Wacana umum menamai tahun 2018 sebagai “tahun politik”. Momen-momen padat politik dalam pengertian yang tidak selalu memancarkan konotasi positif; malahan lebih sering diliputi bayangan kerisauan, seperti konflik identitas, perpecahan partai, mahar politik, pemborosan dana, perluasan korupsi, mediokritas pemimpin, dan ingkar janji.
Pengertian politik dalam konotasi negatif itu seperti layang-layang putus dari pangkal tali pegangan. Pangkal pengertian politik itu bermula dari istilah “polis” (kota) dalam tradisi Athena, yakni tempat segala sesuatu diputuskan dengan jalan nalar-permusyawaratan (bukan lewat jalan irasionalitas dan kekerasan). Berkat keberadaan dan keterlibatan warga kota yang berbudaya dan rasional, Aristoteles menggambarkan politik sebagai seni mulia mengelola republik demi kebajikan kolektif.
Pengertian politik yang tergelincir ke dalam kata-kata kotor berkembang dalam suasana kehidupan kota-republik yang disesaki artifisialitas tampilan permukaan, tanpa kedalaman substansi. Warga kota (republik) di Indonesia saat ini seakan hidup di zaman buih keterapungan. Ucapan dan janji bergelembung tanpa isi yang bisa ditangkap. Makna menguap dalam keriuhan viral maya. Tindakan tersandera di belantara media sosial; nalar kritis teringkus sebatas caci maki tanpa solusi.
Untuk membuat tahun politik sebagai tahun harapan, kita harus mengembalikan pengertian politik dan kota pada khitahnya. Dasar mengada dari politik adalah budaya kewargaan (budaya kota). Warga kota-negara menunjukkan rasa memiliki dan mencintai kota dan republiknya; bukan sekadar penduduk yang menumpang tidur demi mencari makan. Aktif terlibat, bergerak, dan berbaur dengan keragaman di ruang publik—tidak “mager” (malas gerak) dan terisolasi di bungker identitas masing-masing.
Pergerakan dan perjumpaan di ruang publik itulah yang menjadi pengungkit pertukaran gagasan, penyerbukan silang-budaya dan kreativitas warga. Dalam studi terkini, psikolog Marily Oppezzo dan Daniel Schwartz dari Universitas Stanford berusaha menginvestigasi hubungan antara kebiasaan bergerak-berjalan dengan kreativitas. Dari eksperimen terhadap dua kelompok, “pejalan” (walkers) dan “penduduk” (sitters), terungkap bahwa perbedaan level kreativitas kelompok pejalan yang secara signifikan dan konsisten jauh di atas kelompok penduduk (malas gerak).
Demi keterlibatan positif dan produktif di ruang publik, warga dituntut memiliki kecerdasan. Bukan sekadar kecerdasan personal, melainkan terutama dalam “kecerdasan kewargaan” (civic intelligence): kompeten mengemban tugas kewargaan, memahami kewajiban dan hak warga, mampu menempatkan keunggulan pribadi dalam harmoni-kemajuan bersama, bisa mencari titik temu dalam perbedaan, dan memenuhi panggilan keterlibatan dalam urusan publik secara sukacita. Orang-orang Athena menyebut mereka yang tidak memiliki komitmen dan kecerdasan untuk terlibat dalam urusan publik sebagai idiotes. Dari sanalah asal kata “idiot” untuk menyebut keterbelakangan mental.
Demi mengembangkan kecerdasan kewargaan perlu diciptakan iklim kebebasan berbicara, berkumpul, dan mengembangkan diri. Kebebasan juga memberi ruang toleransi yang memungkinkan berkembangnya kesediaan mengapresiasi pendapat dan karya orang lain.
Corak politik sangat menentukan. Demokrasi prosedural yang berhenti sebatas ritual-ritual pemilihan padat modal dengan gonta-ganti peraturan dan desain kelembagaan politik tidak memiliki signifikansi bagi kecerdasan dan kreativitas kewargaan.
Eric Weiner (2016) menengarai, tidak ada korelasi antara era keemasan kenegaraan dan demokrasi. Substansi yang perlu dihadirkan adalah kebebasan kreatif, bukan demokrasi semata. China tidak memiliki demokrasi, tetapi memiliki autokrat tercerahkan yang memberi ruang kreatif bagi warga untuk mengembangkan potensi diri dan memenuhi tugas kewargaan. Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta tidak dipilih secara demokratis, tetapi kepemimpinannya memberikan ruang kebebasan kreatif, termasuk memberi kemudahan bagi warga untuk mengakses pemimpin dan kebijakannya. Dengan itu, Yogyakarta tumbuh sebagai salah satu kota paling kreatif dan paling bahagia di Indonesia.
Demokrasi sejati mestinya mengandung iklim kebebasan lebih luas dan sehat. Dalam demokrasi sungguhan, kota-kota kreatif bersitumbuh menjadi magnet berkumpulnya orang-orang kreatif, jenius, eksentrik, dan visioner dengan semangat menghormati nalar dan moral publik.
Di kota-kota seperti itu, budaya literasi kuat. Semangat mencintai tanah air menjadi kebajikan kewargaan. Pemimpin menjadi penuntun. Warga menjadi garda republik.
Kota-kota menjelma menjadi pusat teladan-keadaban, mewarisi tradisi besar umat manusia yang selalu memaknai kota (polis, civic, madina) dalam konotasi positif; keberadaban (civility), kemuliaan (nobility), dan keteraturan (order). Menjadi warga kota berarti menjadi manusia beradab. “Menjadi manusia beradab,” ujar Fernand Braudel, “Berarti memuliakan tingkah laku, menjadi lebih tertib-taat hukum (civil) dan ramah (sociable).” Max Weber mendefinisikan kota sebagai “suatu tempat yang direncanakan bagi kelompok berbudaya dan rasional”.
Dengan menguatkan basis budaya kewargaan dalam kehidupan kota-kota dengan tatanan keadaban publik yang luhur, kita songsong tahun politik sebagai momen kebangkitan politik harapan, bukan politik ketakutan.
Tulisan ini telah dipublikasikan di harian umum Kompas, Kamis, 25 Januari 2018.