Akhirnya terkuak bahwa kabar di media sosial tentang adanya surat suara yang sudah tercoblos adalah berita bohong atau hoaks. Kabar tersebut sempat memunculkan kekhawatiran adanya kecurangan untuk memenangkan salah satu pasangan calon presiden-wakil presiden di Pilpres 2019. Meskipun akhirnya terbantahkan, isu tersebut mengkhawatirkan: hoaks masih merebak dan menjadi strategi kampanye.
Kabar di medsos yang bersifat bohong amat berbahaya. Kabar tersebut membingungkan dan berpotensi memunculkan kekacauan. Kenapa sedemikian berbahaya?
Jurnalisme Warga
Pada dasarnya, tulisan di medsos adalah sebuah pembicaraan. Akibat dari pembicaraan di media sosial (medsos) adalah sebuah pembicaraan. Akibat dari pembicaraan di medsos amat luar biasa, memunculkan akibat yang masif dan simultan.
Saat ini, terdapat perubahan nilai dan pembentukan budaya baru. Suatu perubahan yang memunculkan relasi baru antara pembuat dan penerima berita, yaitu relasi emansipatoris. Berita, yang sebelumnya cenderung searah dari media massa ke arah masyarakat, sekarang menjadi dua arah: dari masyarakat pembuat berita ke masyarakat penerima berita. Muncullah istilah citizen journalism alias jurnalisme warga.
Dengan jurnalisme warga, berita menjadi berbentuk peer to peer. Pembuat berita menjadi domain siapapun yang berkepentingan. Dalam konteks inilah, berita bohong tentang surat suara yang tekah dicoblos itu dibuat. Berita ini dibuat untuk kepentingan tertentu, kepentingan politik untuk menjatuhkan lawan.
Hoaks, yang bisa berupa tulisan, gambar, dan video, menjadi semakin berbahaya karena adanya fenomena atau suatu gejala, yaitu munculnya era post-truth—pasca-kebenaran. Di era post-truth, fakta yang sebenarnya menjadi tidak begitu penting, yang terpenting adalah bagaimana alur cerita/wacana yang dibuat. Cerita/wacana yang tidak benar, bisa menjadi benar jika diluncurkan terus menerus ke ruang publik.
Cerita atau wacana itu mencapai tujuannya jika telah menempuh berberapa tahap. Tahapan tersebut adalah, pertama, lempar isu. Pembuat wacana melempar suatu isu, misalnya isu adanya surat suara yang sudah tercoblos. Tahap kedua, isu tersebut tersebar dengan sendirinya. Proses ini disebut proses viral. Ketiga, proses akhir yang membuat upaya pembuataan suatu wacana berhasil, yaitu saat wacana masuk radar media arus utama. Wacana yang sebelumnya viral dari satu gawai ke gawai lain, ditangkap dan dipublikasi media arus utama. Saat inilah suatu wacana mencapai tujuannya, menjadi konsumsi publik.
Kenapa hoaks bisa merebak? Pertama, karena rendahnya kesadaran publik terhadap kebenaran informasi. Kedua, perilaku orang sekarang yang amat mudah meng-klik, like dan share, tanpa terlebih dahulu memastikan kebenarannya. Ketiga, semakin membludaknya informasi, tak terbendung, dari segala sumber.
Jika kurang waspada, publik bisa termakan isu bohong. Saat isu bohong telah tersebar di medsos, aplikasi “obrolan”, situs/laman, televisi, media cetak, surat elektronik dan radio, kekacauan bisa merebak. Karena itu, diperlukan kewaspadaan ekstra. Era pasca-kebenaran membutuhkan kewaspadaan dan rasionalitas agar terhindar dari kebohongan dan adu domba.
Keburukan Hoaks
Terdapat beberapa penyebab munculnya hoaks. Pertama, tujuan menghalalkan segala cara. Bagi orang tidak bermoral, cara apa pun bisa digunakan asalkan menghasilkan keuntungan. Kedua, lemahnya UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Lemahnya UU menjadi celah perbuatan jahat melancarkan berita bohong, fitnah, mengadu domba. Ketiga, lemahnya penegakan hukum. Kurang tegasnya tindakan terhadap berita-berita hoaks membuat orang tak bermoral dengan ringan melancarkan berita bohong, fitnah, adu domba.
Hoaks kian mudah menyebar karena atmosfer yang mendukung. Atmosfer sekarang adalah era di mana informasi terdesentralisasi ke setiap individu, suatu era yang penuh informasi sesat, bohong, fitnah, dan penghinaan. Dalam politik, setiap pihak berpotensi memproduksi ujaran kebencian, saling nyinyir, dan saling serang.
Ujungnya, rakyat jadi korban penghasutan, adu domba, ujaran kebencian, terpecah-belah dalam permusuhan. Rakyat terbelah akibat perilaku diskriminatif berkaitan dengan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Jika dibiarkan, kecenderungan ini bisa memunculkan konflik antarindividu dan kelompok. Bangsa bisa terbelah.
Apa saja kepentingan di balik hoaks? Yang paling sering adalah kepentingan politik. Isu PKI, utang luar negeri, impor, dan kesenjangan pembangunan adalah contoh hoaks dengan latar belakang politik tersebut.
Selain kepentingan politik, hoaks juga bisa muncul akibat kepentingan lain seperti kepentingan dagang dan kepentingan mengambil keuntungan dengan mengadu domba masyarakat. Isu yang diembuskan tentang bangkrutnya suatu bank, misalnya, adalah isu berlatar belakang persaingan bisnis. Dengan isu tersebut bisa terjadi rush dan bank yang diisukan tersebut bisa benar-benar bangkrut.
Untuk menghambat penyebaran hoaks, jadikan media sosial sebagai media penyebaran ide positif. Pertama, berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak. Jangan mudah membagikan suatu berita yang diterima. Kedua, cek sumbernya, apakah berita tersebut berasal dari sumber tepercaya. Ketiga, bersikaplah santun di media sosial. Jangan mudah emosional dalam bermedsos. Dalam bermedsos, harus penuh kebijaksanaan, kedermawanan, kerendahhatian, penghargaan, dan simpati serta empati. Keempat, bersikap untuk selalu menghindari konflik.
Sikap-sikap positif tersebut akan menghindarkan diri dari turut serta sebagai pelaku hoaks. Sikap positif tersebut juga akan menjadi penghambat tersebarnya hoaks.
Sikap-sikap positif ini, jika menjadi perilaku umum, akan dengan sendirinya menghilangkan atau setidaknya, meminimalisir berita bohong, fitnah, dan adu domba. Harapannya, ruang publik republik menjelang Pemilu 2019 menjadi ruang publik yang bersih dari perilaku hoaks sehingga wacana pemilu serentak menjadi wacana yang memunculkan kebaikan umum.
Tulisan ini telah dipublikasikan di harian Kompas, Senin, 7 Januari 2019.