Yudi Latif

Gurulah yang menjadi kurikulum dalam keadaan bergerak, yang diharapkan mampu mengukir manusia secara lahir dan batin.

Pendidikan itu benih harapan. Manakala masyarakat dilanda kegelapan, keterbelakangan, keterpurukan, dan kekacauan, sedangkan kita tak tahu kunci solusinya, sandaran pamungkasnya adalah pendidikan.

Faktanya, tak ada bangsa dan peradaban yang bisa berkembang hebat tanpa pendidikan hebat. Para Pendiri Bangsa menyadari benar signifikansi pendidikan ini sehingga tugas ”mencerdaskan kehidupan bangsa” dinyatakan di Pembukaan UUD 45 sebagai salah satu misi pemerintah negara.

Tugas pemerintah tidak hanya menampung dan memperjuangkan aspirasi rakyat, tetapi juga mengemban tanggung jawab sebagai pendidik rakyat. Agar bisa mendidik rakyat secara baik, penyelenggara negara harus sanggup terlebih dulu mendidik dirinya sendiri. Nasihat Khalifah Ali bin Abi Thalib, ”Barang siapa diangkat atau mengangkat dirinya sebagai pemimpin, hendaklah ia mulai mengajari dirinya sebelum mengajari orang lain.”

Nasihat ini patut diinsafi karena sumber dari berbagai kejahiliahan yang melanda bangsa ini adalah karena defisit keteladanan pemimpin. Alih-alih mendidik diri dan menyehatkan dunia pendidikan, banyak petinggi negara merongrongnya dengan rekayasa ”politisasi”, perburuan proyek, dan gelar murahan.

Keteladanan pemimpin untuk bisa mencerdaskan diri sebelum mencerdaskan rakyat, antara lain, ditunjukkan oleh Presiden Soeharto. Dengan latar pendidikan formal terbilang rendah, minat belajar sang presiden tak pernah padam. Ia senantiasa berusaha mencerdaskan diri dengan menyerap berbagai pengetahuan dan informasi, terutama dari para pembantunya yang ia pilih dari kalangan teknokrat jempolan. Hingga pada gilirannya, ia bisa menjadi ”mahaguru” bagi para pembantunya.

Berkat bonanza minyak, sejak 1973, Soeharto juga menggulirkan program pembangunan SD Inpres di setiap desa, disusul program Wajib Belajar Enam Tahun sejak 1984, yang diperluas menjadi sembilan tahun pada 1994. Dengan demikian, secara kuantitatif, Indonesia telah menorehkan pencapaian impresif pada tingkat pendidikan dasar, yang mulai merembes ke tingkat menengah.

Pencapaian ini telah menarik perhatian para ilmuwan dunia. Salah satunya, Esther Duflo, peraih Nobel bidang ekonomi di 2019. Dalam karya penelitiannya, ”Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence from an Unusual Policy Experiment (2001), ia mengemukakan, program SD Inpres salah satu program pembangunan sekolah terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah dunia.

Prestasi itu tinggal diteruskan oleh keteladanan pemimpin berikutnya untuk bisa mendidik diri dan rakyatnya melalui penyempurnaan capaian kuantitatif itu dengan capaian kualitatif.

Bangun pendidikan berkualitas

Capaian kualitatif dalam pendidikan ditentukan oleh kemampuannya menghasilkan luaran yang memiliki keunggulan dalam pengetahuan, keterampilan, dan karakter. Sosok SDM berkualitas itu ibarat pohon unggul: berakar dalam, berbatang tinggi, bercabang-ranting rapi, berdaun rindang, berbuah lebat.

Akarnya karakter-akhlak mulia; batangnya wawasan ketinggian pengetahuan; cabang-rantingnya keterampilan dan kecakapan tata kelola (hard skill, soft skill, life skill); daunnya kerukunan kolaboratif; buahnya kreativitas inovasi.

Pendidikan bermutu tak dihasilkan melalui proses instan. Hambatan utamanya, kebijakan pendidikan yang terlalu mudah bergeser merusak kesinambungan gerak tumbuh pohon pendidikan yang sehat. Dengan dalih mengupayakan pendidikan bermutu, rezim pendidikan mudah terkecoh oleh perubahan sinkronis yang ditimbulkan oleh disrupsi instrumental (teknologis), mengabaikan hal-hal fundamental yang diakronis.

Pusat perhatiannya ditujukan pada perubahan, bukan pada aspek-aspek prinsipil yang bersifat konstan; lebih hanyut dalam tarikan gelombang kompleksitas, bukan berusaha mencari dasar simplisitas dari kompleksitas.

Dalam dunia pendidikan, aspek fundamental yang bersifat konstan itu harus dimulai dari pemahaman tentang esensi pendidikan. Sebagaimana didefinisikan Ki Hadjar Dewantara, ”Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses belajar menjadi manusia seutuhnya dengan belajar dari kehidupan sepanjang hayat.”

Potensi yang harus diaktifkan untuk jadi manusia seutuhnya itu adalah ”budi pekerti”. Budi mengandung arti ”pikiran, perasaan, dan kemauan (aspek batin); pekerti artinya ”tenaga” atau ”daya” (aspek lahir). Pendidikan budi pekerti mengupayakan bersatunya pikiran, perasaan, dan kemauan manusia melalui olah pikir, olah rasa, olah karsa, dan olah raga demi menghasilkan tenaga (keterampilan) yang mendorong karya penciptaan dan perbuatan baik, benar, dan indah.

Untuk itu, diperlukan proses penahapan dengan titik tekan berbeda sesuai jenjang pendidikan. Pendidikan usia dini membekali peserta didik dengan pengolahan perangkat jasmani-rohani dengan pembiasaan dasar-dasar perilaku manusia baik (pendidikan karakter ditekankan; pelajaran baca, tulis, berhitung belum perlu). Pendidikan dasar membekali peserta didik dengan dasar-dasar jadi manusia pembelajar (kemampuan membaca, menulis, menutur, dan berhitung secara fungsional mulai diperkenalkan. Secara keseluruhan bahan ajar dan lingkungan sekolah dirembesi oleh muatan pendidikan karakter).

Pendidikan sekolah menengah membekali peserta didik dengan dasar-dasar ilmu pengetahuan dan keterampilan. Mereka dituntun untuk bisa mengenali dan mengembangkan potensi dirinya dan kemampuan menautkan keistimewaan pribadinya itu dalam kebersamaan dengan yang lain, dengan mengombinasikan pembelajaran berbasis kelas dan pelajaran selektif berbasis individu.

Pendidikan tinggi membekali peserta didik dengan wawasan generalis disertai keahlian spesifik. Kombinasi yang membuat Homo sapiens bisa lebih sintas dibandingkan dengan spesies manusia lain. Dengan wawasan generalis, Homo sapiens yang eksodus dari Afrika itu bisa beradaptasi dengan berbagai lingkungan dan iklim. Bisa hidup di lingkungan khas.

Ibarat pertumbuhan pohon yang mengombinasikan jaringan pembuluh yang meluas (floem) dan meninggi (xylem). Peserta didik tak cukup dibekali keahlian khusus, explicit knowledge dan keterampilan teknis, tetapi juga wawasan interdisiplin dan transdisiplin yang lebih holistik. Kapabilitas yang ditumbuhkan harus memperhatikan keberfungsiannya secara efektif, yang bisa diaktualisasikan individu dalam ikut memecahkan masalah konkret kehidupan masyarakat.

Wawasan generalis diberikan melalui pendidikan liberal arts. Pendidikan bagi manusia merdeka (bukan budak) ini di awal pertumbuhannya dalam tradisi Graeco-Romawi meliputi tujuh subyek: retorika, logika, tata bahasa, aritmetika, geometri, musik, dan astronomi. Dalam perkembangannya, pascarenaisans, ditambahkan sejarah dan humaniora.

Saat ini, seiring kecepatan perkembangan teknologi, multikulturalisme, serta krisis sosial dan lingkungan, banyak universitas menambahkan studi tentang literasi teknologi, pendidikan kewargaan (civic education), wawasan etika dan lingkungan, kewirausahaan sosial (social venture) dan creative problem solving. Liberal arts ini biasanya diberikan di tingkat awal jenjang sarjana (undergraduate), dengan diikuti oleh seluruh mahasiswa dari segala program studi (prodi).

Barulah setelah itu, keahlian spesifik diajarkan sesuai prodi masing-masing yang memuncak di jenjang pascasarjana. Di tingkat pascasarjana, budaya inovasi dan kreativitas tinggi dikembangkan lewat pelembagaan universitas riset di bawah bimbingan guru besar.

Mutu pendidik sebagai kunci

Masalah pendidikan di Indonesia sangat berlimpah. Namun, kita bisa mulai mengurainya dengan menyasar simpul terlemah, yakni mutu guru. Dari segi kuantitatif, Indonesia surplus guru meski ada persoalan dalam pemerataan sebarannya. Kelemahan utamanya timbul dari ketidaksinkronan antara ledakan jumlah sekolah dan guru dengan defisiensi pasokan guru bermutu.

Sehebat apa pun rancangan kurikulum, pada akhirnya bergantung pada kapasitas eksekusi dan penyampaian (delivery). Gurulah yang menjadi kurikulum dalam keadaan bergerak (living curriculum). Seperti diingatkan oleh KH Dewantara, seorang juru didik perlu kecakapan yang lebih baik dari juru ukir. Jika pengukir kayu saja wajib punya pengetahuan mendalam dan luas tentang hakikat kayu dan teknik ukir, apalagi juru didik yang diharapkan mampu mengukir manusia secara lahir dan batin.

Berbagai kurikulum telah dipergantikan, berbagai program sertifikasi telah diberlakukan, berbagai insentif telah diberikan, tetapi dampaknya pada peningkatan mutu guru dan murid belum terlihat signifikan. Tak ada jalan pintas menuju kualitas. Perbaikan mutu guru menuntut kita melakukan transformasi menyeluruh, mulai dari proses pelatihan pre-service, in-service hingga reorientasi jati diri dan budaya pendidik.

Pada tahap pre-service, calon guru harus mengikuti pendidikan profesional keguruan. Tak cukup sekadar berbekal ijazah sarjana. Rezim kebijakan pendidikan telanjur menghapus institusi-institusi keguruan warisan masa lalu dengan modal kultural praktik terbaiknya, seperti SPG, SGA, dan sebagian IKIP.

Namun, institusi pengganti yang lebih kredibel tak kunjung hadir. Perubahan sejumlah IKIP menjadi universitas umum justru menggeser orientasi pola ilmiah pokoknya yang menggerus kapasitasnya sebagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Untuk bisa mengemban profesi guru, seperti profesi kenotariatan, seorang sarjana harus mengikuti pendidikan profesi keguruan. Untuk itu, LPTK (IKIP dan universitas mantan IKIP) bisa direstorasi sebagai center of excellence dalam penggemblengan profesi guru.

Di tahap in-service, guru harus terus mengalami proses peningkatan kapasitas secara berkelanjutan. Guru harus diberi keleluasaan melakukan eksplorasi dan dibebaskan dari beban administratif berlebih. Bagaimana bisa mengembangkan program Merdeka Belajar jika guru tak merdeka? Program workshop dan sertifikasi jangan berhenti sekadar formalitas dan proforma—dengan sekadar melakukan pembacaan manual instruksional dan pemenuhan prosedur administratif. Guru harus mengalami program immersion, diperkenalkan pada praktik belajar-mengajar terbaik.

Guru juga harus mereorientasi jati dirinya. Seperti diingatkan Christopher Bjork (2013), guru di Indonesia telanjur diposisikan sebagai ASN, yang dibiasakan tunduk ke atasan. Dengan kultur seperti itu, guru tak menghayati diri sebagai tenaga profesional kependidikan yang harus mendekati pekerjaannya dengan derajat kebebasan sebagai wahana menumbuhkan jiwa merdeka ke peserta didik.

Di perguruan tinggi (PT), dosen harus bisa menemukan otonomi yang lebih besar dengan jaminan kebebasan akademik yang menjamin kebebasan belajar, kebebasan mengajar, dan kebebasan meneliti. Otonomi PT dihormati, antara lain, dengan memberi kebebasan untuk menawarkan program dan mata kuliah yang sesuai pola ilmiah pokok dan ketersediaan ahlinya. PT tak mengajarkan sesuatu yang tak ada ahlinya. Keahlian di universitas memusat pada guru besar.

Sudah saatnya, pengangkatan guru besar dibebaskan dari birokratisasi negara dan dikembalikan ke pangkuan otonomi PT. Dalam mengangkat guru besar, universitas tak bisa semena-mena. Nama yang diusulkan atau mengusulkan diri sebagai guru besar harus mendapatkan peer review dari ahli terkait, yang mengombinasikan unsur dari dalam dan luar universitas yang bersangkutan.

Tugas negara adalah memfasilitasi secara material ataupun oportunitas, terutama dalam membuka arus perpindahan tenaga ahli antaruniversitas, demi keterbukaan pertukaran keahlian (mencegah kebekuan inbreeding) dan menghindari ketimpangan dalam ketersediaan guru besar. Diperlukan sistem tata kelola yang efektif dan fleksibel, disertai kepemimpinan yang kuat, tetapi kolegial.

Maka, diperlukan derajat independensi dari campur tangan politik dalam urusan pemilihan kepemimpinan dengan peningkatan sumber daya untuk melaksanakan programnya. Derajat kebebasan ini tentu harus ditempatkan dalam kerangka visi transformasi pendidikan yang diidealisasikan para Pendiri Bangsa, yang menekankan cita kesetaraan, kesejahteraan, kemajuan, kepribadian, serta persatuan dalam keragaman.

*Artikel ini telah dimuat di Kompas.id.

SHARE
Artikel SebelumnyaPendidikan Fungsional

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.