“Segala hal di Batavia,” puji WA van Rees (1881), “lapang, terbuka, dan elegan.” Pada titik ini, kemolekan Jakarta belum beranjak dari gambaran Tomé Pires tiga abad sebelumnya, “sebuah pelabuhan yang indah, salah satu yang terbaik di Jawa.”
Ketika pelabuhan Jayakarta dijadikan pangkalan VOC oleh Jan Pieterszoon Coen dan berganti nama jadi Batavia, 12 Maret 1619, kota ini merupakan benteng terisolasi di tengah belantara. Pada abad ke-18, hutan di sekitar kota dikonversi jadi sawah dan perkebunan tebu.
Pada 1808, Herman Willem Daendels ditunjuk Pemerintahan Napoleon jadi gubernur jenderal dengan misi, “menjaga Batavia dari serangan Inggris”. Ia tinggalkan Batavia tua di dataran rendah pelabuhan. Ia bangun Batavia baru di dataran lebih tinggi bagian selatan, dinamai Weltevreden (Menteng), artinya “sungguh memuaskan”.
Untuk kenyamanan dan kelancaran birokrasi, kantor pusat pemerintahan dipindah ke Buitenzorg (Bogor), yang lebih ramah terhadap cita rasa Eropa. Semua ini merupakan usaha mewujudkan Batavia sebagai “the Queen of the East”.
Pembangunan fisik Batavia dan sekitarnya seiring dengan pembangunan jiwanya. Klub-klub bergaya Eropa, sekolah, lembaga penelitian, jurnal ilmiah, dan media massa tumbuh. Klub eksklusif—Harmonie—berdiri 1815, jadi pusat pergaulan, informasi, dan bacaan.
Terinspirasi semangat pencerahan, sekolah dasar Eropa didirikan di Menteng pada 1817. Kebun Raya Bogor dengan institut-institut terkait didirikan pada 1817.
Disusul kemudian Perhimpunan Ilmu-ilmu Alam Hindia pada 1850.
Mengantisipasi pertumbuhan Jakarta-Bogor yang kian mekar, sejak 1873 kedua kota itu dihubungkan kereta api pertama di Hindia.
Perkembangan kota memenuhi bayangan Max Weber, “suatu tempat yg direncanakan bagi kelompok berbudaya dan rasional.” Ini dimungkinkan oleh birokrasi pemerintahan yang kapabel. Birokrasi kolonial memang represif, tetapi tetap mengupayakan prinsip rasionalitas birokrasi.
Semua ini membuat Batavia jadi Mooi Indie berjiwa kosmopolitan. Meski harus diakui, di sana ada masalah yang imbasnya masih kita warisi. Dalam desain kota kolonial, ada kesenjangan antara sektor komersial padat modal di tangan org asing dan sektor subsisten padat karya di tangan penduduk lokal.