Saudaraku, mengapa ada tendensi global untuk mengubah kurikulum pembelajaran dari spesialisasi berlebihan menuju penyiapan pembelajar generalis yang mampu berpikir independen dan inovatif?
Bacalah buku Range: Why Generalists Triumph in a Specialized World karya David Epstein (2019).
Lewat studi komparatif lintas-profesi, ia simpulkan bahwa kepercayaan lama tentang perlunya spesialisasi secara dini sebagai jalan sukses ternyata hanyalah suatu perkecualian, bukan ketetapan.
Dalam profesi dengan bidang permainan (ruang manuver) yang terbatas, repetitif dan terukur dengan aturan tetap, fokus secara dini dalam spesialisasi memang bisa mengantarkan sukses seperti diraih Tiger Wood (dalam golf) dan Polgar bersaudara (dalam catur). Namun, dalam profesi dengan bidang permainan kompleks, saling berhubungan, berubah cepat, dan sulit diprediksi, spesialisasi dini tak menolong. Diperlukan range berpikir lebih luas dan adaptif dengan konteks dan perubahan.
Disrupsi akibat perkembangan AI, big data, dan connectivity, menambah signifikansi wawasan generalis. Dengan teknologi baru, keterampilan teknis-taktikal bisa ditangani lebih baik oleh mesin. Yang dibutuhkan manusia justru kemampuan berpikir strategis dan daya analitis-sintetis dengan wawasan holistik (interdisiplin, multidisiplin, trans-disiplin).
Dengan begitu, spesialisasi secara dini harus dihindari. Hingga sekolah menengah tak perlu ada penjurusan. Sekolah harus memberi kesempatan pada peserta dididik untuk mengenali berbagai disiplin ilmu.
Spesialisi bisa diperkenalkan pada perguruan tinggi. Itu pun, pada tingkat awal, mahasiswa di semua fakultas-jurusan harus diperkenalkan terlebih dulu dengan mata kuliah liberal arts.
Liberal arts memberi wawasan generalis sebelum keahlian spesifik, dengan general education yang mengupayakan interkoneksi antardisiplin (filosofi, etika, histori, sastra/penulisan, sosial-humaniora, pendidikan kewargaan, sains-teknologi) untuk bisa melihat realitas secara lebih utuh, serta mampu mengintegrasikan kapabilitas keilmuan dengan keberfungsiannya dalam memecahkan problem dan tantangan kehidupan nyata.
Setelah itu, kurikulum spesialisasi diperkenalkan, hingga melahirkan manusia berwawasan generalis dengan keahlian spesifik.