Ilustrasi (Foto: asahsaya.com)

Sudah menjadi keluhan umum bahwa sebagian besar pengetahuan yang kita peroleh di sekolah mudah terlupakan. Banyak orang mengaku, hanya sedikit yang benar-benar masih diingat atau dirasakan manfaatnya setelah lulus.

Pengalaman semacam ini memperlihatkan betapa pembelajaran di kelas kerap terputus dari kehidupan nyata. Pendidikan yang seharusnya menolong peserta didik menghadapi masa depan sering terjebak pada rutinitas hafalan dan ujian. Akibatnya, siswa belajar bukan untuk memahami, melainkan sekadar memenuhi instruksi.

Padahal, esensi kegiatan belajar-mengajar di sekolah bukan sekadar menyampaikan materi, melainkan menjadikannya relevan dengan kebutuhan, pengalaman, dan tantangan hidup murid. Tanpa relevansi, pelajaran akan cepat terlupakan; dengan relevansi, ia bisa menjadi bekal yang melekat sepanjang hayat.

Masalahnya, praktik pengajaran di banyak sekolah masih jauh dari ideal itu. Di sinilah kita menemukan akar persoalan: pembelajaran yang dangkal.

Pembelajaran yang Dangkal

Jurang antara pelajaran di kelas dan kehidupan nyata tidak lepas dari cara pengajaran yang masih dominan berbasis hafalan. Murid dianggap berhasil jika mampu mengulang definisi, data, atau rumus di atas kertas ujian.

Model ini menjadi pilihan karena dinilai praktis. Dengan kurikulum yang padat, guru merasa perlu menuntaskan materi secepat mungkin. Diskusi tentang mengapa suatu topik penting dipelajari sering dianggap membuang waktu. Akibatnya, siswa belajar bukan untuk memahami, melainkan sekadar memenuhi tuntutan ujian.

Perlahan, sekolah pun lebih dilihat sebagai tempat mengikuti aturan ketimbang ruang mencari makna. Siswa belajar demi nilai, bukan demi hidup. Padahal, anak-anak sejatinya lahir sebagai pembelajar alami—penuh rasa ingin tahu, gemar bertanya, dan senang mengeksplorasi. Sayangnya, pertanyaan mereka kerap dianggap mengganggu, sementara kecepatan menguasai materi justru dijadikan tolok ukur kecerdasan.

Relevansi sebagai Kunci

Mickey Kolis dalam Student Relevance Matter (2020) menegaskan pentingnya menjadikan pembelajaran relevan dengan kehidupan siswa. Ketika murid memahami mengapa suatu materi penting, keterlibatan mereka meningkat. Tanpa relevansi, motivasi belajar menurun, meskipun guru sudah berusaha keras menyampaikan materi.

Pelajaran jasmani, misalnya, bukan untuk mencetak atlet, melainkan membentuk kesehatan fisik, mental, sosial, dan emosional. Demikian pula pelajaran bahasa, yang esensinya adalah mengasah keterampilan berkomunikasi, bukan menghafal teori linguistik.

Bila guru tidak memahami tujuan mendasar mata pelajarannya, proses belajar akan dangkal. Murid hanya melihat aktivitas di kelas sebagai rutinitas tanpa makna. Sebaliknya, bila relevansi jelas dan tujuan disampaikan dengan baik, rasa ingin tahu anak akan tumbuh. Mereka belajar bukan karena diminta, melainkan karena merasa butuh.

Berbagai survei pun menegaskan bahwa distribusi buku dan pembangunan perpustakaan tidak otomatis meningkatkan minat baca. Studi Tanoto Foundation bersama Kemendikbudristek menunjukkan sekolah yang mendapatkan pelatihan guru berkelanjutan mengalami peningkatan signifikan: kemampuan membaca naik 9,6 persen, menulis 5,3 persen, matematika 7,5 persen, dan sains 5,4 persen dibanding sekolah yang tidak dilatih.

Data tersebut membuktikan bahwa kualitas pengajaran dan keterhubungan dengan murid jauh lebih menentukan ketimbang sekadar jumlah buku.

Jalan ke Depan

Kita tidak bisa lagi mengukur keberhasilan pendidikan hanya dari nilai ujian atau banyaknya fakta yang dihafal. Dunia kerja masa depan menuntut keterampilan berpikir kritis, berkolaborasi, memecahkan masalah, dan beradaptasi. Semua itu tidak mungkin tumbuh dari pembelajaran yang hanya menekankan hafalan.

Guru perlu lebih terbuka untuk berdialog dengan siswa, memberi ruang bertanya, dan mengaitkan materi dengan pengalaman nyata. Pemerintah perlu melanjutkan distribusi buku, tetapi dengan menekankan kualitas bacaan yang relevan. Sekolah perlu membangun budaya belajar yang mendorong keingintahuan, bukan sekadar kepatuhan.

Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menegaskan bahwa pendidikan sejati lahir dari dialog, bukan hafalan. Rasa ingin tahu yang terus dirawat membuat murid aktif membaca dan meneliti. Semangat inilah yang harus kita wariskan kepada peserta didik agar tumbuh sebagai pembelajar sepanjang hayat.

Menjadikan Pelajaran Bermakna

Program literasi memang sudah banyak dijalankan. Buku dibagikan, perpustakaan dibangun, pelatihan guru dilakukan. Namun, semua itu akan berhenti sebagai rutinitas administratif jika pembelajaran tidak menyentuh hal yang paling mendasar: relevansi dengan kehidupan murid.

Pendidikan sejati adalah pendidikan yang membuat siswa merasa bahwa apa yang mereka pelajari berguna, dekat dengan pengalaman sehari-hari, dan penting bagi masa depan mereka. Belajar di sekolah bukan sekadar kewajiban, tetapi jalan untuk memahami dunia sekaligus menumbuhkan diri.

Jika kita sungguh ingin melahirkan generasi pembelajar sejati, kuncinya ada pada guru dan sekolah yang mampu menjadikan setiap pelajaran bermakna, setiap bacaan berdaya guna, dan setiap pertanyaan anak dihargai.

Sebab, dari relevansi lahir keingintahuan, dan dari keingintahuan tumbuh kecintaan pada pengetahuan.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.