehidupan yang menyebabkan terjadinya diferensiasi dan fragmentasi dalam pandangan dunia. Keretakan pandangan dunia ini diperburuk distorsi komunikatif dalam ruang publik akibat penaklukan rasionalitas nilai kebajikan hidup bersama oleh rasionalitas instrumental dari dunia sistem kapitalisme. Distorsi komunikatif menimbulkan alienasi sosial, yang melemahkan hubungan permusyawaratan dengan hikmat-kebijaksanaan dalam kehidupan bersama.
Menurut sila ketiga, penguatan eksklusi sosial terjadi karena untuk masa yang panjang politik segregasi telah mengantarkan Indonesia sebagai masyarakat plural terkunci dalam situasi “plural-monokulturalisme”; dalam arti, terdiri dari ragam etno-kultural, tetapi hidup dalam kepompong budaya masing-masing tanpa kehendak saling berbagi. Political correctness menghendaki konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman, dan keragaman dalam persatuan (Bhinneka Tunggal Ika); dengan caramentrasformasikan situasi “plural-monokulturalisme” menuju “multikulturalisme” lewat berbagai kebijakan yang mendorong ke perjumpaan dan persilangan antarbudaya.
Menurut sila keempat, prinsip demokrasi Pancasila harus dijalankan dengan cita kerakyatan (daulat rakyat); cita permusyawaratan (kekeluargaan); cita hikmat-kebijaksanaan. Cita kerakyatan menghormati suara rakyat dalam politik. Cita permusyawaratan memancarkan kehendak menghadirkan negara persatuan yang dapat mengatasi paham perseorangan dan golongan sebagai pantulan semangat kekeluargaan dari pluralitas kebangsaan Indonesia dengan mengakui “kesederajatan/persamaan dalam perbedaan”.
Cita hikmat-kebijaksanaan menghendaki agar kerakyatan yang dianut bangsa Indonesia bukanlah kerakyatan yang mencari suara terbanyak saja, tetapi kerakyatan yang dipimpin daya-daya rasionalitas, kearifan konsensual, dan komitmen keadilan. Riset-riset sosiologis menunjukkan bahwa kecenderungan demokrasi yang tak mengindahkan proses-proses deliberatif (musyawarah segala unsur) bukan saja bisa melahirkan berbagai kebijakan yang mendiskriminasikan golongan minoritas, tetapi juga bisa membuat kelompok-kelompok yang tidak terakomodasi dalam percaturan politik formal—karena tereliminasi dari pemilihan umum—mengembangkan ekspresi kekerasan.
Menurut sila kelima, sumber persatuan dan komitmen kebangsaan dari negeri multikultural adalah “konsepsi keadilan bersama” (a share conception of justice). Meminjam John Rawls, “Meskipun suatu masyarakat bangsa terbagi dan pluralistik… kesepakatan publik atas persoalan-persoalan keadilan sosial dan politik mendukung persaudaraan sipil dan menjamin ikatan-ikatan asosiasi.” Fakta empiris, daerah yang diwarnai banyak kantong kemiskinan dan kesenjangan sosial merupakan ladang persemaian subur bibit kekerasan. Meluasnya rasa ketakadilan juga bukan wahana kondusif pengapresiasian gagasan persatuan kewargaan.
Implementasi Pancasila
Dalam perkembangannya, keyakinan warga terhadap relevansi dan aktualisasi Pancasila bisa bertambah dan berkurang seiring arus pengaruh dan dinamika perubahan secara internal dan eksternal. Penurunan keyakinan bisa terjadi manakala terdapat kesenjangan lebar antara idealitas Pancasila dan realitas kehidupan. Untuk masa yang panjang, ketiga lapis ideologis (keyakinan, pengetahuan, dan tindakan) Pancasila belum diaktualisasikan secara efektif. Kendati keyakinan akan ketepatan Pancasila sebagai landasan normatif kehidupan berbangsa dan bernegara begitu kuat didengungkan pada masa Orde Lama dan Orde Baru, pada kenyataannya Pancasila sebagai norma dasar negara tak selalu konsisten diikuti oleh produk perundang-undangan dan kebijakan publik.
Berbeda dengan anggapan umum yang memandang Pancasila sekadar teori, pada kenyataannya, Pancasila justru belum dikembangkan ke dalam seperangkat teori secara elaboratif dan komprehensif, yang dapat mewarnai konsepsi-konsepsi pengetahuan. Padahal, proses obyektivikasi dari Pancasila sebagai keyakinan menjadi Pancasila sebagai ilmu sangat penting karena ilmu adalah jembatan antara idealitas-ideologis dan realitas-kebijakan. Yang lebih memprihatinkan terjadi dalam kerangka operatif Pancasila. Dimensi tindakan dalam penyelenggaraan negara masih jauh panggang dari tuntutan keyakinan normatif dan pengetahuan Pancasila. Pancasila belum banyak diimplementasikan ke level operasional kebijakan dan tindakan penyelenggara dan warga negara.
Kelemahan dalam mewujudkan imperatif keyakinan, pengetahuan, dan tindakan ideologi Pancasila membuat kesaktian Pancasila berhenti sebagai mantra penataran, kurang mampu dibumikan dalam realitas kehidupan. Pancasila diajarkan dengan bahan dan metodologi deliveri kurang menarik. Pancasila direduksi sekadar pengetahuan hafalan, kurang mampu diinternalisasi sebagai pendirian hidup.
Sosialisasi Pancasila dijalankan secara vertikal: negara yang mengambil inisiatif, negara yang menafsir, negara pula yang menatar; kurang memberdayakan partisipasi masyarakat dalam usaha pengisian dan pembudayaan Pancasila; membuat Pancasila menjadi ideologi tertutup.
Lebih menyedihkan lagi, saat kita makin memerlukan Pancasila sebagai basis inklusi sosial, eksistensi Pancasila sendiri sudah begitu lama kita abaikan. Pengalaman traumatis instrumentasi Pancasila di masa lalu membuat kepercayaan penyelenggara dan warga negara terhadap Pancasila merosot. Selama belasan tahun terakhir, Pancasila tidak lagi menjadi pelajaran wajib di kebanyakan sekolah, bahkan ada kegamangan di kalangan penyelenggara negara untuk mengartikulasikan Pancasila di ruang publik. Situasi demikian membiarkan pasokan moral bagi peserta didik hanya diisi oleh moral partikularitas keagamaan yang cenderung diisi oleh kelompok-kelompok militan, yang membuat peserta didik kurang terpapar dan terbudayakan dalam moral publik.
Kalaupun masih ada program bina ideologi dan mental yang dilaksanakan berbagai kementerian dan lembaga negara, pada umumnya bersifat permukaan (superfisial) dan kompartementalis, tanpa adanya kejelasan arah, sistematik, struktur, dan koordinasi. Adapun materi pembelajaran Pancasila dalam pendidikan dan sosialisasi wawasan kebangsaan kurang dipersiapkan secara sungguh-sungguh, baik dari segi isi, metodologi dan daya tarik.
Tak mengherankan, berbagai survei menunjukkan tendensi kemerosotan ketahanan nasional di bidang ideologi. Indeks Ketahanan Nasional yang disusun Labkurtannas Lemhannas mengindikasikan melemahnya ketahanan ideologi dan politik dalam tujuh tahun terakhir (2010-2016). Indeks ketahanan ideologi (meliputivariabel toleransi, kesederajatan dalam hukum, kesamaan hak kehidupan sosial, dan persatuan bangsa), merosot dariskornya 2,31 (2010) menjadi 2,06 (2016).
Gambaran sama diperlihatkan hasil Survei Nilai-nilai Kebangsaan oleh BPS 2015 (survei pertama di Indonesia). Dari setiap 100 orang Indonesia, 18 orang bahkan tak tau judul lagu kebangsaan RI;53 persen orang Indonesia tak hafal seluruh lirik lagu kebangsaan; 24 dari setiap 100 orang tak hafal sila-sila Pancasila; 42 persen orang terbiasa menggunakan barang bajakan; 55 persen orang Indonesia jarang bahkan tidak pernah ikut kerja bakti.
Penetapan 1 Juni sebagai Hari Pancasila hendaknya tak berhenti sebatas seremoni, tanpa bobot substansi. Peringatan kelahiran Pancasila harus menjadi momentum mengarusutamakan gerakan kebajikan Pancasila pada semua aras: lapisan keyakinan (mitos), pengetahuan (logos), dan tindak-kejuangan (etos). Perlu penyegaran pemahaman, penghayatan, dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila untuk menangkal berjangkitnya beragam ancaman ekstremisme dan eksklusi sosial. Dengan menguatkan nilai ketuhanan yang berkebudayaan, kebangsaan yang berperikemanusiaan, serta demokrasi permusyawaratan yang berorientasi keadilan sosial, Indonesia diharapkan mampu menghadapi tantangan fragmentasi sosial dengan mental persatuan dan keadilan yang inklusif.
Tulisan ini telah dipublikasikan di harian Kompas, Rabu, 31 Mei 2017.