Akhir-akhir ini, wacana publik dihebohkan oleh kecenderungan hedonisme para penyelenggara negara dan penggunaan properti negara untuk kepentingan pribadi. Kedua kasus ini hanyalah puncak dari gunung es yang pada akar tunjangnya menjalar suatu krisis etika publik.
Pihak-pihak tertuduh kerap membela diri dengan bersandar pada argumen legal-formal. Dengan dalih seperti itu, terpancar hilangnya kesadaran bahwa pejabat publik adalah representasi rakyat yang harus memiliki kepekaan etis terhadap suasana kehidupan dan kebatinan rakyat. Kepekaan etis senantiasa menempatkan keadilan di atas hukum. Dalam rasa keadilan, pejabat negara dalam perilaku dan gaya hidupnya harus menenggang simpul terlemah dari jutaan rakyat kecil yang terempas dan terputus.
Kedapatan bermain golf ketika terjadi pemogokan buruh, (mantan) menteri tenaga kerja Korea Selatan menuai kritik publik yang pedas. Tanpa menunggu pembuktian kesalahannya secara legal-formal, ia secara sukarela meletakkan jabatan.
Bermain golf bukan sesuatu yang salah. Apalagi, ia tak menyadari akan adanya pemogokan buruh. Secara legal-formal tidak ada hal yang ia langgar yang memaksanya harus mundur. Namun, ia sadar jabatan publik adalah suatu amanah, kepercayaan publik. Bukan hanya karena pelanggaran hukum seorang pejabat harus mundur, tetapi juga karena alasan etis ketidakmampuan menjaga kepercayaan publik. Kegagalan merawat kepercayaan publik ini tidak selalu karena kesengajaan atau ketidakmampuan, tetapi bisa juga karena kelalaian atau bahkan kesialan.
Publik tidak selalu identik dengan rakyat seluruhnya. Ruang publik adalah ranah diskursif, tempat opini kritis diungkapkan. Seorang pejabat boleh jadi dipilih mayoritas rakyat, tetapi dalam banyak kasus, bisa jatuh karena opini publik segelintir orang.
Tentu tak semua kritik harus dijawab dengan pengunduran diri. Pokok pikiran keempat Pembukaan UUD 1945, ”Ketuhanan yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”, mewajibkan pemerintah dan penyelenggara negara lain untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
Pejabat negara harus memasang radar kepekaan etis secara internal dan eksternal. Secara internal, ia harus jujur kepada hati nurani. Secara eksternal, harus mampu membaca ayat publik untuk bisa menakar otentisitas aspirasi massa kritis. Dengan itu, ia bisa menentukan jenis kelalaian dan tuntutan publik yang pantas direspons dengan meletakkan jabatan.
Jabatan bukan segala-galanya. Jika masih dipercaya mengembannya, tunaikan secara bertanggung jawab. Jika sudah tak dipercaya, lepaskanlah dengan penuh tanggung jawab. Meletakkan jabatan secara elegan, tanpa perlu menunggu prosedur formal atau ongkos sosial-politik yang mahal, adalah bagian dari tata krama demokrasi.
Tes terakhir seorang negarawan demokrat (di Indonesia) bukan dalam kesediaan untuk memangku jabatan, melainkan kesediaan untuk meletakkan jabatan. Di sini, problem utama kenegaraan terletak pada surplus pemburu jabatan. Jabatan dicoba diraih dan dipertahankan dengan berbagai cara, yang merusak tatanan kenegaraan dan demokrasi.
Hanya sedikit perkecualian orang yang memiliki jiwa asketis, yang tidak tergoda kekuasaan atau bisa mengendalikan diri secara etis dalam meraih kekuasaan serta mau melepas jabatan secara sukarela. Padahal, seperti kata Juvenalis, “Percayalah, adalah sangat aib apabila kamu lebih mementingkan kehidupan ketimbang harga diri, sementara demi kehidupan itu (sendiri) engkau telah kehilangan prinsip-prinsip kehidupan.”
Hilangnya harga diri dan prinsip kehidupan membuat para politisi dan penyelenggara negara menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kedudukan dan uang. Dalih ketidakcukupan gaji sebagai pejabat negara dijadikan alasan untuk terus menggelembungkan aneka tunjangan dan pencarian rente. Tabiat seperti ini melenceng jauh dari kesadaran etis para pendiri bangsa.
Di tengah impitan depresi ekonomi dan represi rezim rust en orde pada dekade 1930-an, setegar baja Bung Hatta berkata, ”Betul banyak orang yang bertukar haluan karena penghidupan, tetapi pemimpin yang suci senantiasa terjauh dari godaan iblis itu.” Lantas ditambahkan, ”Ketetapan hati dan keteguhan iman adalah satu conditio sine qua non (syarat yang terutama) untuk menjadi pemimpin. Kalau pemimpin tidak mempunyai moril yang kuat, ia tak dapat memenuhi kewajibannya dan lekas terhindar dari pergerakan.”
Penguatan etika politik adalah pertaruhan masa depan demokrasi di Indonesia. Masalah korupsi dan kelemahan pertanggungjawaban publik di negeri ini bukanlah karena defisit hukum, tetapi terutama karena erosi etika politik. Padahal, etika politik yang menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan sosial-politik, kesejahteraan bersama, dan keadilan sosial. Seperti kata Paul Ricoeur, etika politik adalah kekuatan reflektif untuk membongkar argumen yang melegitimasi kebijakan publik dengan menempatkan diri dalam posisi dan dimensi moral orang lain.
Dalam panggung politik, klaim etis sering dipakai untuk memojokkan pengkritik tanpa kemampuan refleksi diri untuk menginsafi kelalaian etis pejabat negara. Loyalitas partai koalisi dituntut dengan klaim etis, tetapi melalaikan prinsip etis yang fundamental menurut demokrasi konstitusional, loyalitas tak dibenarkan untuk tujuan keburukan dan pelanggaran hukum. Gotong-royong hanya dibenarkan dalam kebajikan dan takwa, tidak dalam kesesatan dan keburukan!
Politik adalah dimensi manusia secara keseluruhan dalam menciptakan kemaslahatan bersama. Maka dari itu, etika menjadi bagian esensial di dalamnya. Rusak etika, rusak politik!
Tulisan ini telah diterbitkan di rubrik Resonansi, Republika, 17 Juli 2013.