Politik akal sehat tampaknya sedang memasuki ruang gawat darurat di negeri ini. Ibu Kota sebagai ibu teladan telah menjelma menjadi ibu kesesatan. Pada mulanya, nalar lurus mempertanyakan keputusan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan memilih Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai calon Gubernur DKI Jakarta. Rekam jejak Ahok dinilai tidak sejalan dengan garis ideologis Marhaenisme-pembela wong cilik.
Tak lama kemudian, nalar terpelanting lebih jauh mendapati keputusan poros “Cikeas” dan “Kertanegara” dalam menetapkan pasangan yang diusungnya. Seorang jenderal purnawirawan dengan getir menyatakan, “Penunjukan Agus Yudhoyono merupakan preseden buruk bagi TNI; menjadi contoh negatif yang bisa merusak atmosfer pembinaan di lingkungan TNI. Seorang prajurit ditempa untuk menjadi tentara sejati, bukan menjadi politisi.”
Pesan berantai melalui media sosial juga secara satir mempertanyakan integritas dan marwah politik kubu lain. Seseorang yang pernah menghujat tokoh sentral kubu ini sebagai pelanggar HAM dan proksi mafia kini dengan senang hati menerima pinangannya. Adapun sang tokoh yang pernah dinista pun seperti mati akal untuk bisa berdiri tegak dengan otonomi ideologinya. Alhasil, tiga pasang calon tampil sebagai hasil pilihan akal sesat. Kepentingan jangka pendek mengorbankan kesehatan nalar publik. Urusan negara dipandang sebagai pertaruhan harkat keluarga. Popularitas menepikan integritas. Modal uang menjatuhkan modal moral.
Kebebasan demokratis sebagai buah reformasi belum kunjung menghadirkan kehidupan politik yang lebih sehat dan bermakna. Kebebasan sebagai negative right (bebas dari) mengalami musim semi. Bangsa ini telah bebas dari berbagai bentuk represi, sensor, bahkan pembatasan. Namun, kebebasan sebagai positive right (bebas untuk) mengalami musim paceklik. Kita tidak memiliki kapasitas dalam menggunakan kebebasan itu untuk memperbaiki kehidupan negeri dengan memberdayakan daulat rakyat.
Berbagai bentuk pilihan dan kebijakan publik tidak menggunakan asas-asas nalar publik yang sehat. Kebijakan dan pilihan politik dengan nalar publik yang sehat setidaknya harus memenuhi empat prinsip utama suatu politik yang responsif: prinsip kemasukakalan, efisiensi, keadilan, dan kebebasan. Dengan keempat prinsip ini, politik responsif harus mempertimbangkan rasionalitas publik tanpa kesemena-menaan mengambil kebijakan/keputusan; adaptabilitas kebijakan dan institusi politik terhadap keadaan; senasib sepenanggungan dalam keuntungan dan beban; serta persetujuan rakyat terhadap pemerintah. Ketika arena politik lebih mewadahi konflik kepentingan ketimbang konflik visi-ideologi, watak politik menjadi narsistik, mengecilkan harapan banyak orang.
Tuntutan politik responsif menghendaki agar demokrasi yang dikembangkan tidak berhenti sebagai demokrasi minimalis yang bersifat elitis, tetapi menjelma menjadi demokrasi deliberatif (permusyawaratan) yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Demokrasi elitis sebagaimana dikonseptualisasikan oleh Joseph Schumpeter mendefiniskan demokrasi sebatas metode prosedural, melupakan substansi yang berkaitan dengan tujuan kesejahteraan atau perbaikan nasib rakyat. Demokrasi hanyalah seperangkat prosedur dengan mana keputusan diambil dan kebijakan dihasilkan. Kedua, konsep politik dianalogikan dengan konsep ekonomi pasar. Kompetisi politik berhubungan erat dengan kompetisi ekonomi. Oleh sebab itu, demokrasi elitis ini benar-benar menempatkan demokrasi sebagai suatu arena kompetisi bagi elite-elite terbatas dan teratas. Demokrasi adalah persaingan antarelite. Politisi adalah pengusaha, wakil rakyat adalah saudagar,voter adalah konsumen. Ketiga, demokrasi elitis ini membedakan dirinya dari sistem totalitarianisme sejauh bahwa pemimpin dari demokrasi elitis diajukan, sementara sistem kediktatoran berdasarkan pada pemaksaan. Keempat, rakyat umum memiliki peranan minimal dalam demokrasi ala Schumpeter ini. Rakyat hanya datang ke pemilu untuk memilih wakilnya, tetapi mereka tidak dapat “menentukan” dan berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan.
Demokrasi deliberatif mengatasi kekurangan demokrasi elitis dengan memandang kebebasan individu dan kesetaraan politik merupakan hal penting sejauh dapat mendorong kemampuan manusia untuk membentuk tatanan kolektif yang berkeadilan melalui deliberasi rasional (Hurley, 1989).
Dalam demokrasi deliberatif, keputusan politik dikatakan benar jika memenuhi setidaknya empat prasyarat. Pertama, harus didasarkan pada asas rasionalitas dan keadilan, bukan hanya berdasarkan subyektivitas kepentingan. Kedua, didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, bukan demi kepentingan perseorangan atau golongan. Ketiga, berorientasi jauh ke depan, bukan demi kepentingan jangka pendek melalui akomodasi transaksional yang bersifat destruktif (toleransi negatif). Keempat, bersifat imparsial, melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak (minoritas sekalipun) secara inklusif, yang dapat menangkal dikte-dikte minoritas elite penguasa dan pengusaha serta klaim-klaim mayoritas.
Orientasi etis “hikmat kebijaksanaan” mensyaratkan adanya wawasan pengetahuan mendalam yang mengatasi ruang dan waktu tentang wacana yang dipersoalkan. Melalui hikmat itulah mereka yang mewakili rakyat bisa merasakan, menyelami, dan mengetahui apa yang dipikirkan rakyat untuk kemudian diambil keputusan yang bijaksana yang membawa republik ini pada keadaan yang lebih baik. Orientasi etis “hikmat kebijaksanaan” juga mensyaratkan kearifan untuk dapat menerima perbedaan secara positif dengan memuliakan apa yang disebut sebagai “kebajikan keberadaban”, yakni rasa pertautan dan kemitraan di antara ragam perbedaan dan kesediaan untuk berbagi substansi bersama, melampaui kepentingan kelompok, untuk kemudian melunakkan dan menyerahkannya secara toleran kepada tertib sipil
Tulisan ini pernah dimuat di harian Kompas, 27 September 2016.