Untuk mencapai tahap kematangannya, negara seharusnya tidak perlu lagi mengurusi mana keyakinan yang menyimpang dan mana yang tidak. Dimensi keyakinan sejatinya menjadi bagian dari tanggung jawab setiap individu. Negara tidak perlu mencampuri keyakinan warga sejauh ia tidak melanggar keadaban publik. Sikap negara yang terus mengintervensi dan mangatur keyakinan warga dapat menjadi ancaman bagi kebebasan beragama dan berkeyakinan di negeri ini.
Sikap pemerintah dan MUI yang masih menganggap Ahmadiyah sebagai aliran sesat adalah satu bukti bahwa negara telah melakukan intrusi atas kehidupan pribadi warganya. Karenanya, kasus Ahmadiyah ini akan menjadi salah satu dari sekian banyak kasus kelabu yang mengganjal masa depan kebebasan beragama di Indonesia.
Bila kita merujuk pada konstitusi, setiap warga yang hidup di negeri ini memiliki hak yang sama untuk berkeyakinan dan beribadah sesuai dengan keyakinannya. Jaminan ini dapat kita lihat dalam konstitusi kita, pasal 29 ayat 2 atau pada kovenan PBB mengenai hak-hak sipil yang sudah diratifikasi menjadi undang-undang sejak awal 2006. Deretan pasal yang ada di dalamnya adalah bukti bahwa secara konstitusional, hak-hak sipil kita sudah dijamin.
Negara dan Keragaman
Persoalan Ahmadiyah, seperti juga persoalan Lia Eden, Al Qiyadah dan beragam paham lain yang dianggap menyimpang, adalah bagian dari perkembangan paham internal Islam. Perkembangan keyakinan dan paham selalu menjadi ancaman bagi kelompok mainstream yang sudah mapan. Bukanlah sesuatu yang aneh bila kemunculan berbagai aliran baru ini dianggap sebagai penyimpang atau sesat.
Kerumitan relasi antar-keyakinan ini semakin memuncak di saat negara terlibat dalam pusaran friksi yang tak pernah berakhir. Alih-alih memenuhi kewajiban dasarnya dalam menjaga hak setiap warga negara, yang terjadi justru sebaliknya. Negara menjadi ancaman nyata bagi hak kebebasan warga untuk berkeyakinan.
Sikap pemerintah yang mengamini penyesatan Ahmadiyah oleh MUI merupakan kekeliruan negara dalam menyikapi keragaman tafsir yang ada dalam satu komunitas agama. Negara seharusnya menyikapi kemajemukan bangsa dalam ragam tafsir yang terus berkembang dengan cara arif dan positif, bukan malah memecah belah dan bersikap diskriminatif pada salah satu.
Sejatinya, mereka yang menjadi bagian dari arus utama di dalam kelompok Islam akan keberatan untuk menerima aliran seperti Ahmadiyah sebagai bagian dari Islam. Penafsiran memang selalu menjadi milik pihak yang menang dan berkuasa. Ini berlaku di mana saja, namun yang patut ditekankan dalam menyikapi perbedaan paham ini adalah soal bagaimana seharusnya negara bersikap.
Penekanan ini penting, karena dalam beberapa kasus heresi di Indonesia, negara gagal menjalankan fungsi yang semestinya. Dalam konstitusi kita dan kovenan mengenai hak-hak sipil sudah cukup jelas bagaimana negara seharusnya berposisi. Negara menjamin hak keyakinan setiap warganya dan melindungi mereka dari setiap kekerasan yang didasari pada perbedaan keyakinan.
Kegagalan negara untuk memenuhi hak warga dalam berkeyakinan akan berimplikasi pada ketidakpercayaan warga terhadap negara dan hilangnya legitimasi negara-bangsa modern yang pernah dicita-citakan. Penyelarasan antara komitmen konstitusi yang menjamin hak setiap warga dengan realitas berkeyakinan di negeri ini adalah tugas negara yang kerap diabaikan.
Dengan segala risiko, negara harus segera kembali pada track yang sudah disepakati. Hak berkeyakinan adalah hak mutlak yang dimiliki oleh setiap warga negara. Negara wajib melindungi hak-hak tersebut dari setiap ancaman yang datang dari luar. Tanpa ketegasan ini, negara tidak akan pernah bisa beranjak dari situasi yang menyulitkan dirinya sendiri.
Agama dan “Penyimpangan”
Fenomena heresi sebenarnya terjadi di hampir setiap agama. “Pembelokan” ajaran didorong oleh ketidakpuasan penganut atas pudarnya pesan dasar agama dan desakan spiritualitas yang semakin kering. Sikap antisipatif dalam memahami perkembangan kebutuhan setiap penganut agama menjadi tugas penting para agamawan.
Upaya kelompok mainstream untuk melibatkan negara dalam melawan kelompok yang dianggap menyimpang hanya akan membangun tirani tafsir mayoritas dan di saat yang sama juga telah menjebak negara dalam konflik antar-keyakinan. Atau bisa jadi sebaliknya, negara mengambil untung dari perbedaan pandangan dan friksi antarkelompok agama.
Sikap keberagamaan yang ada dalam bingkai negara modern seharusnya lebih menitikberatkan pada upaya membangun etika sosial yang dapat memberi kontribusi bagi kehidupan yang lebih baik. Fenomena sikap beragama yang selalu menuduh yang berbeda sebagai menyimpang atau kafir bukan lagi tren yang patut kita pertahankan.
Kesadaran mengenai pentingnya penghormatan terhadap hak dasar setiap orang untuk meyakini sesuatu adalah inti dari pesan kebebasan beragama. Negara tidak dibenarkan untuk mengintervensi atau mencampuri keyakinan orang atau komunitas lain yang dituduh menyimpang. Negara harus mampu berdiri tegak untuk semua tanpa berpihak kepada salah satu kelompok tertentu.
Lantas apa yang harus dilakukan oleh kelompok yang sering menjadi korban kekerasan atas nama agama. Upaya hukum (legal action) adalah langkah awal yang dapat dilakukan. Dalam negara yang berdasarkan pada hukum, setiap pelanggaran harus diselesaikan secara hukum. Kepatuhan terhadap hukum adalah tanda adanya keadaban publik dan kepercayaan pada adanya keadilan di muka hukum.
Untuk konteks Indonesia, upaya hukum dalam memperjuangkan hak kebebasan beragama kerap kali kandas oleh delik penghinaan terhadap ajaran agama tertentu dan mengganggu ketertiban umum. Padahal hirarki konstitusi merupakan sumber pembuatan hukum di negeri ini. Aturan hukum tidak boleh bertentangan dengan konstitusi.
Untuk mengatasi kebuntuan upaya hukum, langkah-langkah politik dapat dilakukan sebagai upaya lanjut. Membangun jaringan ke sesama korban dan mereka yang memperjuangkan hak-hak kebebasan beragama bisa jadi upaya strategis yang terus dilakukan. Dalam kenyataannya, perjuangan untuk memperoleh kesetaraan hak memang bukan pekerjaan mudah seperti membalik tangan. Perolehan hak tidak turun dari langit, tetapi harus diperjuangkan.