Warisan terkuat mentalitas bangsa Indonesia adalah “politik harapan” (politics of hope), bukan politik ketakutan (politics of fear). Kehidupan politik dibayangi kabut pesimisme, tentu penyebab utamanya bukanlah bersumber dari “sisi-permintaan” (demand-side) seperti yang sering didalihkan para politisi: rendahnya tingkat pendidikan rakyat, pragmatisme pemilih, serta kurangnya kesadaran politik. Sebaliknya hal itu bersumber dari “sisi-penawaran” (supply-side); dari ketidakmampuan aktor-aktor politik untuk membangkitkan kepercayaan rakyat.
Menurut Donna Zajonc dalam The Politics of Hope, untuk membangkitkan politik harapan, sebuah bangsa harus keluar dari tahap anarki, tradisionalisme, apatisme menuju penciptaan pemimpin publik yang sadar. Pada tahap pertama, seluruh tindakan politik diabsahkan menurut logika pemenuhan kepentingan pribadi, yang menghancurkan sensibilitas pelayanan publik. Pada tahap kedua, untuk mencapai sesuatu pemimpin mendominasi dan memarginalkan orang lain. Pada tahap ketiga, peluang-peluang yang dimungkinkan demokrasi tidak membuat rakyat berdaya, justru membuatnya apatis.
Pada tahap keempat, tahap politik harapan adalah para pemimpin menyadari pentingnya merawat harapan dan optimisme dalam situasi krisis. Yaitu, memahami kesalingtergantungan realitas dan kesediaan melayani kepentingan publik dengan menerobos batas-batas politik lama. Kekuasaan digunakan untuk memotivasi dan memberi inspirasi keteladanan yang memungkinkan orang lain mewujudkan keagungannya.
Masalah terbesar demokrasi di negeri ini adalah mismatch antara ledakan pemburu jabatan politik di satu sisi dan merosotnya kepercayaan rakyat kepada pemimpin politik di sisi yang lain. Situasi ini bisa membuat demokrasi bersifat korosif dan koruptif. Seperti dikatakan Montesquieu, “Prinsip demokrasi dikorup bukan saja ketika spirit kesetaraan hilang, tetapi juga ketika spirit kesetaraan yang ekstrem berlangsung—manakala setiap orang merasa pantas memimpin.”
Untuk memulihkan kepercayaan rakyat kepada politik perlu pemimpin yang bukan lebih dari sekadar pemimpin yang baik, melainkan pemimpin dengan kekhasan eksentrisitas, yang mengindikasikan kekuatan karakter, kebesaran jiwa, dan keliaran visi perubahan. Pemimpin yang tidak memedulikan untuk dipilih ulang, melainkan memedulikan keterpilihannya dijadikan sebagai pintu masuk bagi dekonstruksi dan rekonstruksi tata kelola pemerintahan secara sistemik.
Kreativitas sosial dan transformasi masyarakat memerlukan tumbuhnya eksentrisitas. Dalam hal ini, John Stuart Mill menengarai bahwa “Jumlah eksentrisitas dalam masyarakat pada umumnya proporsional dengan jumlah genius, kekuatan mental, dan keberanian moral yang dikandung masyarakat tersebut.” Defisit orang-orang eksentrik berkarakter, yang memiliki kekuatan mental, kebernasan gagasan, dan keberanian moral untuk mengambil pilihan, menimbulkan rintangan besar dalam transformasi bangsa.
Desain institusi politik yang menekankan kepada sumber daya alokatif (kekuatan finansial) ketimbang sumber daya otoritatif (kapasitas-karakter) menyempitkan kesempatan orang-orang eksentrik untuk memainkan peran politik. Padahal, terdapat sejumlah pengalaman empiris. Yaitu, ketika partai politik memberi kesempatan kepada figur-figur eksentrik untuk diusung menjadi pemimpin politik, prestasi kepemimpinan menggembirakan dan kepercayaan rakyat kepada politik pulih kembali.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini adalah contoh persenyawaan yang baik antara eksentrisitas tokoh dan kesediaan partai untuk mengusungnya tanpa pertimbangan uang. Eksentrisitas Ibu Wali terlihat dari paradoks antara keluguan perangai dan keberanian bertindak; kesantuan berbusana muslimah dengan keliaran visi; kesederhanaan penampilan dengan ekselensi pelayanan dan kerapihan tata-kota; kemungilan tubuh dengan kelebaran jiwa; antara keurakan ala “bonek” dengan kelembutan welas asih.
Menjadi wali kota tanpa kobaran ambisi dan modal membuatnya tidak mengalami konflik kepentingan dan berani bertindak; nothing to lose. Dalam tempo singkat, Surabaya yang dalam istilah Lewis Mumford bisa dilukiskan sebagai kota “heterogenik” (penuh ambiguitas, kekumuhan, kekerasan, kemiskinan, disintegrasi, anarki) bisa disulap menjadi “kota “ortogenetik” (mengekspresikan tatanan keindahan, keadaban, keadilan).
Pada akhirnya, Sang Super-Wali benar-benar membuktikan keagungan politik seperti yang disebutkan oleh Harry Truman, “Politik—politik luhur—adalah pelayanan publik. Tak ada kehidupan atau pekerjaan tempat manusia menemukan peluang yang lebih besar untuk melayani komunitas atau negaranya selain dalam politik yang baik.”
Kita harus mengkloning sang Super-Wali ke kota-kota lain di negeri ini agar kepercayaan warga kepada politik bisa dipulihkan, dan negeri sebesar dan seluas Indonesia bisa meraih marwah dan kejayaan yang sepadan.
Tulisan ini telah diterbitkan di Gatranews, 10 Oktober 2016.