Saudaraku, bagaimana bisa kutemukan inti dalam dunia yang terkepung logo dan reklame. Manusia bahkan tak berani menjadi diri sendiri tanpa bergantung pada merek-merek ternama.
Bagaimana bisa kutemukan pemimpin sejati di tengah tumpukan para pesolek gila kuasa dengan kualitas semenjana.
Ketika kekaguman pada ”nama-nama besar” mulai pudar akibat kemerosotan wibawa pusat teladan, banyak orang mengalihkan kekagumannya pada diri sendiri. Hanya berbekal penampilan, sumbangsih tipis atau kantong tebal, seseorang sudah merasa pantas memimpin negara.
Para petaruh yang tak memiliki keluasan wawasan kenegaraan, ketebalan modal sosial, dan kedalaman rekam jejak pergulatan publik mudah tergoda untuk menutupi kekurangannya dengan melipatgandakan manipulasi pencitraan. Nilai rekayasa kemasannya jauh lebih besar ketimbang kualitas sumbangsihnya pada bangsa. Situasi inilah yang melahirkan onggokan sampah pemimpin plastik, yang tak otentik di ruang publik.
Pemimpin plastik, dalam ungkapan Bung Karno, tak pernah menghiraukan isi hidup dan arah hidup. Pemimpin cetek yang terbius emas sepuhan, bukan emas murni. Ia cinta pada gebyarnya lahir, bukan kepada nurnya kebenaran dan keadilan. Sebuah bangsa besar yang dirundung banyak masalah hendak dipimpinnya bukan dengan kekuatan visi, melainkan dengan impresi.
Tatkala ayat-ayat urbanitas membawaku ke alamat yang sesat, kuputuskan untuk mencari kesejatian dengan menyelam di kedalaman hati.