Saudaraku, untuk memulihkan kesejatian politik, kita perlu memahami bahwa dasar mengada dari politik itu sesungguhnya adalah budaya kewargaan (budaya kota).
Warga kota-negara menunjukkan rasa memiliki dan mencintai kota dan republiknya; bukan sekadar penduduk yang menumpang tidur demi mencari makan. Aktif terlibat, bergerak, dan berbaur dengan keragaman di ruang publik—tidak ”mager” (malas gerak) dan terisolasi di bungker identitas masing-masing.
Demi keterlibatan positif dan produktif di ruang publik, warga dituntut memiliki kecerdasan. Bukan sekadar kecerdasan personal, melainkan terutama dalam ”kecerdasan publik-kewargaan” (civic intelligence): kompeten mengemban tugas kewargaan, memahami kewajiban dan hak warga, mampu menempatkan keunggulan pribadi dalam harmoni-kemajuan bersama, bisa mencari titik temu dalam perbedaan, dan memenuhi panggilan keterlibatan dalam urusan publik secara sukacita.
Orang-orang Athena menyebut mereka yang tidak memiliki komitmen dan kecerdasan untuk terlibat dalam urusan publik sebagai idiotes. Dari sanalah asal kata ”idiot” untuk menyebut keterbelakangan mental.
Demi mengembangkan kecerdasan kewargaan perlu diciptakan iklim kebebasan berbicara, berkumpul, dan mengembangkan diri. Kebebasan juga memberi ruang toleransi yang memungkinkan berkembangnya kesediaan mengapresiasi pendapat dan karya orang lain.
Demokrasi sejati mestinya mengandung iklim kebebasan lebih luas dan sehat. Dalam demokrasi sungguhan, kota-kota kreatif bersitumbuh menjadi magnet berkumpulnya orang-orang kreatif, jenius, eksentrik, dan visioner dengan semangat menghormati nalar dan moral publik.
Di kota-kota seperti itu, budaya literasi kuat. Semangat mencintai tanah air menjadi kebajikan kewargaan. Pemimpin menjadi penuntun. Warga menjadi garda republik.