Kebebasan tanpa keadilan dan kesetaraan membuat demokrasi seperti baju yang dipakai secara terbalik.
Tak lama lagi, pemerintahan Joko Widodo akan berakhir. Di berbagai kanal media sosial berseliweran berbagai meme, lebih kurang menyatakan, ”Menghitung Hari Menuju Kebebasan”.
Entah apa maksudnya; kebebasan siapa, bebas dari apa, dan untuk apa? Mengapa dalam ruang publik Orde Reformasi yang dirayakan dengan euforia kebebasan; kebebasan masih dipersoalkan?
Kenyataan ini menunjukkan bahwa surplus kebebasan tak serta-merta mampu membebaskan rakyat dari belenggu penderitaan. Setelah seperempat abad Reformasi berjalan tanpa perbaikan demokrasi dan kualitas hidup yang berarti, mestinya terbit kesadaran bahwa tirani pemerintahan tidak bisa dihapus begitu saja dengan pesta kebebasan.
Kebebasan tanpa keadilan dan kesetaraan hanya membuat tirani berganti wajah, dari wajah bengis militeristik menuju wajah lembut permainan prosedur. Kebebasan tanpa keadilan dan kesetaraan membuat demokrasi seperti baju yang dipakai secara terbalik.
Di negara ini, pemaknaan ”demokrasi” tidak mengikuti definisi Abraham Lincoln, government of the people, by the people, and for the people (pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat), tetapi terjungkir menjadi government off the people (pemerintahan terputus dari rakyat), buy the people (membeli rakyat), dan force the people (menekan rakyat).
Penjelmaan kebebasan eksklusif yang melemahkan publik mengkhianati cita-cita kebebasan inklusif—dengan sebutan kemerdekaan—yang diperjuangkan para pendiri bangsa. Kita patut bersyukur, para pendiri bangsa Indonesia yang menyusun dan mengesahkan konstitusi proklamasi sudah mewakili berbagai unsur keragaman Indonesia secara agama, ras, etnik, golongan, dan jenis kelamin.
Dengan representasi yang inklusif itu, moral konstitusi kita sejak awal sudah menjamin kesetaraan politik, kesetaraan kesempatan, dan persamaan warga di depan hukum, yang dalam pasal-pasalnya yang terbatas sudah meliputi jaminan kesetaraan atas hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Dengan semangat egalitarianisme yang kuat, ”tujuh kata” dari rancangan awal Piagam Jakarta—yang memberikan kekhususan bagi golongan mayoritas agama—dengan rela dihapuskan saat konstitusi Proklamasi disahkan pada 18 Agustus 1945. Dengan demikian, Republik Indonesia berdiri sebagai negara semua buat semua.
Menyadari kemajemukan bangsa Indonesia dengan aneka bentuk relasi-representasi golongan mayoritas-minoritas demi menjaga keseimbangan dalam kesetaraan dan kebebasan itu, para pendiri bangsa juga mengidealisasikan suatu bentuk pemerintahan yang bisa lebih kedap terhadap ancaman dari tirani mayoritas dan minoritas.
Maka, dirancanglah suatu bentuk representasi politik yang tidak hanya berbasis pada principle of equal liberty (kesetaraan individual), tetapi juga the principle of difference (afirmasi positif).
Bahwa, kendati setiap warga merupakan subyek hukum yang setara, tak seorang pun yang bisa tercerabut dari akar sosialnya.
Dalam pertalian dengan akar sosial itu, sebagian orang terhubung dengan golongan marjinal. Demi emansipasi, mereka yang berasal dari golongan tersebut perlu diberikan afirmasi positif sehingga anggota komunitasnya bisa berdiri setara sebagai manusia merdeka.
Selain itu, warga negara juga terhubung dengan ruang hidup dengan kondisi kewilayahan yang berbeda. Agar tidak terjadi diskriminasi warga berdasarkan karakteristik ruang hidup dengan perbedaan kepadatan penduduk dan kondisi teritorialnya, representasi juga diberikan kepada wakil daerah.
Lebih dari itu, demi menjaga kesetaraan kebebasan, relasi kuasa tak boleh dikendalikan secara sepihak oleh golongan strategis tertentu, melainkan harus bersifat timbal balik dengan menjaga keseimbangan antara representasi modal politik (partai), modal ekonomi (kelas ekonomi), dan modal budaya (inteligensia).
Untuk itu, representasi politik tidak hanya berbasis keterpilihan, tetapi juga memperhatikan keterwakilan. Tidak hanya mewakili individual rights (lewat partai politik), tetapi juga communitarian rights (lewat utusan golongan) dan territorial rights (lewat utusan daerah).
Dengan demikian, ada keseimbangan representasi yang bisa saling mengontrol, yang dapat mencegah unsur representasi tertentu tampil dominan sebagai tirani mayoritas atau tirani minoritas (oligarki). Dengan begitu, para pendiri bangsa sudah memelopori apa yang disebut Yascha Mounk (2022) sebagai the great experiment dalam menggagas rancang bangun demokrasi yang kompatibel dengan masyarakat majemuk.
Bahwa implementasinya bisa jadi tak seindah rancangannya, itu soal lain. Degenerasi demokrasi yang terjadi di masa Orde Lama dan Orde Baru pada garis besarnya bukanlah konsekuensi dari rancang bangun dan imperatif konstitusi, melainkan sebagai akibat penyimpangan dari cita negara dan semangat moral konstitusi dalam penerapannya.
Kebebasan dan tanggung jawab
Alhasil, perjuangan mewujudkan kebebasan inklusif itu tidaklah mudah. Salah satu alasannya karena kebebasan itu selalu bersifat paradoks.
Seperti kata Terry Eagleton (2005), ”kebebasan itu menyerupai dewa Dionysus dengan penampakan ganda: malaikat dan iblis, kecantikan dan teror”.
Dalam mitologi Yunani, Dionysus adalah dewa anggur, susu, madu, sekaligus dewa darah. Seperti ekses alkohol, ia menghangatkan darah dengan efek yang mengerikan. Apa yang bisa membawa spontanitas dan kegembiraan bisa juga menimbulkan kehilangakalan dan brutalitas.
Agar kebebasan itu terhindar dari sisi destruktifnya, ia harus terus diperjuangkan untuk tetap bersanding dengan pasangannya, yakni tanggung jawab. Tak pernah ada kebebasan konstruktif tanpa disertai kesungguhan tanggung jawab.
Semakin banyak kebebasan diberikan, semakin besar tanggung jawab menyertai. Tanpa kesungguhan mengemban tanggung jawab, kebebasan bisa menghunus belati yang menikam kehidupan.
Dalam mengemban tanggung jawab itu hendaklah disadari bahwa pemenuhan kebebasan itu tidak terbatas pada ”kebebasan negatif” (bebas dari—berbagai hambatan yang memasung kehidupan), tetapi juga ”kebebasan positif” (bebas untuk—mengembangkan potensi diri, bangsa, dan kemanusiaan dengan melakukan apa yang dipandang berharga, baik, dan pantas diperjuangkan). Misi kebebasan tidak hanya melawan dan menjebol, tetapi juga membangun.
Orde Reformasi telah memberi banyak kebebasan negatif. Namun, dengan itu, potensi kemanusiaan dan kebangsaan kita kurang berkembang secara positif. Rakyat memang telah dibebaskan dari berbagai bentuk ketakutan sensor dan represi negara.
Namun, kebebasan bicara tak dipertanggungjawabkan untuk mengembangkan nalar publik dan public deliberation yang bermutu, kritis, dan tercerahkan.
Keterbukaan ruang publik tak diisi dengan diskursus dan konten bermutu malah dirayakan dengan kedangkalan, skandal, pencitraan manipulatif, hoaks, dan ujaran kebencian.
Kebebasan berkumpul dan berasosiasi tak dimanfaatkan sebagai wahana aksi kolektif (partai politik dan gerakan sosial) yang efektif dan transformatif dalam memperjuangkan pemberdayaan rakyat dan kepentingan publik malahan dikerdilkan dengan nepotisme, elitisme, dan cengkeraman oligarki.
Peluang-peluang yang dimungkinkan demokrasi tidak membuat rakyat berdaya, tetapi justru membuatnya terpinggirkan dengan ledakan sinisme dan pesimisme.
Dengan tendensi dominasi oligarki, kita teringat pada ungkapan Isaiah Berlin (1969) bahwa ”Kebebasan bagi serigala sering kali berarti kematian bagi kambing”. Kebebasan yang dinikmati segelintir orang kuat harus dibayar mahal oleh tercerabutnya kebebasan dari orang kebanyakan.
Dalam kaitan ini, selalu ada kaitan antara kebebasan politik dan kebebasan ekonomi. Jauh-jauh hari Bung Karno dan Bung Hatta mengingatkan bahwa ”Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada.”
Dengan terang penglihatan yang sama, Joseph Stiglitz dalam buku terbarunya, The Road to Freedom: Economics and the Good Society (2024), menjelaskan bahwa kepedulian sistem ekonomi dan sistem politik tidak sebatas efisiensi, keuntungan, dan keberlanjutan, tetapi juga nilai moral.
Salah satu nilai moral yang terpenting adalah kebebasan yang mengandung keadilan (justice), kewajaran (equity), dan kebahagiaan (well-being).
Lebih lanjut, ia mengingatkan akan ancaman terhadap kebebasan umum yang ditimbulkan oleh praktik demokrasi yang terkooptasi oleh segelintir pemodal kuat yang membonceng rezim neoliberalisme kanan ekstrem (far right).
Dengan kredonya yang menekankan pasar ”bebas” secara tak terkendali serta mempromosikan pertumbuhan dan kepentingan pemodal besar, hasil yang di- timbulkan justru mengurangi kebebasan dan menyempitkan oportunitas ekonomi bagi orang kebanyakan serta mengeruk kekayaan dari orang banyak ke tangan segelintir orang, baik secara perseorangan maupun dalam relasi antarnegara.
Bentuk kapitalisme seperti ini tidak memperluas kebebasan di masyarakat. Sebaliknya, mengarah ke kebebasan bagi segelintir orang dengan mengorbankan kemerdekaan orang kebanyakan.
Demi menjaga kebebasan sebagai kebajikan bersama, Stiglitz menekankan tentang keharusan sistem ekonomi mengingat pentingnya ”tindakan kolektif” (collective action) bahwa mengerjakan bersama apa yang individu-individu tak bisa melakukannya sendiri adalah sesuatu yang dikehendaki.
Akan tetapi, tindakan kolektif tak bisa dilakukan tanpa sedikit koersi karena adanya masalah ”penumpang bebas” (free-rider)—yang cuma mau untung tanpa mau berkorban.
Dalam kerangka tindakan bersama dan mengatasi penumpang bebas itulah diperlukan peran pemerintah yang bisa menempatkan dirinya secara imparsial dengan memastikan agar kebebasan bisa berjalan secara seimbang yang memungkinkannya diakses seluruh rakyat—setidaknya oleh sebagian besar orang, bukan dikendalikan segelintir orang.
Dalam kaitan itu, kita bisa memahami mengapa kebebasan yang dihadirkan Orde Reformasi justru menghasilkan kesenjangan perekonomian yang makin lebar, diikuti oleh meningkatnya ketidaksetaraan politik dan kesempatan.
Alasan utamanya karena kegagalan tindakan kolektif akibat state capture yang membuat pemerintah dan rezim kebijakan dikendalikan oleh oligarki dan proksi negara-negara kuat.
Dengan kata lain, kebebasan yang dirayakan masih sebatas ”kebebasan alamiah” (natural liberty) dan belum diaktualisasikan sebagai ”kebebasan sipil” (civil liberty).
Dalam pandangan Jean-Jacques Rousseau, ”kebebasan alamiah” sangat bergantung pada kekuatan setiap individu untuk mengejar keinginan masing-masing; yang kuat akan menang, yang lemah akan kalah. Sebaliknya, dalam ”kebebasan sipil”, kekuatan dan keinginan individu itu dibatasi oleh ”kemauan umum” dan ”kebajikan bersama”.
Karena mengandalkan ”kebebasan alamiah”, sekalipun demokrasi dirayakan dengan berbagai pemilihan langsung, pada kenyataannya pemerintahan terpilih tidak otomatis menjunjung daulat rakyat. Secara teori, setiap warga negara berhak memilih dan dipilih. Faktanya, pilihan rakyat bisa dimanipulasi di berbagai tikungan dan dengan biaya pemilihan yang mahal, tidak semua rakyat bisa mencalonkan diri.
Dalam demokrasi padat modal dan manipulasi, surplus kebebasan tidak serta-merta membawa tatanan kehidupan yang lebih adil dan beradab.
Demokrasi cenderung mengabaikan ”kebajikan sipil” (civic virtues) dan ”kemauan umum” dengan diwarnai sengkarut tata kelola, skandal korupsi, dan pelemahan otoritas hukum sebagai hanyutan dari perluasan penetrasi uang dalam kekuasaan.
Lebih dari itu, banjir uang yang mengalir ke dunia politik membawa polusi pada kehidupan publik. Segala nilai dikonversikan ke dalam nilai uang. Hubungan politik digantikan oleh hubungan konsumtif. Politik mengalami proses konsumerisasi dan privatisasi.
Dengan konsumerisasi, branding recognition lewat manipulasi pencitraan menggantikan kualitas dan jati diri. Dengan privatisasi, modal menginvasi demokrasi dengan menempatkan aku di atas kita yang menimbulkan penolakan atas segala yang civic dan publik.
Lari dari kebebasan
Banyaknya ekspektasi yang ditimbulkan oleh kebebasan yang bertaut dengan lemahnya tanggung jawab serta kapasitas untuk memenuhi harapan itu bisa membuat rakyat banyak dilanda kecemasan akan masa depan. Dalam hal ini, kita teringat pandangan Erich Fromm (1941) bahwa kebebasan itu sendiri bisa menjadi penyebab ketakutan dan kecemasan, yang mendorong banyak orang mencari jalan untuk ”melarikan diri dari kebebasan” (escape from freedom).
Fromm mengidentifikasi tiga cara melarikan diri dari kebebasan. Pertama, berpaling pada otoritarianisme dengan memasrahkan kebebasan (otonomi) individualitas melenyap ke dalam entitas kolektif, suatu sistem otoritarian yang akan memberikan komando tentang apa yang harus dilakukan. Bisa dilakukan dengan cara berserah diri pada kuasa orang lain atau dengan cara pasif, seperti anak kecil yang mengikuti instruksi.
Bisa juga dengan menjadikan diri sebagai pemimpin otoriter dalam sistem tersebut. Dalam hal ini, perlu ditambahkan temuan Dacher Keltner (2017), ahli dalam penerapan Machiavellisme.
Hasil studinya menyimpulkan bahwa mereka yang naik ke posisi kekuasaan umumnya bermula sebagai pribadi yang ramah dan penuh empati. Namun, tatkala dihadapkan pada kenyamanan hipnosis kekuasaan serta keruwetan yang ditimbulkan kebebasan, banyak di antara mereka yang bertransfigurasi menjadi penguasa otoriter.
Cara lain untuk melarikan diri dari kebebasan adalah jalan destruktif (destructiveness). Khawatir pihak lain melakukan sesuatu yang bisa membahayakan mereka, beberapa pihak akan menyerang terlebih dulu untuk menghancurkan apa yang dipersepsikan sebagai sumber ancaman. Hal ini terekspresi dalam bentuk brutalitas, vandalisme, perundungan, kriminalitas, dan terorisme.
Dalam fenomena politik, sebagian rakyat yang mengalami distrust akan ”memeras” calon pejabat terlebih dahulu sebelum giliran mereka diperas para pejabat setelah terpilih.
Cara ketiga menempuh jalan konformitas secara otomatis, seperti robot (automaton conformity). Kedirian luluh dengan bersembunyi dalam keguyuban konformis dengan melakukan apa saja yang orang (bangsa) lain lakukan tanpa timbangan nalar kritis.
Di sini, orang memilih cara berpakaian yang serupa dengan pakaian orang lain, mengidolakan figur populer yang sedang digandrungi. Dalam politik, orang hanyut dalam gelombang suara buzzer serta irama emosi korps ”sukarelawan” yang bergerak serempak mengikuti model dan gaya pemimpin pujaannya yang selalu dipandang tanpa cela.
Dengan cara melarikan diri, kebebasan tidak diperjuangkan dengan tanggung jawab, tetapi dielakkan sebagai rongrongan terhadap zona nyaman. Tanpa aktif memperjuangkan kebebasan secara bertanggung jawab, manusia menjerumuskan dirinya ke dalam perbudakan mental.
Demi kemerdekaan dan kemuliaan martabat kemanusiaan, penyanyi reggae legendaris Bob Marley mengingatkan, ”Emancipate yourselves from mental slavery!” Untuk itu, kebebasan harus diperjuangkan dengan tanggung jawab.
Prof Soepomo mengingatkan, ”Dalam sistem kekeluargaan, sikap warga negara bukan sikap yang selalu bertanya ’apakah hak-hak saya?’, tetapi sikap yang menanyakan: apakah kewajiban saya sebagai anggota keluarga besar, ialah negara Indonesia ini?
Inilah pikiran yang harus senantiasa diinsafkan oleh kita semua. Adapun bagi para penyelenggara negara, pokok pikiran keempat Pembukaan UUD 1945 mengingatkan pentingnya pemerintah dan penyelenggara negara lainnya untuk ”memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur”.
Pemimpin dan elite negeri harus mengkhidmati sungguh-sungguh pesan Bung Hatta. ”Indonesia luas tanahnya, besar daerahnya, dan tersebar letaknya. Pemerintahan negara semacam itu hanya dapat diselenggarakan mereka yang mempunyai tanggung jawab yang sebesar-besarnya dan mempunyai pandangan amat luas. Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam dada jika kita sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa.”
*Artikel telah dimuat di harian Kompas 19 September 2024.