Kemerdekaan adalah tuntutan pokok bagi tindakan politik: mampu mengupayakan pemenuhan kepentingan bersama hanya bila di sana ada kebebasan.
Pada saat yang sama, entitas politik bertahan bila kepublikan terawat. Sayangnya, hasrat personal dalam bentuk korupsi, atau fanatisme keagamaan, atau tindak kekerasan kini kerap menganeksasi publik. Masa depan Indonesia terancam, kecuali kita memulihkan politik pada lokusnya di ruang publik, tempat manusia-manusia merdeka berelasi dan bertindak.
Beragam dan Setara
Apa yang membuat politik mungkin? Keberagaman dan kesetaraan. Politik selalu mengandaikan kehadiran orang lain. Politik hadir dalam kehidupan komunal dan menuntut kesetaraan antarpelakunya (Arendt, 1998: 23). Setidak-tidaknya dua implikasi yang dapat kita tarik dari pemahaman itu.
Pertama, politik tidak lahir dari ruang privat, tetapi hidup dalam kepublikan. Kehidupan bernegara hanya mungkin bertahan sejauh warga negara tak menimbang semata-mata kepentingan personalnya. Orang bertindak dengan pemahaman bahwa kepentingannya bersesuaian dengan atau kadang dibatasi oleh kepentingan orang lain. Melampaui keterbatasan perspektif kepentingan sepihak menjadi kebutuhan bagi politik berkeadilan. Politik berarti kemajemukan dan pelingkupan.
Korupsi menggerogoti politik karena di situ hanya ada kepentingan sepihak. Perilaku korup menegasikan kehadiran orang lain berikut kepentingan mereka melalui tindakan memperkaya diri atau kelompok sendiri.
Demikian pula fanatisme berwawasan sempit melemahkan politik karena sikap eksklusifnya.
Kedua, politik tidak tumbuh dari situasi timpang. Politik dihidupi tindakan manusia bebas sehingga penindasan adalah musuh kemanusiaan sekaligus politik. Ketika para pendiri negara berkehendak membentuk entitas politik Indonesia, proklamasi kemerdekaan menjadi langkah awal. Selanjutnya penegasan UUD 1945 bahwa ”kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa” dan ”penjajahan itu tidak sesuai dengan perikemanusiaan” juga sejalan dengan hakikat politik sebagai situasi bebas dan setara.
Berbekal modal ini, seluruh generasi dibebani tugas ”melindungi segenap bangsa Indonesia”, termasuk kebebasan dan kesetaraan warga negaranya. Dalam kerangka itu, luka fisik dan batin yang dialami para korban pelanggaran HAM bukanlah suatu pengalaman subyektif.
Segala tindakan antikemanusiaan merupakan pencederaan keindonesiaan kita. Jika sampai kini masih terjadi pelanggaran HAM dan pembiarannya, orang harus mengutuknya.
Dalam Kepublikan
Lantas kedaulatan dan kebebasan macam apa yang diperlukan? Sebagian mungkin berpikir orang hanya bebas dan berdaulat ketika tak bergantung kepada orang lain. Namun, kedaulatan semacam itu mustahil. Tak ada orang hidup sendirian di dunia ini. Dalam keterbatasannya, manusia bergantung secara relatif kepada orang lain. Kebebasan manusia bergantung pada tindakan kolektif (Arendt, 1998: 234).
Menimbang kedaulatan soliter dalam arti independen mutlak tidaklah mungkin, maka kehadiran orang lain dalam keberagaman menjadi kondisi yang harus dipenuhi oleh kehidupan politik. Artinya, solidaritas, yang sejak awal diusahakan oleh para pelopor, menjadi kebutuhan keberkelanjutan bagi Indonesia. Tanpa solidaritas, tidak akan ada politik dalam kerangka kolektivitas.
Alih-alih menampik mereka yang berbeda, soliditas persatuan Indonesia diperkukuh oleh penerimaan terhadap keberagaman. Alih-alih mengutuk mereka yang berbeda, pemahaman silang kiranya meneguhkan kebersamaan kita. Persatuan Indonesia, dengan demikian, adalah kolektivitas Bhinneka Tunggal Ika yang sesuai dengan pandangan bahwa politik hidup dalam keberagaman dan kesetaraan.
Kehidupan politik juga mempersyaratkan kebebasan para pelaku menjalankan pilihan tindakan. Politik bukanlah bagi para bu- dak tertindas, bukan pula bagi para penindas. Politik adalah aktivitas yang secara otentik dimiliki mereka yang merdeka dan hidup dalam kepublikan bersama.
Masyarakat sebagai suatu kesatuan dengan ketergantungan silang demi pemenuhan kebutuhan hidup memiliki signifikansi publik (Arendt, 1998: 46). Ini menegaskan kehadiran orang lain berikut persilangan kepentingan di dalamnya merupakan penanda pokok keberadaan publik. Segala yang muncul di publik terlihat dan terdengar semua.
Transparansi dan akuntabilitas pada galibnya menjadi hal yang lekat dengan penyelenggaraan urusan publik. Politik sebagai urusan publik menghindarkan eksklusivisme, ketika politik dipandang semata urusan elite. Politik yang sehat mengandaikan keterlibatan publik dan kesiapan elite mengagregasi kepentingan mereka.
Sejalan dengan itu, tuntutan demokrasi bagi perlindungan kebebasan berekspresi menjadi kebutuhan. Rumusan tentang keutamaan publik sebagai hasil deliberasi dimungkinkan antara lain oleh adanya keleluasaan semacam itu. Inilah politik dua aras: bermula dari problematisasi kepentingan pada tataran publik lalu diserap dalam proses pengambilan kebijakan di tataran lembaga negara; suatu kebijaksa- naan dalam permusyawaratan.
Di tengah ancaman hasrat personal, terutama oleh elite berkuasa, politik Indonesia selayaknya dipulihkan hakikatnya sebagai aktivitas dengan segenap keutamaan di antara warga negara yang bebas dan setara. Akhirnya, memahami kehendak asasi bersama untuk mewujudkan ”Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur” kiranya memelihara spirit bernegara kita.
Tulisan ini telah dipublikasikan di harian Kompas, 7 September 2012