Kita tidak tahu persis bagaimana nasib keberlangsungan negara-bangsa di masa yang akan datang. Globalisasi dan perkembangan teknologi (telematika) bisa saja membawa disrupsi pada pola-pola pengorganisasian masyarakat manusia, yang membawa perubahan signifikan terhadap eksistensi negara bangsa.
Yang bisa kita katakan saat ini ialah rasa syukur. Lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka, keberadaan superorganisme bernama ‘bangsa Indonesia’, dengan jejaring ‘sarang lebah’ yang menyatukan segala keragaman dan keluasaan Tanah Air ini, telah menjalankan fungsi emansipatorisnya secara mengagumkan. Ini mungkin terdengar ganjil bagi mindset kebanyakan kita yang telanjur rutin dibanjiri kabar buruk. Lebih dari itu, sejarah evolusi manusia dalam ratusan tahun lamanya membentuk otak manusia memiliki kesadaran yang sangat akut terhadap potensi bahaya. Kombinasi kedua hal ini merintangi kemampuan kita untuk bisa melihat kabar baik.
Nyatanya, sejarah perjalanan ‘negara-bangsa’ Indonesia mengukir banyak kabar baik, selama mengarungi segala tantangan dan cobaan. Secara eksternal, solidaritas kebangsaan ini berhasil membebaskan aneka kelompok etno-religius dari belenggu penjajahan dari luar. Secara internal, solidaritas kebangsaan telah menjadikan Indonesia rumah yang relatif damai bagi segala kemajemukan yang ada.
Konflik-peperangan antarsuku dan antarkelompok agama menjadi lebih jarang terjadi. Tingkat kematian di negeri ini terus menurun secara gradual dari 14,6 per 1.000 penduduk pada 1967 menjadi 7,1 per 1.000 penduduk pada 2016. Angka harapan hidup pun terus meningkat dari 52,8 tahun pada 1967 menjadi 69,2 tahun pada 2016; tumbuh dalam kisaran 0,55% per tahun (World Data Atlas, 2017). ‘Penemuan’ bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan telah menorehkan pencapaian yang fenomenal. Bermula dari rumpun bahasa Melayu Riau, bahasa ini dengan cepat berkembang menjadi lingua franca di seantero negeri, bahkan menjadi bahasa pertama bagi sebagian besar generasi baru, yang menyediakan sarana komunikasi yang amat penting bagi pergaulan lintas kultural bangsa majemuk ini. Lebih dari itu, daya adaptif bahasa ini untuk mengikuti perkembangan zaman membuat beberapa peneliti bahasa di Eropa menyebut bahasa Indonesia sebagai contoh kasus tentang apa yang dinamakan modernisasi bahasa yang berhasil secara gilang-gemilang. Sedemikian rupa sampai-sampai seorang sarjana Prancis, Jerome Samuel, menulis buku Kasus Ajaib Bahasa Indonesia (2008).
Ketegangan antaridentitas (suku, agama, ras, golongan) sesekali memang bisa meledak. Sebagian musababnya karena warisan patologi pascakolonial yang belum bisa disembuhkan sepenuhnya di rumah sehat kebangsaan. Bukan karena ketidakmanjuran resep nilai kebangsaan itu sendiri, melainkan justru karena kurangnya takaran dan konsistensi pemakaian obat nilai kebangsaan.
Horor pertumpahan darah juga pernah terjadi dengan melibatkan elemen masyarakat dan negara dalam pola aksi-reaksi yang dipicu oleh persepsi tentang ketidakadilan sosial-ekonomi, yang memancing reaksi balik dalam wujud ledakan aspirasi totalitarianisme, baik yang bercorak komunisme maupun fasisme. Namun, dalam semua peristiwa tragedi nasional itu, konflik tidak merobohkan rumah kebangsaan. Solidaritas kebangsaan malah diseru untuk menjadi penawarnya dan komunitas bangsa diajak belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Dengan mengatakan demikian, bukan berarti tidak ada potensi ancaman terhadap keberlangsungan ‘negara-bangsa’ kita. Secara eksternal, intensitas dan ekstensivitas arus globalisasi bisa menguatkan pengaruh nilai-budaya dan peradaban dari luar, yang dapat membawa dampak pluralisasi, polarisasi, dan fragmentasi ideologi dalam kehidupan kebangsaan.
Secara internal, ancaman terhadap keberlangsungan negara bangsa bisa terjadi karena dekadensi dalam dimensi mental-kultural, kesalahan tata kelola insitusi negara dan demokrasi, serta ketidakmampuan mengemban negara kesejahteraan yang menjamin keadilan sosial. Secara eksternal, ancaman muncul dari implikasi globalisasi dengan penetrasi nilai-nilai, institusi dan materi baru, yang bisa memengaruhi eksistensi negara-bangsa.
Modal sosial Indonesia
Apa pun bentuk pengorganisasian politik Indonesia di masa datang, suatu entitas politik hanya bisa dipertahankan sejauh memiliki modal sosial. Modal jaringan-jaringan konektivitas dan inklusivitas sosial yang mampu menyatukan keragaman kepingan-kepingan kepentingan pribadi dan kelompok ke dalam suatu komunitas persaudaraan bersama, yang menjadi tumpuan rasa saling percaya (mutual trust).
Untuk menjadi kekuatan kolektif yang kohesif, konektivitas dan inklusivitas ini harus diikat oleh kesamaan basis moralitas (shared values). Dengan kata lain, modal sosial itu harus tumbuh di atas modal moral. Sebab, kendatipun solidaritas kemanusiaan universal yang bersifat tanpa pandang bulu ialah mulia secara ideal-ideal moralitas, pada kenyataannya ekspresi solidaritas dan altruisme itu pada umumnya bersifat selektif (parochial altruism). Bahwa altruisme itu cenderung diarahkan kepada orang-orang yang memiliki persamaan-persamaan nilai, norma, dan identitas yang membentuk komunitas moral bersama. Dengan kata lain, solidaritas kebangsaan dari segala keragaman manusia dan kelompok komunal hanya bisa dibangun manakala tersedia elemen-elemen perekat berupa keterpautan bersama dalam moral publik.
Dengan kata lain, moralitas ialah apa yang mengikat dan menyatukan manusia secara sosial. Jonathan Haidt mendefinisikan sistem moral sebagai ‘Sistem moral bisa didefiniskan sebagai seperangkat nilai, kebajikan (virtues), norma, praktik-praktik, identitas, institusi, teknologi, dan mekanisme psikologis yang terkiat dan bekerja secara bersamaan untuk menekan dan mengatur kepentingan pribadi yang memungkinkan terbentuknya masyarakat kooperatif’ (Haidt, 2012: 314).
Dalam konteks moral publik, kesamaan itu bisa ditemukan dalam 6 nilai inti. Care (peduli terhadap bahaya yang mengancam keselamatan bersama), fairness (keadilan dan kepantasan), liberty (bebas dari penindasan dan pengekangan), loyalty (kesetiaan pada institusi dan tradisi), authority (otoritas yang dihormati bersama), sanctity (hal-hal yang disucikan bersama).
Dalam konteks Indonesia, moral publik yang mengikat segala keragaman ke dalam kesatuan kebangsaan itu terkristalisasi dalam nilai-nilai Pancasila. Kelima sila Pancasila tersebut bisa dijelaskan dalam kerangka 6 nilai inti moral publik.
Sila ketuhanan mencerminkan nilai sanctity (kesucian). Bahwa setiap komunitas moral harus ada nilai yang ‘disucikan’ bersama sebagai jangkar pengikat kohesi sosial. Pengertian ‘suci’ di sini tidak harus dalam konotasi keagamaan, tetapi dalam arti nilai yang paling dipandang penting (dimuliakan). Pada warisan Sumpah Pemuda, nilai yang ‘disucikan’ itu ialah spirit ‘gotong-royong’. Pada Pancasila, spirit gotong-royong itu tetap ‘disucikan’, tetapi ditarik secara vertikal ke hulu sumbernya dari pancaran sinar Ketuhanan. Bahwa segala keragaman yang saling bergantung (yang memerlukan gotong-royong) pada segala fenomena kehidupan ini merupakan pancaran (iluminasi) dari ‘Yang Tak Terhingga’ (Tuhan), yang tidak bergantung.
Gerak vertikal ke wilayah ‘Ketuhanan’ sebagai basis sosiabilitas dalam masyarakat multiagama dan multikepercayaan masih menyimpan persoalan. Tuhan (keyakinan keagamaan) yang berbeda bisa melahirkan keragaman komunitas moral, yang menyulitkan integrasi nasional. Untuk mengatasinya, dalam Pancasila, gerak pendakian menuju ranah ‘suci’ ini tidak berhenti pada stase ‘Tuhan kelompok’ (tribal-communal god), tetapi ditarik lebih tinggi menuju ‘Tuhan universal’ (universal god), yakni Tuhan welas-asih (rahman-rahim) yang menjadi titik-temu semua agama dan keyakinan. Dalam pidato 1 Juni 1945, Soekarno menyatakan, “Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme-agama’. Hendaknya negara Indonesia satu negara yang bertuhan!”
Sila kemanusiaan mencerminkan nilai care (peduli terhadap bahaya/harm yang mengancam keselamatan bersama) dan liberty (bebas dari penindasan dan pengekangan). Bahwa komunitas moral diikat oleh kepedulian terhadap hak-hak dasar manusia (hak negatif dan hak positif), dengan menjungjung tinggi keadilan dan keadaban.
Sila kedua meyakini bahwa keberadaan manusia merupakan ada bersama. Manusia tidak bisa berdiri sendiri, terkucil dari keberadaan yang lain. Untuk ada bersama dengan yang lain, manusia tidak bisa tidak harus ada-bersama-dengan-cinta, dengan mengembangkan rasa kemanusiaan yang adil dan beradab. Perjuangan kemanusiaan bangsa Indonesia, dikembangkan melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi. Keluar, bangsa kita harus menggunakan segenap daya dan khazanah yang dimilikinya untuk secara bebas-aktif ‘ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial’, sebagaimana tertera pada (aline 4) Pembukaan UUD 1945. Ke dalam, bangsa kita harus menerima, apa yang disebut Muhammad Yamin, ‘benda rohani berupa pengakuan dan pemuliaan hak asasi kemanusiaan’.
Sila persatuan (kebangsaan) mencerminkan nilai loyalty (kesetiaan terhadap ruang hidup/Tanah Air, bersama tradisi dan konsensus bersamanya). Bahwa komunitas moral memerlukan kesadaran bersama untuk merawat ‘rumah’ bersama, yakni kebebasan individu dan partikularitas lainnya jangan sampai menghancurkan tatanan tradisi dan konsensus yang menjaga harmoni dalam kebersamaan.
Sila ketiga meyakini bahwa dalam ada bersama, manusia sebagai makhluk sosial memerlukan ruang hidup yang konkret dan pergaulan hidup dalam realitas kemajemukan. Cara menghidupkan komunitas moral dengan cara meleburkan kepentingan pribadi/golongan ke dalam kepentingan secara keseluruhan masyarakat bangsa, yang mendiami Tanah Air sebagai geopolitik bersama itulah manusia mengembangkan rasa kebangsaan. Dalam kaitan ini, cinta negeri (amore patria) merupakan basis moralitas yang penting. Patriotisme berarti menempatkan kemaslahatan umum (bene commune) di atas kepentingan lainnya dan dipandang sebagai kesalehan puncak. Melalui cinta negeri tergalilah kekuatan semua komponen bangsa untuk mengambil keputusan berat mengorbankan semua demi kepentingan semua.
Sila keempat mengindikasikan bahwa komunitas moral memerlukan respek terhadap otoritas yang menjadi pusat kedaulatan dan keteraturan dalam kehidupan publik. Pengalaman historis yang berbeda, serta karakteristik sosial-budaya yang berbeda memberi perbedaan (variasi) tipe-tipe ororitas di antara berbagai negara-bangsa.
Sila keempat meyakini bahwa dalam mengembangkan kehidupan bersama, cara mengambil keputusan yang menyangkut masalah bersama ditempuh dengan semangat cinta kasih. Ukuran utama dari cinta ialah saling menghormati. Cara menghormati manusia dengan memandangnya sebagai subjek yang berdaulat, bukan objek manipulasi, eksploitisasi dan eksklusi, itulah yang disebut demokrasi dalam arti sejati. Dalam institusionalisasinya, pengembangan otoritas ini diarahkan untuk menjadi bangsa yang berdaulat dalam politik, melalui cita kerakyatan, cita permusyawaratan dan cita hikmat-kebijaksanaan dalam suatu rancang bangun institusi-insitusi demokrasi yang dapat memperkuat persatuan (negara persatuan) dan keadilan sosial. Pusat otoritas dari negara pesatuan dan keadilan itu termanifestasi dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai penjelmaan seluruh rakyat, penjelmaan seluruh golongan, dan penjelmaan seluruh daerah.
Sila kelima menyiratkan bahwa komunitas moral menghendaki nilai fairness (keadilan dan kepantasan). Kohesi sosial memerlukan konsepsi keadilan bersama yang memberi harapan tentang kesejahteraan umum. Sistem produksi, distribusi dan konsumsi yang tidak berkeadilan akan melahirkan berbagai bentuk kesenjangan sosial yang bisa melemahkan kohesi sosial.
Sila kelima meyakini bahwa keberadaan manusia adalah roh yang menjasmani. Secara jasmaniah, manusia memerlukan papan, sandang, pangan, dan pelbagai kebutuhan material lainnya. Perwujudan khusus kemanusiaan melalui cara mencintai sesama manusia dengan berbagi kebutuhan jasmaniah secara fair itulah yang disebut dengan keadilan sosial (Driyarkara, 2006: 831-865).
Jalan panjang proses menjadi negara-bangsa Indonesia harus kita pahami dan hayati secara mendalam manakala Indonesia hari ini menunjukkan tanda-tanda menghadapi ancaman disrupsi kebangsaan. Menyimpang dari nilai-nilai Pancasila yang menekankan semangat gotong-royong, ada tendensi melihat perbedaan dalam kerangka pembelahan politik, bukan dalam kerangka saling menghargai dan kerja sama.
Pergeseran dalam menyikap perbedaan itu merupakan akumulasi dari krisis yang berlangsung pada ranah mental-spiritual (karakter bangsa), ranah institusional, dan ranah material. Bahwa perkembangan ketiga ranah itu telah melenceng dari imperatif moral Pancasila. Sejauh ini, rezim pendidikan kurang mampu membudayakan inti moralitas dan karakter bangsa; dengan implikasi peluluhan moralitas publik dan karakter kewargaan sebagai basis kebersamaan tekad (shared intentionality) dan solidaritas sosial (social embeddedness).
Rezim politik-kebijakan juga penuh kekisruhan dalam kepasitasnya untuk menetapkan rancang bangun dan tata kelola demokrasi-pemerintahan karena mengabaikan tuntutan persatuan dan keadilan yang diamanatkan nilai-nilai luhur falsafah dan konstitusi negara. Sementara itu, rezim ekonomi-produksi juga belum mampu memenuhi harapan inklusi ekonomi dan persemakmuran bersama (social welfare), yang mengakibatkan kesenjangan sosial yang makin lebar.
Harus lebih banyak usaha semacam peristiwa Asian Games yang menumbuhkan similaritas dan keterpaduan dari keragaman Indonesia. Kompetisi dengan bangsa-bangsa lain bukan saja bisa memacu prestasi, tapi juga bisa mentransformasikan konflik-konflik persaingan internal menuju kontestasi dengan ‘lawan’ bersama dari luar. Persepsi tentang kepentingan bersama memang tidak hanya bisa ditumbuhkan lewat nasionalisme negatif-defensif (melawan musuh dari luar), bisa juga dihidupkan lewat nasionalisme positif-progresif (membangun agenda kemajuan, keunggulan dan persemakmuran bersama).
Selain itu, harus lebih banyak ruang-ruang perjumpaan yang memungkinkan warga bisa melintasi batas-batas identitas. Institusi-institusi demokrasi harus ditata ulang dalam kerangka memperkuat persatuan dan keadilan. Kebebasan sebagai hak negatif (bebas dari) harus ditransformasikan menjadi kebebasan sebagai hak positif (bebas untuk) agar segala keragaman dan potensi bisa diolah menjadi sumber kemajuan dan kebahagiaan hidup bersama.
Ancaman terhadap keberlangsungan negara-bangsa Indonesia merupakan kerugian besar bagi sejarah emansipasi sosial. Kita biarkan bangsa ini hancur atau bangkit bertempur. Indonesia memanggil!
Tulisan ini telah di publikasikan di harian MEDIA INDONESIA, 21 Januari 2019.