Tidak ada masyarakat yang betul-betul homogen di dunia ini. Adanya keberagaman tak terhindarkan dalam kehidupan manusia. Umumnya masyarakat di berbagai belahan dunia terdiri atas beragam keyakinan, agama, etnis, bahasa, warna kulit, dan lain-lain. Bahkan dalam masyarakat yang dikatakan homogen sekalipun, tetap ada keberagaman. Sebab, pada dasarnya setiap individu bersifat unik, memiliki ciri fisik dan pemikiran yang berbeda antara satu orang dengan yang lainnya.
Di Indonesia sendiri, keberagaman adalah fakta yang sangat nyata. Dengan posisinya yang strategis, berada di persimpangan jalur perdagangan dunia, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang paling beragam di dunia. Ada begitu banyak etnis, bahasa, agama, keyakinan dan kepercayaan di Indonesia. Jumlahnya ratusan. Keragaman ini merupakan kekayaan yang layak disyukuri karena membuat kehidupan di Indonesia menjadi sangat indah dan lebih berwarna.
Namun, seperti layaknya kekayaan yang tak hanya mendatangkan kebahagiaan, tapi terkadang juga membawa kesengsaraan, begitu juga dengan keberagaman. Kebhinnekaan yang dimiliki Indonesia—yang begitu dibanggakan dan bahkan diakui dunia—tidak jarang menimbulkan beragam persoalan sosial. Alih-alih menjadi pembelajaran bersama untuk menyerap sisi-sisi positif dari masing-masing kebudayaan, tidak jarang perbedaan yang ada dalam relasi antar-kelompok malah menimbulkan pertentangan hingga berakibat timbulnya konflik sosial yang berujung pada kekerasan.
Oleh sebab itu, masyarakat Indonesia harus memiliki kemampuan untuk mengelola perbedaan agar hal tersebut menjadi berkah, bukan malah menimbulkan persoalan. Potensi konflik antar-kelompok harus diminimalisasi hingga ke titik yang paling rendah. Bahkan prasangka yang masih tertanam dalam kelompok tertentu—yang dapat berkembang menjadi sentimen sosial—perlu dikikis.
Untuk itu, diperlukan upaya nyata untuk membangun sikap saling hormat dan saling mengerti. Tentu saja ini bukan sesuatu yang mudah. Perlu ada upaya persuasif yang terus-menerus agar potensi konflik dan prasangka antar-kelompok masyarakat semakin berkurang. Di antaranya dengan secara aktif mempromosikan nilai-nilai toleransi dan
penghargaan terhadap perbedaan melalui berbagai forum dan media yang ada. Upaya yang juga mesti dilakukan adalah dengan membangun ruang-ruang perjumpaan untuk menumbuhkan pemahaman dan pengertian antarkelompok yang berbeda.
Model “Sekolah Harmoni” yang kami desain adalah salah satu upaya untuk meminimalisasi potensi konflik dan prasangka dalam masyarakat yang beragam. Peserta Sekolah Harmoni berasal dari beragam kelompok, keyakinan, dan agama. Materi-materi yang diberikan memiliki perspektif “menerima yang lain” (accept the others) melalui kisah-kisah para pendiri bangsa dan budaya nusantara yang sejak awal selalu merangkul dan mengolah perbedaan menjadi keindahan.
Dilihat dari segi tujuannya, kegiatan pelatihan dibagi menjadi 3 jenis. Pertama, penanaman konsep-konsep keindonesiaan, keberagaman, toleransi, dan demokrasi. Setelah pelatihan, diharapkan peserta menjadi duta perdamaian yang mampu menjelaskan keberagaman yang dimiliki Indonesia serta pentingnya nilai toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan. Untuk tujuan ini, metode yang dilakukan menitikberatkan pada kegiatan ceramah, curah pendapat, dan diskusi.
Kedua, penanaman nilai-nilai toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan pada diri peserta. Di sini akan diupayakan pembauran terjadi di antara peserta yang berasal dari beragam latar belakang agama dan kelompok. Untuk memperluas cakrawala pandangan peserta sehingga mampu menerima perbedaan sebagai suatu yang wajar, akan diadakan
kegiatan outbound dan kunjungan ke tempat ibadah atau komunitas lokal.
Ketiga, meningkatkan keterampilan peserta dalam mengelola perbedaan dan penanganan konflik di daerah masing-masing. Kegiatan yang dilakukan adalah sharing pengalaman dan diskusi kelompok serta belajar dari praktik-praktik pengelolaan keberagaman yang sudah ada. Di sini peserta akan diminta untuk melihat kondisi hubungan lintas agama dan kelompok di daerahnya masing-masing. Dengan demikian, mereka belajar untuk mengidentifikasi masalah intoleransi yang ada di lingkungan masing-masing.
Mereka kemudian mendengar kisah dari orang yang sudah melakukan kerja nyata dalam pengelolaan perbedaan sebagai inspirasi dan masukan untuk menyelesaikan masalah yang sudah mereka identifikasi. Kemudian, para peserta diminta untuk merencanakan apa yang mereka lakukan terhadap masalah yang telah mereka temukan sebagai Rencana
Tindak Lanjut (RTL).
Pelatihan Sekolah Harmoni Indonesia dilaksanakan selama 3 hari 2 malam dengan jumlah peserta sekitar 30 orang. Pelatihan ini menggunakan metode belajar orang dewasa dan partisipatoris dengan mengedepankan kesetaraan karena masing-masing individu mempunyai pengalaman dan informasi yang dapat dibagi di pelatihan ini, terkait dengan isu-isu mengenai keberagaman dan toleransi.
Setiap peserta memiliki hak untuk didengarkan dan dihargai pendapatnya. Masing-masing peserta juga didorong dan diberi kesempatan yang sama untuk menyampaikan pendapat dan pandangannya menyangkut isu-isu yang dibahas selama pelatihan.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai program ini, silakan diunduh: