Ada 2 konsep yang muncul secara kuat dalam pidato pengukuhan guru besar Zuly Qodir: Islam Jawa dan Clifford Geertz. Menurut saya, ini pilihan yang brilian sebagai cara untuk menilai, dan jika perlu, mencari batas-batas ilmu sosial.
Sejak hadirnya post-structuralism, post-modernism, kita diperkenalkan dengan “evenmore pointed” dalam ilmu sosial. Saya sebut saja sebagai “mikro-sosiologi”. Hal-hal yang dibahas adalah hal-hal yang sangat detail dan unik pada dirinya. Sering disebut “pembunuhan grand narrative” (dengan klaim bahwa “grand narrative” adalah alasan atas penindasan dan alienasi). Meskipun post-modernisme dianggap “merusak” ilmu sosial, namun kehadiran post-modernism memberikan input balik yang luar biasa.
Bersama dengan post-modernism, kita juga berkenalan dengan Richard Rorty yang mengenalkan “kesementaraan” dalam ilmu sosial. Ilmu sosial adalah “temporary and historical”. Rorty “mengejek” semua hal yang diidealkan, bahkan idealisasi post-modernism. Semuanya adalah sementara.
Dengan dua hal di atas, kita diperkenalkan terhadap batas-batas ilmu sosial menurut klaim ilmu. Batas-batas ini selalu diuji, dan selalu diperbarui.
Dari sini, kita tiba pada Clifford Geertz yang dibahas dalam pidato pengukuhan. Kategorisasi “santri, abangan, priyayi” dianalisis sebagai salah dan tidak mempunyai konfirmasi dalam kehidupan keseharian. Namun, secara sekaligus, Clfford Geertz ini diakui berkontribusi dalam pertumbuhan ilmu sosial di Indonesia karena mampu menangkap “gejala budaya” sebagai suatu kategori (dan bukan “gejala sosial”).
Sebagai perbandingan, dalam sejarah Amerika Serikat dikenal kategorisasi “puritan” dalam gelombang migrasi dari Eropa ke New World Amerika. Istilah puritan ini dikenakan pada budaya yang ketat dalam beragama dan menolak kehadiran negara. Namun, sama seperti analisis terhadap Clifford Geertz, antropologi dan sejarawan Amerika Serikat mencatat kontribusi besar kelompok yang disebut “puritan” itu pada penghapusan perbudakan dan rasisme, pada kontrol terhadap kuasa negara, dan pada publikasi yang menyebar secara luas dan cepat.
Sampai di sini, kita kembali pada analisis Clifford Geertz mengenai apa yang disebut “gejalan budaya”. Karya Interpretation of Culture (1973) memberikan gambaran mengenai “oscillation” (perlompatan ke sana kemari) atas apa yang disebut “gejala budaya”, atau yang dirumuskan sebagai “symbolic antropology”. Dengan pembahasan bahwa “agama adalah gejala budaya”, Geertz memperluas analisis ini menjadi kategori.
Dalam karya Religion of Java (1960), “kategorisasi” dibuat secara longgar dengan apa yang dinamakan “Santri, Abangan, Priyayi”. Kategorisiasi ini diklaim sebagai “thick interpretation”, interpretasi luas. Bisa jadi, “santri, abangan, priyayi” mewakili sebenarnya budaya yang lebih luas, yaitu “Jawa”.
Zuly Qodir membawa “persoalan” ini ke dalam pidato. Bagaimana membaca “kategorisasi” ini sebagai “pintu masuk” alam budaya yang lebih luas, yaitu “Jawa”. Dengan menyebut “Islam Jawa”, Zuly Qodir membawa kategorisasi ini ke dalam alam yang lebih luas, yaitu “Jawa terkini”.
Problem terbesar dalam membangun analisis terhadap “Jawa terkini” adalah tidak dikenal lagi “ideal Jawa”, seperti juga tidak pernah ada “ideal Jawa”. Hal ini dibahas oleh Franz Magnis-Suseno ketika membahas bukunya Etika Jawa (bukan “etiket Jawa”). Etika Jawa membahas “pilihan-pilihan moral” orang fisik Jawa, dan bukan mengenai sopan santun, bukan mengenai unggah-ungguh. Etika Jawa memperkenalkan “bintang moral di atas” yang memberikan penjelasan dalam dilema-dilema moral tanpa harus berharap reward. Ini moral tertinggi. Namun, dalam kehidupan terkini, posisi moral ini dibentuk dan diisi dengan berbagai pertemuan budaya. Ini yang disebut “tidak ada orang seideal Jawa”—bukan karena orang Jawa sekarang tidak mempunyai moral, melainkan orang Jawa sekarang mengolah posisi moralnya secara lebih kompleks.
Dengan membahas Islam Jawa, Zuly Qodir memperkenalkan perjalanan moral orang Jawa. Secara tepat, Zuly Qodir memberikan lanskap simbol yang dihidupi oleh orang Jawa terkini. Ini sumbangan besar dalam ilmu sosial.
Sampai di sini, kita kembali pada “batas-batas ilmu sosial”. Zuly Qodir menggelar batas baru, yaitu batas-batas inter-temporal atas gejala budaya yang disebut Islam Jawa. Batas-batas inter-temporal berarti batas yang terdahulu, baik yang dibahas olah Clifford Geertz maupun oleh Franz Magnis-Suseno, tidaklah dipindah, atau bahkan tidak diubah. Dalam batas-batas ini, Zuly Qodir “mengikuti” jalan Geertz dan Franz Magnis-Suseno: idealisasi hanya punya makna sejauh di menjelaskan aras-aras budaya. Idealisasi, termasuk dalam bentuk kategorisasi, akan tetap perlu. Tugas ilmuwan sosial saat ini adalah menilik kembali batas-batas ilmu sosial.
Dalam pidato pengukuhan ini, kita ditarik oleh Zuly Qodir untuk kembali menelisik “Islam Jawa” sebagai (batas-batas) gejala budaya. Zuly Qodir memaksa ilmuwan sosial terkini untuk tidak buru-buru membawa “Islam Jawa” sebagai fenomen politik, namun “masuk” ke dalam “ moral Islam Jawa.
Sekali lagi, profisiat Profesor Zuly Qodir.
***
Henry Thomas Simarmata
Senior Advisor Pusat Studi Islam dan Kenegeraan Indonesia (PSIK-Indonesia)
Email: [email protected]