Memasuki tahun baru 2019, bangsa Indonesia menyongsong momen paling mendebarkan dalam sejarah pemilu pasca-Orde Baru. Pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden yang dilakukan secara serempak dengan mengerucut pada kontestasi antara dua kubu yang saling berhadapan. Kompetisi ini berjalan sedemikian sengit sehingga kedua kubu terkesan memandangnya sebagai pertaruhan hidup-mati.
Ada pengerahan energi kreatif yang bisa meningkatkan kemampuan belajar. Ada juga mobilisasi siasat destruktif yang bisa membahayakan integrasi nasional. Inilah ujian genting bagi keberlangsungan negara-bangsa Indonesia. Jika kita berhasil melewati momen mendebarkan ini tanpa kerusuhan sosial, maka Indonesia akan lolos dari ujian sejarah, sehingga dapat menatap masa depan penuh optimisme. Namun, bila kita gagal mengendalikan diri dari dorongan nafsu bumi hangus, maka yang menang akan menjadi arang, yang kalah akan menjadi abu. Bangsa Indonesia akan menanggung ongkos kemanusiaan dan gerak mundur secara berantai.
Maka, memasuki tahun baru ini betul-betul menuntut daya reflektif dan pendewasaan diri. Bahwa perkembangan bangsa ini memang menyimpan banyak masalah, tapi ketibaan kita pada posisi seperti ini telah dibayar mahal oleh begitu banyak korban dan juga banyak capaian yang patut disyukuri.
Jangan sampai nyawa dan keringat para pejuang bangsa dibiarkan tak bernilai. Meski dirundung oleh banyak masalah, dalam kurun 73 tahun Indonesia merdeka, negara-bangsa ini telah menjalankan fungsi emansipatorisnya secara mengagumkan. Ini mungkin terdengar ganjil bagi mindset kebanyakan kita yang terlanjur rutin dibanjiri kabar buruk. Lebih dari itu, sejarah evolusi manusia dalam ratusan tahun lamanya membentuk otak manusia memiliki kesadaran yang sangat akut terhadap potensi bahaya. Kombinasi kedua hal ini merintangi kemampuan kita untuk bisa melihat kabar baik.
Nyatanya, sejarah perjalanan “negara-bangsa” Indonesia mengukir banyak kabar baik, selama mengarungi segala tantangan dan cobaan. Secara eksternal, solidaritas kebangsaan ini berhasil membebaskan aneka kelompok etno-religius dari belenggu penjajahan dari luar. Secara internal, solidaritas kebangsaan telah menjadikan Indonesia rumah yang relatif damai bagi segala kemajemukan yang ada.
Konflik-peperangan antarsuku dan antar-kelompok agama menjadi lebih jarang terjadi. Tingkat kematian di negeri ini terus menurun secara gradual dari 14.6 per 1,000 penduduk pada 1967 menjadi 7.1 per 1,000 penduduk pada 2016. Angka harapan hidup pun terus meningkat dari 52.8 tahun pada 1967 menjadi 69.2 tahun pada 2016; tumbuh dalam kisaran 0.55 % per tahun (World Data Atlas, 2017).
“Penemuan” bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan telah menorehkan pencapaian yang fenomenal. Bermula dari rumpun bahasa Melayu Riau, bahasa ini dengan cepat berkembang menjadi lingua franca di seantero negeri, bahkan menjadi bahasa pertama bagi sebagian besar generasi baru, yang menyediakan sarana komunikasi yang amat penting bagi pergaulan lintas-kultural bangsa majemuk ini. Lebih dari itu, daya adapatif bahasa ini untuk mengikuti perkembangan zaman membuat beberapa peneliti bahasa di Eropa menyebut bahasa Indonesia sebagai contoh kasus tentang apa yang dinamakan modernisasi bahasa yang berhasil secara gilang-gemilang. Sedemikian rupa sampai-sampai seorang sarjana Perancis, Jérôme Samuel, menulis buku Kasus Ajaib Bahasa Indonesia (2008).
Ketegangan antaridentitas (suku, agama, ras, golongan) sesekali memang bisa meledak. Sebagian musababnya karena warisan patologi pascakolonial yang belum bisa disembuhkan sepenuhnya di rumah sehat kebangsaan. Bukan karena ketidakmanjuran resep nilai kebangsaan itu sendiri, melainkan justru karena kurangnya takaran dan konsistensi pemakaian obat nilai kebangsaan.
Horor pertumpahan darah juga pernah terjadi dengan melibatkan elemen masyarakat maupun negara, dalam pola aksi-reaksi yang dipicu oleh persepsi tentang ketidakadilan sosial-ekonomi, yang memancing reaksi balik dalam wujud ledakan aspirasi totalitarianisme, baik dalam corak “totalitarianisme kiri” (komunisme) maupun “totalitarianisme kanan” (fasisme). Namun, dalam semua peristiwa tragedi nasional itu, konflik tidak merobohkan rumah kebangsaan. Solidaritas kebangsaan malah diseru untuk menjadi penawarnya, dan komunitas bangsa diajak belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Bukan berarti tidak ada masalah dan ancaman. Masalah tersebut justru tersingkap saat kita mengalami kontestasi politik yang sengit seperti saat ini. Secara internal, ancaman terhadap keberlangsungan negara bangsa bisa terjadi karena dekadensi dalam dimensi mental-spiritual, karena kegagalan rezim pendidikan dalam membudayakan moralitas dan karakter bangsa; dengan implikasi peluluhan moralitas publik dan karakter kewargaan sebagai basis kebersamaan tekad (shared intentionality) dan solidaritas sosial (social embeddedness).
Ancaman juga bisa datang karena dekadensi dalam dimensi institusional-politikal, akibat kegagalan rejim kebijakan (politik) dalam menetapkan rancang bangun dan tata kelola demokrasi-pemerintahan, karena mengabaikan tuntutan persatuan dan keadilan yang diamanatkan nilai-nilai luhur falsafah dan konsitusi negara. Ancaman juga bisa datang karena dekadensi dalam dimensi kesejahteraan material, karena kegagalan rezim produksi dalam memenuhi harapan inklusi ekonomi dan persemakmuran bersama (social welfare), yang mengakibatkan kesenjangan sosial yang makin lebar.
Maka dari itu, ketimbang energi nasional dihabiskan untuk saling menghabisi, lebih baik ajang Pemilu ini kita jadikan katalis untuk melakukan perubahan substantif pada ranah institusi mental-spiritual, institusional-politikal, dan menterial-teknologikal, agar bisa lebih kompatibel dengan usaha mewujudkan cita-cita (nasional) kebahagiaan hidup bersama.
Tulisan ini telah diterbitkan di harian Kompas, Kamis, 3 Januari 2019.