Di dalam agama cinta (rahman-rahim), kebenaran dan keadilan tak mengenal penganut dan bukan penganut. Cinta memeluk semuanya. Warga bangsa boleh berbeda keyakinan, tetapi cinta menyatukannya. Kekuatan mencintai dengan melampuai perbedaan inilah yang melahirkan pelangi Indonesia yang indah. Dengan ini, pemilihan Kepala Daerah secara serentak berlalu dengan relatif damai, menyisakan Pilkada DKI Jakarta di pusat pertaruhan.
Di 101 daerah yang menyelenggarakan Pilkada, orang dengan berbagai latar agama bisa dipilih dan memilih tanpa diskriminasi dan intimidasi. Di berbagai tempat, bahkan partai Islam, seperti Partai Keadilan Sejahtera, bisa mengusung calon kepala daerah yang agamanya bukan Islam. Situasi ini menggambarkan determinasi peradaban cinta yang masih terpatri pada jatidiri bangsa. Di sekujur tubuh kebangsaan, titik rawan daya cinta ini justru terletak di Ibu kota negara. Di Jakarta, daya pompa jantung politik dalam mengalirkan darah cinta mengalami pelemahan, terdesak penguatan aliran daya benci.
Kehilangan daya cinta di Ibu kota negara bisa menjadi pangkal kehilangan Indonesia. Harmoni dalam kemajemukan adalah kode genetik bangsa ini. Modal unggulan Indonesia yang bisa dibanggakan pada dunia. Dengan kemerosotan daya cinta, Indonesia akan mengalami kerusakan gen.
Berbilang bangsa dalam zona keseragaman terguncang hadapi globalisasi keragaman. Bahkan bangsa maju kembali mengeja multikulturalisme secara tergagap. Tak sedikit gagal, berujung populisme dengan supremasi tribalisme anti asing, anti perbedaan. Berutung, Indonesia banyak makan asam garam. Bangsa maritim di tengah persilangan arus manusia dan peradaban dunia, terbiasa menerima perbedaan. Jauh sebelum merdeka, para pemuda lintas etnis dan agama sudah menemukan penyebut bersama dalam keragaman bangsa. Saat dasar negara dan konstitusi Indonesia dirumuskan, perwakilan berbagai golongan terwakili, menghadirkan negara semua buat semua.
Modal sosial terpenting bangsa ini terlalu berharga untuk dikorbankan demi ambisi politik jangka pendek. Dalam pedih pertikaian, warga disadarkan arti penting merawat persatuan dalam perbedaan dengan berbagi kesejahteraan. Kegelapan menyediakan kunang-kunang penuntun perjalanan bangsa, memberi mata hati kesempatan berpendar di tengah kekelaman.
Dalam nafak tilas refleksi diri bisa kita kenali bahwa hidup religius dengan kerelaan menerima keragaman telah lama diterima sebagai kewajaran oleh penduduk kepulauan ini. Sejak zaman Kerajaan Majapahit, doktrin agama sipil untuk mensenyawakan keragaman ekspresi keagamaan telah diformulasikan oleh Mpu Tantular dalam Sutasoma, “Bhineka Tunggal ika tan Hana Dharma Mangrwa”; berbeda-beda namun satu, tiada kebenaran yang mendua.
Islam Indonesia sendiri, yang sejauh ini dianut oleh sebagaian besar penduduk, kendatipun—seperti agama-agama lainnya—tak luput dari sejarah kekerasan, dalam sapuan besarnya didominasi warna kedamaian dan toleransi yang kuat. Meskipun doktrin dan mazhab radikal memang selalu ada, tetapi pengaruhnya relatif terbatas dan dilunakkan oleh ragam ekspresi komunitas Islam.
Secara historis, penyebaran Islam di Tanah Air pada umumnya dilancarkan secara damai dan berjejak pada fondasi kehidupan masyarakat multikultur yang toleran. Menurut antropolog ternama Clifford Geertz, etos klasik Islam Nusatara bersifat menyerap, adaptif, gradualistik, estetik dan toleran. Selain keragaman agama secara eksternal, keragaman internal dalam Islam Nusantara sendiri menyulitkan penjelmaan Islam secara tunggal. Dengan kondisi seperti itu terbuka lebar kemungkinan untuk melampaui perbedaan-perbedaan religio-kultural, memperlunak perbedaan-perbedaan itu dan menjadikannya berada pada batas toleransi yang memberi prakondisi bagi kesiapan bekerjasama lintas kultural.
Tanah Air Indonesia merupakan ladang persemaian yang cocok bagi rekonstruksi dan reaktualisasi nilai-nilai demokrasi dan toleransi Islam yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad di negara-kota Madina. Negara-kota Madina adalah sebuah entitas politik berdasarkan konsepsi negara-bangsa (nation-state), yaitu negara untuk seluruh umat atau warganegara, demi maslahat bersama (common good). Sebagaimana termuat dalam Piagam Madina, ‘negara-bangsa’ didirikan atas dasar penyatuan seluruh kekuatan masyarakat menjadi bangsa yang satu (ummatan wahidah) tanpa membeda-bedakan antara kelompok-kelompok keagamaan dan kesukuan yang ada.
Moral publik Madina yang dibina Nabi Muhammad itu sesungguhnya bersumber dari akar teologisnya. Inti dari keyakinan Islam adalah pengakuan pada Ketuhanan Yang Maha Esa (Tawhid, Monotheisme). Dalam keyakinan ini, hanya Tuhan-lah satu-satunya wujud yang pasti. Semua selain Tuhan bersifat nisbi belaka. Konsekuensi logisnya adalah paham persamaan (kesederajatan) manusia di hadapan Tuhan, yang melarang adanya perendahan martabat dan pemaksaan kehendak/pandangan antarsesama manusia. Dengan prinsip demikian, tiap-tiap manusia dimuliakan kehidupan, kehormatan, hak-hak, dan kebebasannya, yang dengan kebebasan pribadinya itu manusia menjadi makhluk moral yang harus bertanggung jawab atas pilihan-pilihannya. Dengan prinsip persamaan, manusia juga didorong menjadi makhluk sosial yang menjalin kerjasama dan persaudaraan untuk mengatasi kesenjangan dan meningkatkan mutu kehidupan bersama (Madjid, 1992: 4).
Pancasila dapat dikatakan merupakan penjelmaan kontemporer dari Piagam Madina. Sebuah titik-temu moral publik yang bersifat inklusif yang mempertautkan segala perbedaan dengan semangat gotong-royong berlandaskan cinta (rahmatan lilalamin).
Tulisan ini telah dipublikasikan di harian Kompas, 21 Februari 2017.