Judul Buku: Politik Otentik: Manusia dan Kebebasan dalam Pemikiran Hannah Arendt
Penulis: Agus Sudibyo
Penerbit: Marjin Kiri, 2012
Tebal: xxv + 240 halaman
ISBN: 978-979-1260-145
Politik pada hakikatnya diarahkan untuk mengondisikan manusia bertindak otentik. Di dalam politik terkandung makna kebebasan, penghargaan terhadap keberagaman, dan solidaritas antarwarga.
Mencoba kembali ke akar pemahaman. Itulah yang dilakukan Agus Sudibyo dengan telaahnya tentang pemikiran Hannah Arendt. Tinjauan terhadap karya-karya Arendt menjadi penting jika dikaitkan dengan pergulatan politik Indonesia yang cenderung semakin otonom dari masalah publik.
Lewat buku Politik Otentik, Sudibyo membawa pembaca pada suatu panorama betapa senjang politik Indonesia dari politik ideal yang digagas Arendt. Sementara Arendt menegaskan bahwa politik adalah kondisi kebebasan, praktik politik justru sering membatasi kehendak publik. Sementara bagi Arendt, politik adalah medium kebersamaan dalam keberagaman, praktik pemberangusan kemajemukan kadang memperoleh pembenaran politik.
F Budi Hardiman dalam kata pengantar buku ini mengidentifikasi kata otentik yang disematkan pada kata politik sebagai atribut yang terasa asing bagi politik yang lazim. Baginya, politik riil tidak mungkin tidak berdusta (hal v). Praktik politik kerap diselimuti muslihat yang mengecoh publik. Maka, kata otentik lebih merupakan ajakan untuk meluruskan pengertian politik yang sudah telanjur bengkok.
Problem pokok yang digeluti oleh Sudibyo adalah bagaimana politik sepatutnya dipahami. Kondisi-kondisi seperti apa yang memungkinkan politik sebagai suatu aktivitas bebas yang berintegritas? Sebaliknya, tindakan-tindakan semacam apa yang kiranya menggerogoti kebebasan hingga menghasilkan suatu krisis bagi politik?
Lebih daripada sekadar penyelenggaraan kekuasaan, bukan pula penundukan total melalui pendayagunaan kekerasan, politik bagi Arendt justru harus dipahami di luar kategori penguasaan dan pemaksaan. Politik, pendeknya, dimengerti sekaligus dalam konteks kebebasan individu dan solidaritas politis antarwarga (hal 4). Dengan pengandaian bahwa ruang publik ditujukan untuk mengaktualisasikan kebebasan, politik terlaksana ketika terwujud koeksistensi individu-individu yang setara dan bertindak bersama-sama di ruang publik.
Cukup sering hidup kontemplatif para pemikir soliter dipandang lebih utama, bahkan tidak terkait dengan lingkup kehidupan aktif. Dalam telaahnya, dengan merujuk Arendt, Sudibyo menunjukkan bahwa manusia politik juga hidup dalam lingkup reflektif. Kapasitas politik, dengan demikian, mencakup kapasitas untuk berpikir, berkehendak, menilai secara otonom, serta menerobos batas-batas ideologis, hukum, metode penalaran, dan logosentrisme tertentu (hal 118).
Krisis dalam politik
Arendt (1906-1975), perempuan filsuf berdarah Yahudi, adalah korban kekejaman Nazi. Terusir dari Jerman, dia berpindah ke Perancis sebelum menetap dan menjadi warga negara Amerika Serikat. Karya-karyanya seperti The Origin of Totalitarianism dan Eichmann in Jerussalem menunjukkan bukan semata suatu perspektif korban. Pemahaman kritis Arendt terhadap pengalamannya sebagai yang ditolak memberi sumbangan signifikan bagi kemanusiaan.
Karya-karya Arendt yang juga memperoleh sambutan luas adalah The Human Condition dan The Life of The Mind. Dalam karya pertama, Arendt menegaskan keutamaan ”tindakan” dibandingan dengan ”kerja” dan ”karya”. Kerja berhubungan dengan proses biologis tubuh manusia, sementara dalam karya manusia lebih bertindak secara instrumental. Tindakan adalah aktivitas yang terjadi secara langsung antarmanusia dalam kesetaraan dan keberagaman.
Dalam The Life of Mind dijelaskan bahwa pikiran, kehendak, dan penilaian merupakan aktivitas mental dasar yang otonom. Sebagai suatu kapasitas politik, berpikir merupakan suatu modus untuk memasuki kebebasan dalam kerangka interaksi dan empati demi pemahaman silang. Sementara, ketika manusia mampu mengambil keputusan orisinal berhadapan dengan sistem tertentu, dia memiliki kehendak bebas. Adapun penilaian (kapasitas untuk menuju yang universal tanpa mediasi konsep determinan) merupakan kapasitas rasional yang paling penting secara politik.
Melalui buku ini, Sudibyo menelusuri pokok-pokok tersebut untuk menunjukkan kedalaman sekaligus relevansi kajian Arendt. Bab 4 yang membahas krisis politik merupakan bagian paling provokatif yang mewakili suatu pertanyaan ”apakah politik masih memiliki makna”. Di tengah tarikan-tarikan antipolitik—penghancuran kemanusiaan melalui kekerasan, diskriminasi, penindasan, penyeragaman, dan bahkan pembunuhan—orang mungkin menyangsikan otentisitas politik.
Totalitarianisme mengupayakan konformisme melalui pendayagunaan instrumen teror. Hidup dikontrol dalam suatu pengendalian diskriminatif demi menghasilkan ketundukan dalam keseragaman. Ruang publik dihancurkan, hukum dilecehkan, dan individu dipaksa tunduk terhadap kekuasaan (hal 178-187).
Demokrasi liberal juga memiliki segi-segi antipolitik. Arendt mengkritik praktik yang menempatkan kekuasaan bukan sebagai ruang artikulasi kebebasan warga, melainkan terutama sebagai ruang birokratisasi dan administratisasi segi-segi kehidupan. Demokrasi modern lebih menonjolkan prosedur, struktur, dan sistem; bukan subyek politik yang otentik. Demikian pula prasangka-prasangka telah mendegradasi politik sebagai medium dominasi, bukan medium pembebasan (hal 196).
Arendt bagi Indonesia
Kritik Arendt dapat menjadi suatu elemen penjelas bagi ironi demokrasi Indonesia, ketika terdapat jarak menganga antara perayaan demokrasi formal dan terpuruknya akuntabilitas pemerintahan. Seorang kepala daerah yang memperoleh dukungan besar dalam pilkada, misalnya, harus mengakhiri jabatannya lebih dini karena tersangkut korupsi.
Arendt, menurut Sudibyo, telah berhasil memperkenalkan kembali keutamaan politik yang telah ditenggelamkan oleh kategori politik tradisional ataupun oleh pengalaman kontemporer. Sudibyo juga menunjukkan bahwa optimisme Arendt, yang menegaskan bahwa kelahiran adalah awal eksistensi politik, memberi semangat perlawanan terhadap tindakan-tindakan antipolitik. Di tengah ujian untuk merehabilitasi politik atau melemahkan politik, republikanisme Arendt memberi landasan bagi yang pertama.
Tulisan ini telah dipublikasikan di harian Kompas, 21 Januari 2013.