Pendidikan bermakna ialah pendidikan yang bisa mengembangkan kemanusiaan seutuhnya. Suhu pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, secara tepat menyatakan bahwa pendidikan adalah proses belajar menjadi manusia seutuhnya.
Detak jantung kehidupan bangsa bisa memompakan dua corak alunan emosi publik: cinta dan takut. Emosi cinta mengalirkan agama kasih sayang, perikemanusiaan, persatuan, kesetaraan, keadilan, dan perdamaian. Emosi takut mengalirkan agama kebencian, permusuhan, pembelahan, dominasi, kesenjangan, dan kekacauan. Manakala daya cinta pudar dari jiwa suatu bangsa, takut akan merajalela menghantui segala sendi kehidupan. Cita-cita kemuliaan dan kebahagiaan hidup bersama terjerembap jatuh ke lembah kebiadaban susah nestapa.
Bagaimana hidup mulia apabila beragama tak bisa susila, berilmu tak bisa bijaksana, berkuasa tak bisa rumeksa, berharta tak bisa bederma. Bagaimana hidup sentosa jika agamawan tak jadi teladan, penguasa tak jadi penjaga, sarjana tak jadi sujana, hartawan bukan peraharja. Bagaimana hidup damai apabila iman tanpa akhlak, ilmu tak bawa haluan, politik tak bawa tertib, dan ekonomi tanpa sejahtera.
Telah lama diingatkan para pendiri bangsa. Di seberang jembatan emas kemerdekaan, akan terbentang jalan bercabang dua. Jalan pertama, jalan sama rasa sama bahagia; jalan kedua, sama ratap sama sengsara. Bahagia dan sengsara itu pilihan nilai emosi publik yang kita tumbuhkan dalam kehidupan bersama.
Demi menumbuhkan nilai-nilai cinta, suatu bangsa memerlukan proses pembudayaan pendidikan bermakna. Suatu pendidikan dikatakan bermakna sejauh bisa menjadi wahana persemaian bagi pertumbuhan kehidupan yang baik. Sesuatu dikatakan baik kalau sesuai dengan tujuannya. Jam yang baik menunjukkan ketepatan waktu. Anjing yang baik menjaga tuannya. Manusia yang baik adalah manusia yang mampu mengembangkan keutuhan kodrat kemanusiaannya.
Hendaklah disadari bahwa manusia tidaklah sepenuhnya sebagai wahana persemayaman nilai-nilai cinta mulia. Pada diri manusia juga menitis tetesan genetik primata purba. Susunan kromosomnya dengan simpanse tidaklah banyak berbeda. Dalam diri manusia mengendap kecenderungan naluriah serupa simpanse. Mementingkan diri sendiri, berkelompok atas kesamaan primordial dengan relasi dominasi, mencintai hierarki dengan supremasi lelaki, dan melakukan penguasaan ruang.
Beruntung, dengan kromosom sedikit berbeda, manusia menjadi satu-satunya primata yang bisa mengembangkan keyakinan, nilai, dan intelektualitas tinggi. Dengan itu, manusia membentuk dan dibentuk agama-spiritualitas, etika, estetika, dan ilmu kebijaksanaan. Dengan itu, manusia bisa bertransformasi diri secara meninggi, yang dapat mengatasi dorongan naluri simpanse.
Dalam komunitas simpanse, kehidupan hanya mengikuti seleksi alam dengan kebebasan alamiah yang mementingkan diri sendiri dan golongan. Siapa yang paling fit, itulah yang bertahan. Siapa yang paling kuat ikatan primordialnya, itulah yang menang. Dalam komunitas manusia, kehidupan bisa melampaui kesempitan kompleks superioritas itu berkat tuntunan keyakinan, nilai, dan kebijaksanaan.
Dengan keyakinan, manusia bisa mengembangkan pandangan dunia yang memuliakan persaudaraan semesta. Dengan nilai, manusia dituntun mengasihi yang lemah, mencintai sesama seperti mencintai diri sendiri. Dengan ilmu kebijaksanaan, manusia bisa mengatasi beban derita yang memasung kebebasan. Di bawah kebebasan sipil yang berkeadaban, kepentingan diri dan golongan tunduk pada kehendak umum dan kebajikan bersama.
Agama hadir untuk memuliakan manusia, meninggikannya dari kerendahan watak simpanse. Agama sejati menyeru pemeluknya menjadi bagian dari jaringan keyakinan dan nilai kebajikan demi memperbesar peluang menundukkan naluri-naluri kebinatangan.
Rumah-rumah ibadah didirikan sebagai rumah etis, ajang perwujudan agama kemanusiaan, yang memuliakan persaudaraan sesama makhluk, membudayakan konsensus damai, membela yang teraniaya, memberdayakan yang marjinal. Jaring-jaring agama adalah mosaik pelangi kasih yang memungkinkan segala warna menyatu, rasa bersambung, rezeki berbagi.
Dengan tuntunan nilai, keyakinan, dan kebijaksanaan, kemuliaan dan kebahagiaan hidup manusia jauh melampaui derajat pencapaian simpanse. Bagi simpanse, kebahagiaan sudah bisa tercapai dengan pemenuhan kehendak untuk bersenang dan kehendak untuk berkuasa. Alhasil, asal sudah bisa makan dan menaklukkan yang lain, impian kebahagiaan simpanse sudah tercapai.
Bagi manusia, tak cukup makan sendiri dan mendominasi yang lain. Kebahagiaan paripurna terengkuh tatkala bisa berbagi makanan dan melayani kepentingan banyak orang. Dengan kata lain, kebahagiaan tertinggi manusia terletak pada kemampuannya untuk bisa lebih besar dari dirinya sendiri dengan mengejar makna hidup yang luhur.
Singkat kata, pendidikan bermakna adalah pendidikan yang bisa mengembangkan kemanusiaan seutuhnya. Suhu pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, secara tepat menyatakan bahwa pendidikan adalah proses belajar menjadi manusia seutuhnya dengan belajar dari kehidupan sepanjang hidup.
Dengan pengertian seperti itu, inti pendidikan tak lain adalah pendidikan budi pekerti. ”Budi” mengandung arti ”pikiran, perasaan, dan kemauan” (aspek batin); pekerti artinya ”tenaga” atau ”daya” (aspek lahir). Pendidikan budi pekerti adalah pendidikan berkebudayaan yang mengupayakan bersatunya pikiran, perasaan, dan tekad kemauan manusia yang mendorong kekuatan tenaga yang dapat melahirkan penciptaan dan perbuatan yang baik, benar, dan indah.
Pendidikan berkebudayaan diaktualisasikan melalui olah pikir, olah rasa, olah karsa, dan olah raga, yang secara sinergis dan simultan melahirkan profil pelajar Pancasila, dengan lima poros kepribadian mulia: berketuhanan dengan semangat akhlak mulia; cinta Tanah Air dengan semangat persaudaraan semesta; mandiri dengan semangat gotong royong; bernalar kritis-kreatif dengan semangat hikmat permusyawaratan; berkompeten dengan semangat pelayanan dan keadilan. Itulah hakikat pendidikan pemanusiaan.
*) Tulisan ini telah dipublikasikan di harian Kompas, 26 November 2020.