Aku memohon kepada seorang tua yang berdiri di ambang Tahun Baru, ’Berilah aku cahaya yang memungkinkan melangkah aman menuju kegelapan.’ Orang itu pun menjawab, ’Pergilah menuju kegelapan dan letakkan tanganmu pada tangan Tuhan. Hal itu akan lebih baik bagimu ketimbang cahaya, dan lebih aman daripada jalan yang dikenal’.”
Begitulah Raja George VI memberikan wejangan menyambut Hari Natal 1939. Sebuah tamsil bagaimana sepatutnya bangsa Inggris menghadapi pergantian tahun dalam suasana krisis berkepanjangan, menyusul depresi ekonomi dunia dekade 1930-an.
Sebuah krisis muncul karena warisan sisi-sisi gelap masa lalu yang tak sepenuhnya kita kenali. Untuk mengenalinya, kita harus berani menyusuri lorong gelap masa lalu untuk menemukan visi dan formula perubahan yang tepat, bukan mengandalkan resep-resep umum yang telah dikenal.
Bagi siapa saja yang bertekad menghadapinya, krisis yang diwariskan itu bukanlah alasan untuk mencari kambing hitam, melainkan membuka peluang bagi perubahan fundamental. Dengan sikap demikian, krisis merupakan kritik alam tentang perlunya kerendahan hati, bahwa kemungkinan historis itu jauh lebih kaya dan beragam ketimbang konsepsi intelektualitas manusia. Oleh karena itu, betapapun krisis bisa membawa tragedi kemanusiaan, kita tidak boleh kehilangan harapan.
Warisan terbaik para pendiri bangsa adalah ”politik harapan”, bukan ”politik ketakutan”. Republik ini berdiri di atas tiang harapan: merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Jika kita kehilangan harapan, kita kehilangan identitas sebagai bangsa.
Pengalaman menjadi Indonesia menunjukkan bahwa spirit perjuangan memiliki kemampuan yang tak terbatas untuk menghadapi berbagai rintangan karena adanya harapan. Kemarahan, ketakutan, dan kesedihan memang tak tertahankan, tetapi sejauh masih ada harapan, semangat tetap menyala.
Akan tetapi, politik harapan harus berjejak pada visi yang diperjuangkan menjadi kenyataan. Harapan tanpa visi bisa membawa kesesatan. Di sinilah titik genting politik Indonesia saat ini.
Melemahnya kekuatan visi membuat politik kehilangan responsibilitasnya. Berbagai kebijakan dan pilihan politik yang dikembangkan sering kali tidak memenuhi empat prinsip utama: prinsip kemasukakalan, efisiensi, keadilan, dan kebebasan.
Dengan keempat prinsip itu, politik yang responsif harus mempertimbangkan rasionalitas publik tanpa kesemena-menaan mengambil kebijakan; adaptabilitas kebijakan dan institusi politik terhadap keadaan; senasib sepenanggungan dalam keuntungan dan beban; serta persetujuan rakyat pada pemerintah.
Ketika arena politik lebih mewadahi konflik kepentingan ketimbang konflik visi, watak politik menjadi narsistis, mengecilkan harapan banyak orang.
Politik harapan
Upaya menyemai politik harapan harus memperkuat kembali visi yang mempertimbangkan warisan baik masa lalu, peluang masa kini, serta keampuhannya mengantisipasi masa depan. Visi ini harus menjadi kenyataan dengan memperkuat kapasitas transformatif kekuasaan lewat aktualisasi politik harapan.
Menurut Donna Zajonc, dalam The Politics of Hope, untuk merealisasikan politik harapan, suatu bangsa harus keluar dari tahap anarki, tradisionalisme, apatisisme menuju penciptaan pemimpin publik yang sadar.
Pada tahap pertama, semua tindakan politik diabsahkan menurut logika pemenuhan kepentingan pribadi, yang menghancurkan sensibilitas pelayanan publik. Pada tahap kedua, untuk mencapai sesuatu pemimpin mendominasi dan memarjinalkan orang lain.
Pada tahap ketiga, peluang-peluang yang dimungkinkan demokrasi tak membuat rakyat berdaya, tetapi justru apatis. Pada tahap keempat, tahap politik harapan, para pemimpin menyadari pentingnya merawat harapan dan optimisme dalam situasi krisis, dengan cara memahami kesalingtergantungan realitas serta kesediaan bekerja sama menerobos batas-batas politik lama.
Kekuasaan digunakan untuk memotivasi dan memberikan inspirasi yang memungkinkan orang lain mewujudkan keagungannya. Warga menyadari pentingnya keterlibatan dalam politik dan aktivisme sosial untuk bergotong royong merealisasikan kebajikan bersama.
Semua pihak harus menyadari bahwa politik, sebagaimana dikatakan Hannah Arendt, adalah suatu ”ruang penjelmaan” yang memungkinkan dan merintangi pencapaian manusia di segala bidang. Oleh karena itu, terang-gelapnya langit harapan di negeri ini sangat ditentukan oleh warna politik kita.
Para pemimpin harus insaf bahwa ruang kebebasan yang memungkinkannya berkuasa hanya dapat dipertahankan sejauh dipertautkan dengan tanggung jawab dan penghormatan pada yang lain.
Bermula dari keinsafan para pemimpin di pusat teladan, semoga akan mengalir berkah ke akar rumput, membawa bangsa keluar dari kelam krisis menuju terang harapan.
Tulisan ini pernah dimuat di harian Kompas, 23 Desember 2008.