Peringatan Hari Pahlawan diwarnai keluhan panjang tentang raibnya kisah pemimpin pahlawan yang membuat panggung politik menampilkan para badut. Penonton yang tak sabar menanti perubahan, mendambakan pahlawan tampil agar kisah derita segera dituntaskan dengan ujung bahagia.

Faktanya, dalam situasi krisis nasional yang akut, ada jarak yang lebar antara harapan dan kenyataan; antara janji kampanye “pemimpin harapan” dengan realisasi kinerja perubahan.

Kecepatan bertindak menjadi pertaruhan, seberapa lama pahlawan yang diharapkan tetap bertakhta di hati rakyat. “Bangsa ini menuntut tindakan. Maka, bertindaklah sekarang. Kita harus bertindak dan bertindak secara cepat,” ujar Franklin Delano Roosevelt, Presiden Amerika pada masa depresi besar 1930-an. “Hanya dalam beberapa pekan,” ujar Walter Lippman. “Bangsa yang telah kehilangan kepercayaan terhadap segala hal dan setiap orang menemukan kembali kepercayaannya kepada pemerintah dan dirinya sendiri.”

Prasyarat kecepatan itulah yang tidak dipenuhi pemimpin bangsa ini yang harus dibayar mahal oleh surutnya kepercayaan publik. Beruntung, publik Indonesia bukanlah pembayar pajak yang sadar akan hak-haknya yang dapat segera “menghukum” pemimpin bila tidak merealisasikan janji-janjinya. Namun, kesabaran rakyat ada batasnya.

Bila pemimpin tak kunjung memperbaiki kinerjanya, mereka yang tampil sebagai pahlawan bisa berakhir sebagai pecundang. Harapan rakyat yang tak berbalas melahirkan keluhan panjang tentang sebuah negeri murung dirundung malang yang tak kunjung menemukan pahlawan.

Untuk mengobatinya, pesan dialog Andrea dan Galileo dalam drama Bertolt Brecht pantas dipertimbangkan. Andrea Berkata, “Negeri murung yang tak punya pahlawan.” Galileo menukas, “Bukan. Negeri murung yang perlu pahlawan.” Pahlawan itu selalu ada, tapi kita tak menyadarinya. Ketika disebut nama pahlawan, yang biasa terbayang adalah kematian dan penantian.

Padahal, makna dari suatu kematian adalah warisan kebaikan yang hidup hari ini. Makna dari suatu penantian adalah kebaikan yang di – tanamkan untuk masa depan. Makna kemarin dan hari esok yang berlalu dan berlaju sangat di tentukan oleh tindakan kepahlawan yang hidup saat ini.

Kepahlawan bukan untuk dikultuskan atau di nanti sebagai ratu adil, melainkan perlu dihidupkan dalam diri setiap orang. “The hero within“, menurut psikolog Carl S Pearson.

Kepahlawanan dalam diri inilah yang menggerakkan kepedulian rakyat untuk berbagi kasih dengan para korban bencana, mengatasi kelambanan pemerintah dalam menyalurkan bantuan.

Kepahlawanan dalam diri ini pula yang membuat rakyat kecil bermental besar, mengatasi kelemahan para pemimpin besar yang bermental kecil. Kepahlawanan dalam diri rakyat ini pula yang dapat menambal tenunan keindonesian yang robek oleh rebutan kepentingan perseorangan.

Dengan mengikuti Pearson, usaha menghidupkan kepahlawanan dalam diri memerlukan transformasi hidup se cara terus-menerus. Manusia harus beringsut dari fase penderitaan (orphan), pengembaraan (wanderer), kependekaran (warrior), komitmen pada kebaikan luhur (altruist), merayakan bersama kehidupan (innocent), dan akhirnya mampu menciptakan kehidupan seperti yang diinginkan (magician).

Ketika orang bertransformasi dari satu tahap ke tahap berikutnya, diperlukan perubahan paradigma mentalitas yang membawa konsekuensi pada perubahan sikap dan tindakan. Menjadi masalah besar ketika se orang pemimpin yang diharapkan sebagai magician yang dapat mengubah keadaan, bahkan belum mencapai mentalitas altruist. Maka, yang berkembang adalah para pemimpin wanderer yang masih suka mengembara lewat studi banding dan pemimpin warrior yang “berkelahi” untuk perbaikan fasilitas dan tunjangan bagi kepentingan perseorangan.

Alhasil, kepemimpinan suatu bangsa mencer- minkan kualitas rakyatnya. Pahlawan yang dinanti di ruang publik ditentukan oleh kesuburan tanah rakyat bagi persemaian para pahlawan. “What is our task? To make Britain a fit country for heroes to live in,” ujar David Lloyd George.

Apa yang menjadi tugas rakyat Indonesia adalah membuat negara ini menjadi tempat yang cocok untuk menghidupkan para pahlawan. Memang benar, politik bisa membuat perbedaan untuk kebaikan dan keburukan. Kepahlawanan seorang pemimpin bisa menjadi pusat teladan. Karena itu, nilai kepahlawanan seorang pemimpin ditentukan oleh kemampuannya untuk menghidupkan jiwa kepahlawanan pada diri rakyatnya. Untuk itu, pemimpin harus mampu menyelami suasana kebatinan rakyat dan meninggalkan keyakinan dalam diri mereka akan kesanggupannya mengemban perubahan.

Tulisan ini pernah dimuat di harian Republika, 7 November 2012.

SHARE
Artikel SebelumnyaPolitik Akal Sehat
Artikel SelanjutnyaKorupsi Demokrasi

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.