Sumpah Pemuda adalah kisah konektivitas dan inklusivitas keragaman identitas di awal pembentukan bangsa Indonesia. Ini adalah kisah spektakuler perjuangan anak-anak muda mengarungi jalan terjal multiseleksi, dalam proses adaptasi terhadap tantangan kehidupan hingga tampil sebagai penyintas.
Untuk menggambarkan jalan panjang dan berliku yang dilalui manusia (muda) Indonesia, dari seorang individu menjadi warga bangsa, kita bisa meminjam deskripsi Jonathan Haidt dalam bukunya yang memukau, The Righteous Mind: Why Good People are Divided by Politics and Religion (2012).
Kisah ini bermula dari anak-anak jajahan, dengan watak alamiah menyerupai simpanse yang mengutamakan kepentingan pribadi, harus berlomba untuk bisa menjadi ”priayi baru” (bangsawan pikiran) dalam sistem kompetisi masyarakat kolonial yang tidak fair. Pada etape selanjutnya, aneka diskriminasi yang dialami di sepanjang perlintasan menjadi ”priayi baru” mempersambungkan ”kepekaan naluriah” sesama serumpun menjadi semacam lebah yang berkerumun dalam ”sarang” komunitas moral primordial (berbasis kesukuan-kedaerahan dan keagamaan).
Pada tahap ini, terjadi pula proses perlombaan di antara kelompok-kelompok komunal baru. Kemunculan organisasi pemuda-pelajar atas dasar solidaritas kejawaan, Jong Java, membangkitkan reaksi pembentukan organisasi-organisasi ”tandingan” seperti Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun (pemuda Sunda), Pemuda Kaum Betawi, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, dan Jong Sumatranen Bond.
Kebangsaan-kewargaan
Dalam perkembangannya, proses seleksi dalam perlombaan di antara kelompok-kelompok komunal ini mengalami proses transendensi karena adanya persamaan kepentingan dalam menghadapi kompetisi dengan musuh bersama yang lebih besar, yakni negara kolonial (”asing”) yang represif dan diskriminatif. Persepsi tentang kepentingan bersama inilah yang mendorong terjadinya peleburan aneka komunitas primordial ke dalam suatu ”sarang” komunitas moral dalam skala yang lebih luas. Maka, terbentuklah superorganisme yang sangat gigantis bernama ”kebangsaan-kewargaan” (civic nation).
Jalan Indonesia menuju ”kebangsaan-kewargaan” itu berbeda dengan jalan yang ditempuh masyarakat Eropa. Dalam pengalaman Eropa, nasionalisme dilalui lewat proses sekularisasi dengan memudarnya pengaruh agama dan ikatan primordial lainnya (Rupert Emerson, 1960). Di sini, ketika nasionalisme bangkit, agama dan komunitas kultural lain memainkan peran penting. Kemunculan masyarakat sipil dan politik utamanya terlahir dari komunitas agama-budaya, bukan dari komunitas pasar. Jalan menuju nasionalisme kewargaan ditempuh dengan cara pengadaban masyarakat keagamaan dan kesukuan untuk bisa memasuki komunitas moral publik secara damai dan toleran.
Oleh karena itu, di negeri ini, jangan pernah mempertentangkan ”kebangsaan” dan ”keagamaan”. Komunitas-komunitas keagamaan bisa menjadi tulang punggung integrasi nasional karena kemampuannya mempertautkan keragaman suku dan kelas sosial secara vertikal oleh kesamaan aliran-aliran keagamaan. Dengan satu sentuhan lagi, berupa proses ”sipilisasi” (lewat konektivitas dan inklusivitas aneka ormas keagamaan) dalam mengusung moral publik, Indonesia memiliki modal sosial dan modal moral yang bisa diandalkan.
Tentang pentingnya komunitas agama sebagai modal sosial ini mendekati gambaran Robert Putnam (2000) dalam konteks kebangsaan-kewargaan Amerika Serikat. Dalam pandangannya, keterpautan pada kelompok kecil, seperti sesama anggota gereja dan perkumpulan agama yang melibatkan aneka individu dan latar sosial, merupakan modal awal bagi afeksi publik. ”Agama-agama membuat orang-orang Amerika menjadi tetangga dan warga negara yang lebih baik”.
Bahwa ”ramuan aktif yang membuat masyarakat Amerika lebih bajik adalah keterpautan mereka dalam relasinya dengan sesama komunitas agama. Segala hal yang mengikat masyarakat secara bersama ke dalam kerapatan jaringan rasa saling percaya membuat orang-orang kurang mementingkan diri sendiri”. Hal itu merupakan modal sosial yang amat penting bagi integrasi nasional.
Dalam kisah Sumpah Pemuda, proses peleburan ragam komunitas etno-religius ke dalam kesamaan komunitas kebangsaan-kewargaan yang lebih luas dimungkinkan oleh kesanggupan pemuda untuk melakukan konektivitas dan inklusivitas.
Kemampuan konektivitas bisa dilihat dari keragaman latar sosiografis dari peserta Kongres Pemuda II ini. Keragaman itu selain tecermin dari kehadiran organisasi-organisasi yang telah disebutkan, turut juga dua perwakilan dari Papua (Aitai Karubaba dan Poreu Ohee) dan beberapa peninjau Tionghoa (Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio Djien Kwie) serta satu orang sebagai wakil dari Jong Sumatranen Bond (Kwee Thiam Hiong). Representasi golongan keagamaan diwakili Jong Islamieten Bond.
Kedatangan peserta dari sejumlah wilayah di Tanah Air ini sungguh mengagumkan dalam kondisi ketersediaan infrastruktur perhubungan yang masih terbatas. Sarana transportasi yang tersedia baru kapal laut dan kereta api. Meski demikian, keterbatasan ini bisa diatasi dengan kerapatan konektivitas mental-kejiwaan. Konektivitas mental-kejiwaan dimungkinkan oleh tersedianya ruang-ruang publik modern yang memfasilitasi perjumpaan antaridentitas.
Ruang-ruang publik modern ini terentang mulai dari jaringan persekolahan dan klub-klub sosial bergaya Eropa, terutama di Bandung, Batavia, Surabaya, dan kota- kota besar lain, yang memungkinkan para pemuda-pelajar dari beragam latar wilayah dan golongan bisa berinteraksi. Kedua, dalam kehadiran jaringan industri pers vernakuler yang memungkinkan diseminasi informasi, pertukaran pikiran, dan promosi agenda bersama.
Konektivitas mental-kejiwaan juga dimungkinkan oleh minat baca dan tingkat erudisi yang tinggi. Keluasan dan kedalaman bacaan memungkinkan para pemuda-pelajar bisa memahami dan menghayati persoalan yang berlangsung di tempat jauh, meski tanpa kehadirannya secara fisik, karena pengetahuan yang diperolehnya dari bahan bacaan. Dengan itu, para pemuda-pelajar bisa mengembangkan sikap empati terhadap nasib mereka yang berbeda identitas, yang memberi kemampuan mencari substansi bersama melampaui perbedaan garis identitas.
Konektivitas dan inklusivitas
Dimensi inklusivitas dari Sumpah Pemuda tampak dari kesetaraan kesempatan bagi segenap peserta dari berlatar golongan untuk mengekspresikan diri dan mengambil peran, dengan sama-sama terlibat dan menyepakati agenda dan keputusan bersama. Dalam perjalanannya nanti, semangat inklusivitas yang diwarisi dari jiwa Sumpah Pemuda ini memungkinkan figur-figur utama kongres ini memainkan peran besar dalam sejarah Republik. Sugondo Djojopuspito (ketua kongres), Muhammad Yamin (sekretaris), Amir Sjarifudin (bendahara), dan Johannes Leimena (pembantu) menempati posisi-posisi penting seperti di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dan pos-pos kementerian atas dasar prinsip meritokrasi yang non-diskriminatif.
Bahkan, Amir Sjarifudin, dengan latar Kristen, bisa menjadi perdana menteri. Johannes Leimena dengan latar minoritas ganda (Kristen dan Melanesia) menjadi orang dengan menduduki jabatan menteri (wakil menteri) terpanjang dalam sejarah republik (21 tahun), bahkan beberapa kali menjadi pejabat kepala negara.
Konektivitas dan inklusivitas bukan saja penting bagi integrasi nasional, melainkan juga prasyarat bagi kemajuan bangsa. Hal ini bahkan berlaku bagi kemajuan di bidang olahraga. Sebuah studi yang dilakukan Simon Kuper dan Stefan Szymanski dalam Soccernomics (2018) menengarai mengapa tim sepak bola Inggris untuk masa panjang miskin prestasi meski merupakan tanah leluhur sepak bola. Jawabannya bisa dinisbatkan pada miskinnya konektivitas dan inklusivitas dalam sepak bola di negeri tersebut.
Di Eropa kontinental, jarak antara satu negara dan negara lain bisa ditempuh dalam dua jam, yang memudahkan interkoneksi dan rangsangan saling belajar antarnegara. Kehebatan gaya sepak bola suatu negara dengan cepat dipelajari oleh negara lain dalam usaha mencari cara bermain yang lebih unggul. Dari sini muncullah pelatih- pelatih hebat, seperti Arrigo Sacchi, Arsene Wenger, dan Pep Guardiola, yang mampu meracik resep sepak bola secara sintesis-kreatif hingga melahirkan sepak bola yang efektif, atraktif, dan sarat prestasi. Adapun Inggris, sebagai negara kepulauan yang terpisah, kurang terkoneksi dengan perkembangan sepak bola di negara-negara seberang. Untuk masa yang panjang, Inggris terus mempertahankan gaya sepak bola hit and run yang sudah kedaluwarsa. Baru belakangan, setelah tim-tim Premier League menyewa pelatih-pelatih dari Eropa kontinental, gaya permainan tim sepak bola negeri tersebut mengalami perubahan berarti.
Selain itu, di banyak negara Eropa kontinental, tim sepak bola nasional dikembangkan secara lebih inklusif, dengan merekrut talenta terbaik dari berbagai lapisan sosial. Di Inggris, tim sepak bola nasionalnya cenderung eksklusif, diisi oleh para pemain dari latar kelas sosial yang sama, yakni ”kelas buruh”. Kebanyakan pemain berhenti sekolah pada usia 16 tahun; nyaris tidak ada yang pernah mengenyam bangku pendidikan tinggi. Dengan demikian, potensi talenta terbaik dari kelas-kelas sosial lain tidak terengkuh. Dengan alasan yang sama, kita bisa menjelaskan bahwa salah satu faktor yang membuat bulu tangkis menjadi cabang olahraga yang paling berprestasi di Indonesia adalah karena basis inklusivitasnya yang kuat.
Untuk menjadi kekuatan kolektif yang kohesif, konektivitas dan inklusivitas ini harus dihela oleh kesamaan basis moralitas (shared values). Dalam konteks moral publik, kesamaan tersebut bisa ditemukan dalam enam nilai inti dalam matriks moral. Care (peduli terhadap bahaya yang mengancam keselamatan bersama), fairness (keadilan dan kepantasan), liberty (bebas dari penindasan dan pengekangan), loyalty (kesetiaan pada institusi dan tradisi), authority (otoritas yang dihormati bersama), dan sanctity (hal-hal yang disucikan bersama).
Generasi Sumpah Pemuda memiliki titik temu nyaris di semua butir matriks moral tersebut. Mereka sama-sama peduli terhadap bahaya penjajahan. Mereka sama-sama memperjuangkan keadilan dan kesetaraan. Mereka sama-sama mendambakan kemerdekaan dari penindasan dan represi. Mereka sama-sama punya kesetiaan pada bangsa dan Tanah Air. Mereka sama-sama memimpikan otoritas baru yang berbeda dari otoritas feodal dan kolonial dan sama-sama menyucikan satu nilai bersama, yakni kegotongroyongan; persatuan harus diutamakan di atas perbedaan.
Keterpautan pada komunitas moral bersama ini dikukuhkan oleh keterpaduan simbol dan identitas kolektif kebangsaan. Dalam masyarakat majemuk, memang diperlukan adanya rekognisi politik dan politik rekognisi yang menjamin kesetaraan hak bagi setiap kelompok etnis, budaya, dan agama. Meski demikian, kehadiran aneka kelompok komunal itu tidak boleh dibayar oleh ongkos yang mahal berupa fragmentasi masyarakat. Oleh karena itu, setiap kelompok dituntut memiliki komitmen kebangsaan dengan menjunjung tinggi keyakinan, nilai, norma, simbol, dan institusi bersama. Karen Stenner (2005) mengingatkan bahwa politik dan pendidikan multikultural yang terlalu menekankan perbedaan membuat orang tambah rasis, bukan menguranginya.
Bagi generasi Sumpah Pemuda, usaha mempertautkan kebinekaan dilakukan lewat pengakuan akan aspek-aspek kesamaan (similarity): kesamaan tumpah darah, bangsa, dan bahasa persatuan. Persatuan juga ditumbuhkan dengan mengupayakan keterpaduan (synchrony), dengan jalan menumbuhkan afeksi publik lewat pengibaran bendera dan lagu kebangsaan yang sama.
Lagu ”Indonesia Raya” yang semula disepelekan pemerintahan kolonial sebagai lagu keroncong yang tak menggugah, terus-menerus dinyanyikan di berbagai kesempatan, sehingga lambat laun menjadi pembangkit emosi kebangsaan yang sama. Semua kerangka kesamaan dan keterpaduan itu makin solid manakala kebijakan kolonial makin represif yang menumbuhkan kesamaan blok nasional. Dengan pekikan yel bersama, ”merdeka atau mati”, energi persatuan berhasil merebut kemerdekaan, yang melambungkan anak-anak jajahan sebagai penyintas.
Ancaman disrupsi
Jalan panjang menjadi bangsa itu harus kita hayati manakala Indonesia hari ini menghadapi ancaman disrupsi kebangsaan. Meski konektivitas fisik mengalami kemajuan dengan pembangunan infrastruktur perhubungan dan penggunaan sosial media yang sangat intens, tetapi konektivitas mental-kejiwaan mengalami kemunduran. Dunia persekolahan dan media yang dulu menjadi jendela keterbukaan bagi pergaulan lintas-kultural dan pertukaran pikiran, saat ini mengalami gejala pengerdilan. Pelemahan minat baca dan erudisi menyempitkan daya jelajah pemahaman, yang menumpulkan empati terhadap yang berbeda. Gejala eksklusivitas meluas dengan tumbuhnya pusat-pusat permukiman, sekolah, dan dunia kerja dengan segregasi sosial yang curam.
Komunitas moral bersama mengalami retakan karena memudarnya komitmen untuk menetapkan dan memelihara moral publik. Basis moral organisasi-organisasi sosial-politik tidak begitu jelas. Dari enam nilai dalam matriks moral publik, satu-satunya yang relatif terus diagungkan adalah nilai kebebasan (liberty). Selebihnya, tidak tampak keseriusan memedulikan apa yang mengancam keselamatan bersama. Terjadi peluluhan loyalitas terhadap institusi dan tradisi kebangsaan. Penghormatan terhadap otoritas hukum dan kepemimpinan merosot.
Narasi publik tidak mendorong konvergensi, malah menyulut divergensi. Polarisasi politik yang kian meruncing mengeraskan perbedaan. Harus lebih banyak usaha semacam peristiwa Asian Games yang menumbuhkan similaritas dan keterpaduan dari keragaman Indonesia. Kompetisi dengan bangsa lain bukan hanya bisa memacu prestasi, melainkan juga bisa mentransformasikan konflik-konflik persaingan internal menuju kontestasi dengan ”lawan” bersama dari luar.
Persepsi tentang kepentingan bersama tidak hanya bisa ditumbuhkan lewat nasionalisme negatif-defensif (melawan musuh dari luar), tetapi bisa juga lewat nasionalisme positif-progresif (membangun agenda kemajuan, keunggulan dan persemakmuran bersama).
Selain itu, harus lebih banyak ruang-ruang perjumpaan yang memungkinkan warga bisa melintasi batas-batas identitas. Institusi-institusi demokrasi harus ditata ulang untuk memperkuat persatuan dan keadilan. Kebebasan sebagai hak negatif (bebas dari) harus ditransformasikan menjadi kebebasan sebagai hak positif (bebas untuk) agar segala keragaman dan potensi bisa diolah menjadi sumber kemajuan dan kebahagiaan hidup bersama. Peringatan Sumpah Pemuda harus bisa menangkap apinya, bukan abunya!
Tulisan ini telah dipublikasikan di harian Kompas, 28 Oktober 2018.