Saudaraku, adakah saat yang paling dirindukan para pengembara selain menemukan momen kepulangan? Fakta keterlemparan manusia dari “langit suci” dan kebertualangan dari asal tumpah darah membuat sukmanya senantiasa resah-gelisah, merindukan luang berpulang ke rahim Ilahi dan kampung halaman.
Kesibukan mengejar kebutuhan dan kesenangan duniawi bisa membuat orang lupa diri sebagai perantau. Al-Ghazali mengibaratkan “materi” itu laksana kuda tunggangan bagi jiwa dalam pengembaraan jati dirinya. Sang jiwa harus memenuhi kebutuhan tunggangannya agar bisa mencapai tujuan. Namun, jika terlalu banyak menyita masa untuk memberi makan dan mengaguminya, sang jiwa mengantuk, tercecer di perjalanan, tak mencapai tujuan kepulangan.
Jeda puasa diharapkan bisa membuat sang jiwa siuman kembali. Buah dari kekhusyukan ibadah dan amal saleh adalah membersihkan kembali cermin hati, alat pemancar roh Ilahi. Hati yang bersih bisa memantulkan kembali cahaya Tuhan dan tumpuan manusia mengaca diri. Dengan mengaca diri, manusia bisa mengenali siapa dirinya; dari mana berasal dan ke mana berpulang.
Demikianlah, sepanjang tahun para perantau bergelut mengejar nikmat, berkah langit yang turun bak air hujan. Lewat penyadaran puasa, kedatangan Idul Fitri menjemput mereka kembali ke kelampauan asal spiritual dan sosial, seperti akar yang meneruskan air hujan ke sungai, lantas mengalirkannya hingga ufuk terjauh.
Seperti burung yang riang pulang ke sarang, kita rayakan kepulangan ke rahim fitri dengan sukacita. Kepulangan ini terasa lebih syahdu dengan senandung gema kebesaran Tuhan serta bingkisan bagi handai taulan. Setelah setahun menyerap hujan berkah langit, saatnya pengembara merembeskan air (rezeki) kebahagiaan bagi warga bumi agar akar rumput di segala pelosok negeri bangkit kembali dari kekeringannya.