Ketepercayaan KPU

Arif Susanto, Analis Politik Exposit Strategic

1064
Ilustrasi/dalbycpa.com

Kini, KPU dibebani tugas berat untuk menyelenggarakan pilkada serentak dalam situasi serba darurat. Muskil rasanya untuk dapat menyelenggarakan perhelatan politik itu secara bagus tanpa modal ketepercayaan.

Komisi Pemilihan Umum sedang sakit dan gejalanya tampak dari merosotnya integritas dan profesionalitas mereka, sebagaimana tecermin pula lewat putusan terkini Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum.

Ketepercayaan yang berkelindan dengan pertanggungjawaban publik kelembagaan digerus oleh kecenderungan partisan sebagian komisioner. Penyembuhan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengandaikan pemulihan independensi kelembagaan yang bersandar pada kemampuan teknis dan kredibilitas etis dari para komisioner.

 

Jujur dan andal

Ketepercayaan, menurut Katherine Hawley (dalam Faulkner dan Simpson, eds, 2017), merupakan lokus utama evaluasi moral. Seseorang atau suatu badan yang tepercaya tidak hanya berlaku jujur, tetapi juga dapat diandalkan.

Tidak setiap yang jujur dapat diandalkan dan tidak setiap yang andal pasti jujur. Sifat tepercaya melingkupi keduanya. Dalam kehidupan publik, kita bergantung sedikit atau banyak kepada negara. Negara yang mampu memberi jaminan terselenggaranya hak-hak kewarganegaraan adalah negara yang tepercaya.

Ketepercayaan itu membutuhkan kecakapan teknis yang membuatnya andal; ia sekaligus memerlukan pula komitmen etis yang membuatnya dapat dipercaya. Pencederaan ketepercayaan inilah yang sedang menggerogoti kredibilitas KPU akibat pelanggaran etika oleh para komisioner.

Dalam enam bulan terakhir, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) pada tiga sidang kasus berlainan menjatuhkan sanksi peringatan hingga pemberhentian komisioner KPU. Pada 16 Januari lalu, DKPP memberhentikan anggota KPU, Wahyu Setiawan, atas aduan ketua dan anggota Bawaslu RI karena dia menyalahgunakan kewenangan dan bersikap partisan.

Sebelumnya, Wahyu ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena sangkaan menerima suap terkait penetapan anggota DPR terpilih periode 2019-2024.

Ketika pengganti Wahyu belum ditetapkan, pada 18 Maret 2020 DKPP memberhentikan Evi Ginting yang mengintervensi penetapan hasil perolehan suara dan penetapan calon terpilih anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat. Anggota lain KPU, Arief Budiman, Pramono Tanthowi, Ilham Saputra, Viryan, dan Hasyim Asy’ari diberi peringatan keras terakhir.

Buruknya integritas dan profesionalitas KPU tampak bertahan. Sebanyak 2,3 juta data pemilih dicuri dari server KPU tanpa penjelasan memadai. Belum cukup, pada 24 Juni 2020, DKPP kembali menjatuhkan sanksi peringatan kepada Arief Budiman, Pramono Tanthowi, Ilham Saputra, dan Viryan terkait penggantian calon terpilih anggota DPRD Provinsi Sulsel.

Sejumlah putusan DKPP di atas membebankan pertanyaan besar, apakah KPU sungguh ”bebas dari pengaruh pihak mana pun berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya” sebagaimana amanat UU Pemilu? Lebih daripada kapasitas teknis, jawaban atas pertanyaan tersebut membutuhkan suatu kredibilitas etis para komisioner tersisa.

Pertanyaan tersebut juga terasa penting sekaligus relevan karena KPU tidak sekadar mengelola administrasi pemilu; lebih daripada itu, kinerja KPU turut menentukan legitimasi hasil pemilu dan selanjutnya kualitas demokrasi nasional. Pelanggaran kode etik oleh komisioner KPU terang berkontribusi mencederai kepercayaan pada institusi demokrasi.

 

Sikap partisan

Independensi KPU, merujuk UU Pemilu, adalah hal yang tidak bisa ditawar. Prinsip mandiri dan tidak memihak tersebut memastikan KPU bebas dari intervensi dan tidak menjadi subordinat kepentingan-kepentingan politik parsial. Hal ini kiranya memberi jaminan bahwa proses pemilu berlangsung adil dan berintegritas sehingga hasilnya absah dan berterima.

Jaminan pemilu adil dan berintegritas sepatutnya menjadi kepentingan setiap pihak. Di sini dituntut sikap kesalingan, yang membuat prinsip tersebut tidak akan berjalan baik manakala sebagian pihak mengingkarinya. Selain memberi tingkat kepastian lebih baik, hal serupa juga memberi insentif bagi suatu deliberasi dengan keterlibatan kritis dan intens publik pemilih.

Kesalingan turut menopang ketepercayaan. Russell Hardin (2002) menafsir ketepercayaan sebagai pelingkupan kepentingan. Saya percaya Anda karena kepentingan Anda melingkupi kepentingan saya; ini menjadikan pemeliharaan kepercayaan saya jadi kepentingan Anda. Artinya, pihak yang dipercaya berkepentingan pula untuk menjaga keandalannya.

Absennya kepercayaan silang menjelaskan lemahnya integritas pemilu. Mengonstruksi pemilu dalam makna tunggalnya sebagai arena kompetisi, sebagian politikus mengorbankan segalanya demi kemenangan sendiri. Selain mempersempit ruang dialog, hal ini menjadikan kecurangan sebagai cara singkat untuk memperoleh kekuasaan minus kredibilitas etis.

Pada lain sisi, hampir setiap periode KPU dibekap skandal, yang memusat pada korupsi pengadaan dan pemihakan politik. Dengan UU Pemilu yang selalu berubah, KPU juga sulit memenuhi tuntutan kerja efisien dan efektif.

Puncaknya, KPU praktis gagal menetapkan patokan minimum suatu pemilu berkualitas dan menjamin peningkatannya secara periodik. Di antara hal pokok yang menjerembabkan integritas dan profesionalitas KPU adalah, tiada lain, kecenderungan sikap partisan.

Kesalingan sebagai penopang ketepercayaan dikesampingkan di sini sehingga putusan KPU tak dapat diandalkan oleh publik. Kekuasaan yang besar, sedemikian rupa, memerosokkan KPU dalam suatu permainan yang tak fair.

Kini, KPU dibebani tugas berat untuk menyelenggarakan pilkada serentak dalam situasi serba darurat. Muskil rasanya untuk dapat menyelenggarakan perhelatan politik itu secara bagus tanpa modal ketepercayaan. Pemulihan integritas dan profesionalitas menjadi langkah besar penyembuhan KPU agar terwujud slogan pemilih berdaulat dan negara kuat.

Tulisan ini pernah dipublikasikan di harian Kompas, 6 Juli 2020.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.