Membangun manusia tak semudah membangun infrastruktur fisik. Perlu disiplin berpikir yang dalam, kebijakan yang tepat.
Visi pemerintahan Joko Widodo periode kedua yang bertekad menggencarkan pembangunan SDM menuai sambutan antusias sekaligus cemas.
Mahabenar menjadikan pembangunan manusia pusat perhatian.
Soedjatmoko mengingatkan, ”Manusia adalah pangkal dan ujung pembangunan.” Kemerdekaan Indonesia dihayati sebagai berakhirnya segala bentuk diskriminasi yang mengekang pilihan manusia untuk mengembangkan diri.
Komitmen politik tertuang pada Pasal 31 UUD 1945: ”Setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”. Bagi Ki Hadjar Dewantara, penggagas pasal itu, pendidikan adalah wahana pembangunan bangsa yang maju, bermartabat, sejahtera, merdeka lahir batin.
Untuk itu, pendidikan harus menumbuhkan jiwa merdeka dengan sifat berdiri sendiri, tak bergantung kepada orang lain, dan dapat mengatur diri sendiri.
Masalahnya, membangun manusia tak semudah membangun infrastruktur fisik. Perlu pemahaman (disiplin berpikir) yang dalam, pilihan kebijakan yang lebih tepat, eksekusi program yang lebih kreatif–inovatif, dan pelaksanaan program prioritas yang berkesinambungan.
Harus diakui, 74 tahun Indonesia merdeka, pembangunan manusia merupakan dimensi pembangunan yang amat terbelakang. Padahal, dalam iringan kereta berkuda, tingkat kecepatan kuda berlari tak ditentukan kuda yang larinya paling kencang, tetapi kuda yang larinya paling lambat.
Sekencang apa pun pembangunan sektor lain dipacu, laju pembangunan secara keseluruhan akan bergerak lambat karena keterbelakangan pembangunan manusia.
Usaha membangun manusia Indonesia harus dimulai dari kesadaran bersama akan adanya krisis. Kita harus berhenti melebih-lebihkan capaian kosmetik, dengan melupakan problem besar yang kita abaikan.
Dengan mempertimbangkan problem yang dihadapi, tujuan pembangunan manusia adalah memperluas pilihan warga dengan menumbuhkan manusia yang sehat jasmani-rohani, berkarakter kuat, berkreativitas tinggi, berkompetensi unggul dalam penguasaan iptek dalam rangka tata kelola dan pemecahan masalah bangsa, demi terwujudnya cita-cita nasional.
Dalam implementasinya, usaha membangun manusia tak perlu dilakukan dengan reinventing the wheel. Kita bisa belajar dari praktik-praktik terbaik yang telah terbukti mengantarkan bangsa-bangsa lain meraih keberhasilan.
Dalam mengambil contoh dari negara lain itu harus sungguh-sungguh dipertimbangkan ketepatan kontekstualisasinya bagi Indonesia. Dari beragam aspek pembangunan manusia, sektor pendidikan perlu perhatian lebih. Untuk itu, perlu jalinan keterpaduan antara rezim pendidikan-iptek, rezim kebijakan-tata kelola, dan rezim ekonomi-produksi.
Prioritas rezim pendidikan-iptek
Rezim pendidikan-iptek memprioritaskan langkah transformatifnya dengan membenahi pendidikan dasar, lantas bergeser ke jenjang berikutnya. Ini langkah umum dengan contoh sukses seperti Finlandia, Jepang, dan Brasil.
Pendidikan dasar bertujuan menyiapkan peserta didik jadi manusia pemelajar dan warga negara yang baik. Pada tingkat SD, harus dihindari beban kurikulum berlebihan. Yang perlu ditumbuhkan kecakapan (ilmu) dasar manusia pemelajar: budaya membaca, menulis, menghitung, menutur.
Hal itu dikombinasikan dengan empat wahana pembentukan karakter dan kreativitas: olah pikir (critical thinking dan problem solving), olah rasa (spiritualitas, etika, estetika), olahraga (permainan dan ketangkasan kinestetik), olah karsa (kemauan/imajinasi kreatif).
Pengetahuan sebagai disiplin ilmu belum perlu diajarkan. Biarkan anak menjelajahi bacaan dan bidang pengetahuan apa pun yang disukai tanpa sekat-sekat keilmuan yang ketat. Sekolah cukup menyediakan bahan bacaan terseleksi.
Sebagai dasar pembinaan kewargaan, bahasa pengantar harus bahasa Indonesia. Obsesi menjadikan anak segera memasuki kompetisi internasional dengan melemahkan sendi-sendi kewargaan pada tingkat dasar bisa melemahkan aktualisasi diri dalam mengemban civic duty di kemudian hari.
Pada tingkat sekolah menengah, perlu ada pergeseran menuju pembelajaran yang lebih berpusat pada individu. Sistem kelas yang tersusun berdasarkan kelompok umur bukanlah keniscayaan, melainkan pilihan.
Di awal sejarah pendidikan kebanyakan negara, kelas disusun bukanlah berdasarkan pada kesamaan umur, melainkan pada kesamaan minat akan mata pelajaran.
Sistem kelas berdasarkan kelompok usia mulai diperkenalkan di Prusia (Jerman dan sekitarnya) pada awal abad ke-19, sebagai strategi merestorasi kekuatan militer Prusia pascakekalahan yang memalukan dari tentara Perancis di bawah Napoleon pada 1806.
Dalam rangka menanamkan semangat tempur dan menumbuhkan kembali kebanggaan Prusia, sekolah diorganisasi seperti unit-unit militer. Siswa dikelompokkan ke dalam peleton-peleton berdasarkan kesamaan umur. Karena pertimbangan efisiensi, sistem seperti ini lantas diadopsi sejumlah negara (Bauer, 2018).
Meski sistem kelas seperti itu sulit dihindari, pembelajaran harus mempertimbangkan ragam kecerdasan dan preferensi siswa. Di tingkat sekolah menengah, mata pelajaran wajib (mandatory subjects) dibuat ringkas, untuk memberikan lebih banyak ruang bagi pelajaran pilihan (elective subjects). Dengan begitu, siswa bisa diperkenalkan dengan experiential learning, baik lewat kerja kelompok maupun lewat pemagangan.
Pada tingkat perguruan tinggi (PT), orientasi pendidikan bukanlah menjadi world class university, melainkan pilar penting pendukung pembangunan nasional. Menjadi universitas kelas dunia hanya dampak ikutan manakala penyelenggaraan Tridharma dijalankan secara sungguh-sungguh.
Transformasi PT harus memperhatikan pemerataan sebaran, perbaikan mutu, dan keseimbangan proporsi bidang studi. Dengan total penduduk sekitar 250 juta jiwa, Indonesia memiliki 4.350 PT. Bandingkan dengan China dengan sekitar 1,4 miliar jiwa, tetapi jumlah PT lebih sedikit (2.824).
Dengan kata lain, isu krusialnya bukanlah jumlah, melainkan pemerataan sebaran antarwilayah dan rendahnya mutu sebagian besar PT kita. Selain itu, proporsi mahasiswa bidang sosial-humaniora jauh melebihi yang menekuni sains dan teknologi (keinsinyuran).
Jumlah mahasiswa keinsinyuran hanya 14 persen dari seluruh mahasiswa di Indonesia (sekitar 50 persen belajar teknik komputer), dengan tingkat putus kuliah tertinggi (4,66 persen). Persoalannya tambah pelik karena dari sekitar 100.000 lulusan keinsinyuran, hanya sekitar 5.000 yang bekerja profesional sesuai bidangnya.
Solusinya, perlu dikeluarkan kebijakan insentif dan afirmatif bagi yang mau kuliah di bidang keinsinyuran, perlu juga dipikirkan keterkaitannya dengan pembangunan sektor ekonomi-industri.
Mahasiswa PT juga harus dipersiapkan punya fleksibilitas dalam merespons tantangan perubahan yang kian cepat. Kita bisa belajar dari China, dengan fokus kebijakannya untuk mengubah tendensi pembelajaran spesialisasi yang berlebihan menuju penyiapan pembelajar generalis yang mampu berpikir independen dan inovatif.
Hanya, agar tenaga generalis ini punya keterampilan yang dibutuhkan dunia kerja, mahasiswa dibekali experiential learning dengan rumus 2+1 (2 tahun belajar di universitas, 1 tahun magang di dunia kerja; atau 2 tahun di kota, 1 tahun di desa).
Rezim kebijakan tata kelola
Semua itu perlu sistem manajemen tata kelola pendidikan yang tepat. Persoalan Indonesia adalah keragaman horizontal dan vertikal dengan ketakmerataan sebaran guru dan sekolah, baik kuantitas maupun kualitas.
Menyerahkan urusan sepenuhnya ke pusat menyulitkan distribusi pendidikan sesuai keragaman kondisi daerah. Menyerahkan urusan sepenuhnya ke daerah menyulitkan mobilisasi sumber daya untuk dipindahkan dari daerah berlebih ke daerah yang berkekurangan.
Praktik pilkada langsung dengan ongkos mahal dan tim sukses luas sering berimplikasi pada penempatan orang yang tak kompeten dalam rezim pendidikan daerah. Untuk itu, kita bisa meniru model Rusia, yang menerapkan desentralisasi secara parsial. Untuk pembangunan, pengadaan dan pemeliharaan hal-hal fisik bisa diserahkan ke daerah. Urusan kurikulum dan guru, urusan pusat.
Selanjutnya, pemerintah pusat menerapkan kebijakan asimetri. Terhadap daerah dengan rasio kecukupan, sebaran dan mutu guru sudah relatif baik, otonomi yang luas bisa diberikan ke daerah. Pemerintah juga bisa memberikan otonomi kepada sekolah yang telah memenuhi standar akreditasi.
Pemerintah pusat hanya menetapkan kerangka dasar dan struktur kurikulum, selebihnya sekolah mengembangkan kreativitasnya. Untuk daerah yang belum memenuhi itu, pusat harus melakukan penempatan guru, asistensi penyusunan kurikulum, peningkatan mutu guru dan sekolah.
Untuk mempercepat peningkatan mutu sekolah di daerah terbelakang, kita bisa meniru model Finlandia dan Jepang.
Di kawasan miskin-terbelakang, guru harus menangani jumlah murid yang lebih sedikit dibanding di kawasan kaya-maju. Untuk daerah paling terpencil, terbelakang, dan terpinggir, pemerintah bisa mengadopsi sistem ”sekolah carteran” seperti terbukti efektif di AS.
Pemerintah pusat bisa mencarter aktor non-negara (LSM) yang berpengalaman dalam pemberdayaan (pendidikan) masyarakat marjinal untuk menjalankan pendidikan dengan dana pemerintah.
Dalam manajemen PT, otonomi luas bisa diberikan ke universitas, dibarengi keberadaan badan khusus untuk mengevaluasi efektivitas dan efisiensi. Pada setiap PT harus dilakukan penilaian kualitas secara berkala, yang dilakukan bersama oleh badan negara dan badan independen.
Selain itu, ada badan penjaga jaminan mutu, yang membantu PT meningkatkan mutu.
Untuk meningkatkan relevansi pendidikan dengan tantangan pembangunan, perlu diusahakan hubungan lebih erat antara PT, lembaga riset dan ilmu pengetahuan, serta dunia usaha/dunia kerja; juga antara pendidikan, kebudayaan, dan kemajuan sosial.
Semua rancangan tata kelola itu hanya bisa dijalankan dengan prasyarat mutu tenaga kependidikan. Selain perlu jaminan mutu Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan dan perbaikan lembaga sertifikasi guru, calon-calon guru bermutu hanya bisa terjaring dengan meningkatkan derajat guru.
Di Finlandia dan Jepang, profesi guru sangat prestisius dengan status terhormat dan gaji tinggi. Di Finlandia, hanya lulusan perguruan tinggi terbaik yang bisa menjadi guru.
Prioritas rezim ekonomi-produksi
Untuk mencegah mismatch antara luaran lembaga pendidikan dan dunia kerja, bukan hanya perlu pembenahan persekolahan, melainkan juga rancangan strategi dan prioritas pembangunan ekonomi-industri.
Hanya dengan itu, lembaga pendidikan dan riset bisa menentukan pengembangan bidang iptek dan SDM seperti apa yang jadi area prioritas. Rezim ekonomi-produksi kita bisa memprioritaskan pengembangan nilai tambah terhadap comparative advantage (kekhasan potensi) Indonesia.
Lautan luas menunggu sentuhan pengembangan teknologi dan industri kemaritiman. Tanah yang relatif subur perlu bio- teknologi dan agroindustri. Negeri yang indah perlu teknologi dan industri kepariwisataan. Jiwa estetik yang kuat perlu teknologi dan industri kesenian. Kekayaan sumber energi terbarukan perlu pengembangan teknologi dan industri energi alternatif, dan seterusnya.
Dengan prioritas pengembangan teknologi dan industri seperti itu, lembaga pendidikan dan riset bisa menentukan area prioritas apa dan jenis SDM seperti apa yang menjadi prioritas pengembangan.
Selain itu, keterkaitan antara aktivitas riset dan dunia usaha juga perlu diperkuat. Problem riset Indonesia terlalu memusat pada lembaga riset negara. Kurang ada terobosan untuk membawa aktivitas dan hasil riset ke jantung masyarakat.
Riset inovatif harus sampai ke pasar. Kegiatan riset mestinya jadi bagian organik dari dunia usaha. Kebijakan yang harus ditempuh bukan dengan jalan terus menambah birokrasi baru lembaga riset negara, melainkan mendorong pembudayaan riset-inovasi di dunia usaha, dengan berbagai kerangka kebijakan fiskal (insentif pajak dan permodalan).
*Artikel telah dimuat di harian Kompas 16 Agustus 2024.