Setelah vonis Setya Novanto, penyidikan korupsi KTP elektronik berlanjut dengan pemeriksaan sejumlah politikus, sementara beberapa nama lain mangkir dari pemanggilan serupa. Skala korupsi ini sungguh dahsyat dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 2,3 triliun, serta diduga melibatkan lebih 60 politikus, sejumlah pejabat tinggi, dan beberapa korporasi.
Bertumpuk dusta disusun, tetapi tidak mampu menyembunyikan kejahatan sistematis tersebut. Pesan dusta umumnya dinyatakan secara terbuka dimaksudkan untuk mengecoh (Bok, 1979). Disampaikan dalam ketersingkapan, tujuan dusta adalah untuk menyelubungi kenyataan. Manakala tertipu, dalam keterkecohannya orang lain akan bertindak keliru sebagaimana dikehendaki sang pendusta.
Para pendusta menciptakan lapis-lapis filter demi mendistorsi fakta agar ia tidak dapat dipahami sebagaimana adanya oleh orang lain. Mereka merancang secara manipulatif berbagai muslihat untuk meruapkan bias pemahaman agar dapat mengaburkan kenyataan. Hasilnya adalah kepalsuan yang menyesatkan bagi siapa pun yang memercayainya.
Di hadapan proses peradilan, misalnya, Novanto berulang-ulang mengaku lupa atau tidak tahu; suatu jurus yang juga digunakan oleh para terdakwa dan para saksi lain yang sesungguhnya terlibat perbuhulan jahat tersebut. Begitu parah inkonsistensi dalam keterangan mereka sehingga informasi yang disampaikan di bawah sumpah pun tampak bertolak belakang.
Saling tuduh, saling sangkal, dan bahkan saling ancam di antara para terdakwa maupun para saksi dibungkus dalam berbagai alibi dan keterangan palsu. Kejahatan memang tidak akan pernah tinggal begitu saja sebagai realitas yang terang; sebisa mungkin ia bersembunyi di belakang dusta. Tugas para penegak hukum untuk menyingkapnya demi keadilan.
Selain kecermatan KPK, pengungkapan skandal ini juga mengandaikan suatu keberanian moral para koruptor untuk mengakui kejahatan mereka. Inilah yang ditunjukkan Agus Condro pada 2008 saat dia mengaku menerima suap Rp 25 juta, sehingga terbuka akses pengungkapan korupsi dalam pemilihan Miranda Goeltom sebagai Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia.
Miller (dalam Olsthoorn, 2015) memaknai keberanian moral sebagai “kemampuan untuk mengatasi kekhawatiran merasa hina akibat mengakui kesalahan sendiri.” Hal itu tidak lantas melepaskan orang dari kesalahannya; juga tidak serta-merta mengubah pelaku kejahatan menjadi penjaga moral. Inilah keberanian reputasional, yang berpeluang menyelamatkan sisa kehormatan pelaku.
Pengakuan Agus memungkinkan KPK membongkar suap pada skala lebih besar dan menghasilkan hukuman lebih ringan baginya. Agus mungkin dihina koleganya di DPR, tetapi dia mendapatkan kompensasi kehormatan lebih besar dari masyarakat atas keberaniannya. Berbagai kajian dan terobosan hukum menyangkut justice collaborator kemudian hampir selalu merujuk kasus tersebut.
Ketika reputasi menjadi salah satu tiket untuk dapat diterima masyarakat, pemihakan kepentingan umum tentu lebih utama dibandingkan segala predikat semu para pejabat publik. Sementara, dengan kekuasaan di tangan, para pejabat publik yang terlibat permufakatan jahat pengadaan KTP elektronik jelas telah gagal memenuhi kewajiban profesional mereka.
Dengan buruknya kinerja dan minimnya integritas, hanya kebesaran hati komunal yang mungkin menyelematkan sisa kehormatan para koruptor sebagai anggota masyarakat. Keberanian moral, dengan mengakui kesalahan sendiri dan mengungkap kejahatan berkomplot mereka, dapat menjadi jalan alternatif bagi para koruptor untuk mendapatkan kembali serpihan reputasi mereka.
Menggusur bertumpuk dusta dan menggantinya dengan keberanian moral bukan hanya akan membantu penegakan hukum; langkah serupa dapat memulihkan secara bertahap kepercayaan. Meskipun begitu, demi terpeliharanya prinsip etis publik, para terpidana korupsi yang telah lancung tersebut mestinya terhalang untuk menduduki jabatan-jabatan publik.
Mentalitas korup, yang meradang dalam ruang-ruang kekuasaan, menggerogoti penopang etis dalam tubuh politik kita hingga anjlok fungsi-fungsi pokoknya untuk menghasilkan kebaikan publik. Laku culas kekuasaan telah mengubah politik menjadi sarana kejahatan bertudung dusta. Demi menjaga harapan perwujudan masyarakat yang sehat, kita tidak akan membiarkan perilaku korup membajak negara.
Wahai para koruptor, mengakulah!
Tulisan ini telah dipublikasikan di laman GEOTIMES, 5 Juli 2018.