Indonesia memanggil keadaban saat kota-kota terkepung asap kebencian dan orang-orang kesurupan membakar rumah kebangsaannya sendiri. Namun, keadaban yang dipanggil tak kunjung datang saat genting memerlukan kehadirannya.
Bagaimana bisa memenuhi panggilan jika pengasuhan dan pendidikan sudah lama mengabaikannya. Sesuatu yang kita rendahkan dan telantarkan tak akan menyelamatkan dan memerhatikan kita saat diperlukan.
Dalam tradisi besar umat manusia, kita temukan istilah kota (polis, civic, madina) dalam konotasi positif: keberadaban, kemuliaan, dan keteraturan. Penjaga kehidupan kota itu sendiri bernama “polisi” (police), yang masih satu rumpun dengan kata “poli” (polite), yang berarti tertib sosial-santun berkeadaban.
Menjadi warga kota berarti jadi manusia beradab. “Menjadi manusia beradab,” ujar Fernand Braudel, “berarti memuliakan tingkah laku, menjadi lebih tertib-taat hukum dan ramah (sociable).” Max Weber mendefinisikan kota sebagai “suatu tempat yang direncanakan bagi kelompok berbudaya dan rasional”.
Namun, kecenderungan kehidupan kota-kota besar-khususnya Ibu Kota-saat ini mendekati karakter hollow city dalam gambaran Clifford Geertz; suatu ruang hampa tanpa nilai, tanpa visi, tanpa hati. Kehidupan kota yang semestinya jadi basis keberadaban mulai terjerumus ke dalam apa yang disebut Machiavelli sebagai “kota korup” atau apa yang disebut Al-Farabi “kota jahiliyah” (almudun al-jahiliyyah).
Di republik korup dan jahil, persahabatan madani sejati hancur. Setiap warga berlomba mengkhianati negara dan sesamanya; keimanan dan keagamaan disalahgunakan; rasa saling percaya pudar, hukum atau institusi tak ampuh menjaga ketertiban dan kedamaian; kerja keras dan integritas dimusuhi, kemalasan dan korupsi diagungkan. Kebajikan etis hancur digantikan kekerasan dan ketamakan. Kota sebagai ruang sipilisasi berubah menjadi wahana dehumanisasi.
Perwujudan civic nationalism terhadang oleh lemahnya budaya kewargaan. Keanggotaan dalam suatu bangsa memerlukan “kebajikan sipilitas”, yakni rasa pertautan dan kemitraan di antara ragam perbedaan serta kesediaan untuk berbagi substansi bersama, melampaui kepentingan kelompok, kemudian melunakkan dan menyerahkannya secara toleran kepada tertib sipil. Sayang, meminjam penilaian Edward Shils (1972), “Yang berkembang di sini adalah suatu kecenderungan padat politisasi identitas yang disertai oleh keyakinan bahwa hanya mereka yang memiliki kesamaan prinsip dan primordiallah yang dianggap sebagai anggota absah dari masyarakat politik. Sementara bagi mereka yang berbeda, dikucilkan oleh curam hambatan yang terjal.”
Pendidikan karakter
Lumpuhnya nilai-nilai keadaban publik dalam suatu masyarakat majemuk yang sulit menemukan kehendak dan kebajikan bersama merupakan mimpi buruk bagi perkembangan bangsa ini. Untuk itu, perlu ada pembudayaan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan nilai-nilai kewargaan multikultural melalui proses pendidikan karakter.
Thomas Lickona dalam buku terkenalnya, Educating for Character (1991), menyimpulkan, pendidikan karakter adalah usaha sengaja untuk menolong peserta didik agar memahami, peduli akan, dan bertindak atas dasar inti nilai-nilai etis. Ia menegaskan: tatkala kita berpikir tentang bentuk karakter yang ingin ditunjukkan oleh anak-anak, teramat jelas bahwa kita menghendaki mereka mampu menilai apa yang benar, peduli tentang apa yang benar, serta melakukan apa yang diyakininya benar-bahkan ketika harus menghadapi tekanan dari luar dan godaan dari dalam.
Pendidikan karakter berorientasi ganda. Ke dalam, proses pendidikan harus membantu peserta didik menemu-kenali kekhasan potensi diri sekaligus kemampuan untuk menempatkan keistimewaan itu dalam konteks kebersamaan. Pengenalan terhadap kekhasan potensi diri dan komitmennya terhadap nilai-nilai bersama itulah yang menjadi dasar pembentukan karakter. “Karakter” dalam arti ini adalah kecenderungan psikologis yang membentuk kepribadian bermoral (Lickona, 2011).
Ke luar, pendidikan harus memberikan wahana kepada anak didik untuk mengenali dan mengembangkan kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku bersama, melalui olahpikir, olahrasa, olahkarsa, dan olahraga. Kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku ini secara keseluruhan membentuk lingkungan sosial yang dapat menentukan apakah disposisi karakter seseorang berkembang menjadi lebih baik atau lebih buruk.
Kebudayaan sebagai lingkungan sosial tersebut bisa juga disebut sebagai wahana pembentukan karakter kolektif (bangsa). Pengertian “bangsa” yang terkenal dari Otto Bauer menyatakan, “Bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan karakter, watak, yang persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena persatuan pengalaman.”
Proses pendidikan harus mampu menghubungkan kapasitas individual ke dalam kehidupan kolektif sebagai warga komunitas, bangsa, dan dunia demi memelihara tertib kosmos dan harmoni di dunia. Pemahaman seperti itu, menurut Ki Hadjar Dewantara, tertuang dalam semboyan mangaju-aju salira, mengaju-aju bangsa, mangaju-aju manungsa (membahagiakan diri, membahagiakan bangsa, membahagiakan kemanusiaan).
Pendidikan karakter dalam kebangsaan multikultural dituntut memberikan perhatian lebih besar pada pembinaan karakter kolektif kebangsaan. Kurikulum pendidikan tak cukup mengembangkan kecerdasan kognitif, spiritual, atau kecerdasan emosional, lebih penting lagi adalah “kecerdasan kewargaan”. Bahwa pribadi yang baik (hasil pendidikan keluarga, agama, dan komunitas-adat) hanya bisa jadi warga negara yang baik jika punya kecakapan mengenali, menghayati, serta mengamalkan konsepsi dan konsensus kebangsaan. Proses pendidikan harus memberikan kemampuan kepada peserta didik untuk bisa menghargai perbedaan sebagai kekayaan bangsa seraya mengenali titik-titik persamaan sebagai landasan persatuan.
Perlu ada revitalisasi dan reaktualisasi pendidikan kewargaan berbasis Pancasila. Pancasila sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku bersama bangsa secara keseluruhan diharapkan dapat membentuk lingkungan sosial yang membuat disposisi karakter perseorangan berkembang ke arah yang lebih baik.
Pendidikan: transformasi bangsa
Proses pendidikan sebagai proses pengadaban kewargaan dalam kebangsaan multikultural harus sesuai konteks tantangan sosio-historis masyarakat. Dengan kata lain, proses pendidikan harus terkait juga dengan visi transformasi bangsa.
Bagi bangsa Indonesia, visi pendidikan transformatif secara garis besarnya telah dirumuskan oleh tim kecil dari Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan yang dipimpin Ki Hadjar Dewantara. Pada 17 Juli 1945, tim kecil ini berhasil menyusun Garis-Garis Besar Pendidikan dan Pengajaran yang pada pokoknya menggariskan proses transformasi bangsa melalui pendidikan yang mengembangkan cita-cita kesetaraan, kesejahteraan, kemajuan, kepribadian, persatuan dalam keragaman.
Dalam konteks transformasi keadaban publik, setidaknya kita patut memerhatikan aspek kesetaraan, persatuan dalam keragaman, dan respons kepribadian nasional dalam menghadapi globalisasi.
Pertama, hendaklah diingat, kemerdekaan Indonesia dirayakan dengan semangat kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan. Berakhirnya kolonialisme menimbulkan harapan kuat di kalangan rakyat bahwa batasan-batasan dan diskriminasi sosial yang dipaksakan oleh pemerintah kolonial akan sirna. Pendidikan diharapkan jadi sarana emansipasi sosial. Komitmen politik untuk memenuhi hasrat semacam itu dimaktubkan dalam Pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.”
Oleh karena itu, tatkala kita melihat ada tanda-tanda dunia pendidikan mengarah pada pembelahan dan diskriminasi sosial baru atas dasar kekuatan daya beli, kita harus berjuang mengatasi kuman-kuman degenerasi ini dan mengembalikan pendidikan ke mandat konstitusi.
Kedua, dalam menumbuhkan semangat persatuan dalam perbedaan, kebijakan pendidikan harus mampu memberikan keseimbangan antara pemenuhan tuntutan perbedaan di satu sisi dan persatuan di sisi lain. Untuk masa yang panjang, politik segregasi telah mengantarkan Indonesia sebagai masyarakat plural terkunci dalam situasi “plural monokulturalisme”; dalam arti terdiri atas ragam etno-kultural, tetapi hidup dalam kepompong budayanya masing-masing tanpa kehendak saling berbagi. Political correctness dituntut untuk mentransformasikan situasi “plural-monokulturalisme” menuju situasi “multikulturalisme” lewat berbagai kebijakan yang mendorong ke arah proses-proses penyerbukan silang budaya. Dalam usaha ini harus dicegah munculnya pemaksaan hegemoni budaya mayoritas atas minoritas, jika perbedaan etnis, budaya, dan agama dikehendaki untuk bisa saling berinteraksi dan hidup berdampingan secara setara dalam komunitas politik bersama.
Peserta didik harus bisa mengenali dan mengakui hak-hak aneka kelompok untuk mengekspresikan identitas masing-masing di ruang publik. Di sisi lain, persekolahan juga harus bisa mendorong berbagai kelompok etnis-agama untuk saling berinteraksi dan berbagi warisan budaya mereka serta berpartisipasi bersama dalam institusi pendidikan, ekonomi, politik, dan hukum. Dalam jangka panjang diharapkan terjadinya proses penyerbukan silang budaya yang bisa mencairkan hambatan-hambatan prasangka antarkelompok, mendorong hibriditas budaya, yang pada akhirnya lebih memberikan keleluasaan bagi individu untuk memenuhi hak dan menentukan pilihannya sendiri.
Meski demikian, upaya negara untuk memberikan ruang bagi koeksistensi dengan kesetaraan hak bagi berbagai kelompok etnis, budaya, dan agama juga tidak boleh dibayar oleh ongkos yang mahal berupa fragmentasi masyarakat. Oleh karena itu, setiap kelompok dituntut memiliki komitmen kebangsaan dengan menjunjung tinggi konsensus nasional seperti yang tertuang dalam Pancasila dan konstitusi negara serta unsur-unsur pemersatu bangsa lainnya, seperti bahasa Indonesia.
Ketiga, dalam menghadapi arus globalisasi yang makin luas cakupannya, dalam penetrasinya dan instan kecepatannya, dunia pendidikan harus dapat meresponsnya secara tepat. Thomas Lickona (2011) mengingatkan pentingnya pendidikan memberikan perhatian terhadap gejala global yang memperlihatkan kecenderungan retaknya kehidupan keluarga, meledaknya budaya pop oleh dorongan industri media, menguatnya materialisme dan kecenderungan mementingkan diri sendiri di kalangan anak-anak muda, serta krisis yang ditimbulkan oleh gaya hidup baru. Globalisasi juga menjadi kendaraan bagi trans-nasionalisasi fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar.
Dalam kerangka pendidikan yang berwawasan global, jalur yang benar bagi perkembangan manusia sebagai hasil proses pendidikan, menurut Ki Hadjar, dapat dilukiskan dalam asas “tri-kon” (kontinu, konvergen, dan konsentris): “Perkembangan itu harus berlaku ‘kontinu’ dengan alamnya sendiri, ‘konvergen’ dengan alam di luarnya, untuk menuju ke arah persatuan ‘konsentris’ yang universal, yaitu bersatu dengan alam besar, tetapi tetap memiliki ‘kepribadian’ sendiri.” Untuk itu, nilai-nilai universal dalam wacana kemanusiaan harus didialogkan dengan khazanah kearifan lokal, visi global harus dipadukan dengan daya cerna budaya lokal.
Ketika rasionalitas instrumental arus globalisasi perlu penguatan rasionalitas nilai (kepribadian), tendensi umum dunia pendidikan justru kurang memerhatikan segi-segi nilai-keadaban. Kebajikan tidak lagi dianggap penting dan cenderung diremehkan dalam dunia pendidikan karena minat yang berlebihan terhadap interes-interes material dan praktis.
Di masa depan, dunia pendidikan diharapkan dapat mengambil sisi-sisi positif dari perkembangan sains dan teknologi seraya menghindari implikasi negatifnya. Untuk bisa terlibat dalam era globalisasi, para peserta didik harus diberikan kemampuan melek teknologi, terutama komputer, internet, dan telematika lainnya, ditambah penguasaan bahasa-bahasa internasional. Saat yang sama, krisis global yang dipacu oleh introduksi teknologi baru harus menempatkan kembali pendidikan nilai-karakter di jantung proses pembelajaran. Pengadopsian teknologi tinggi perlu diimbangi dengan penguatan.
Tulisan ini telah dipublikasi di harian Kompas, 4 Mei 2017.