Tantangan Transformasi Pilkada

Arif Susanto, Analis Politik Exposit Strategic

974
Ilustrasi.

Tahapan pelaksanaan pilkada serentak 2020 di 270 daerah berlanjut dengan tambahan protokol kesehatan. Berikutnya, fokus perlu diarahkan untuk mengatasi potensi praktik kotor politik, yang berkemungkinan menghambatlaju demokratisasi. Bukan menjadi alasan menurunnya kualitas pilkada,kondisi terkini dapat dijadikan momentum untuk mendorong transformasi politik.

Politik kotor

Mencermati proses politik pada pilkada terdahulu, terdapat tiga potensi praktik kotor politik yang perlu diantisipasi. Ketiganya, yaitu politik uang, politik kebencian, dan politik dinasti. Tanpa antisipasi memadai, praktik-praktik kotor itu berkemungkinan mencuat ketika fokus banyak pihak lebih tertuju pada aspek keamanan dan aspek kesehatan pilkada serentak 2020.

Politik uang merupakan penyakit kambuhan dalam pilkada yang sulit diberantas, bahkan ketika kejahatan itu teridentifikasi. Pada pilkada serentak 2017, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menemukan 600 dugaan politik uang.

Namun, pada pilkada serentak 2018 terdapat hanya 35 kasus yang ditindaklanjuti, tidak mampu menyentuh para kandidat. Kita menunggu seberapa efektif kerja sama Bawaslu dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada pilkada serentak 2020.

Demikian pula halnya kinerja Satgas Antipolitik Uang yang diinisiasi bersama oleh KPK dan Polri. Selain soal penegakan hukum, politik uang akan menjadi ancaman berkelanjutan di tengah buruknya komunikasi politik dan pelembagaan politik.

Ancaman daya rusak politik uang bersisian dengan peluang pembelahan sosial terdampak politik kebencian berbasis identitas. Seusai Pilkada Jakarta 2017 menjadi laboratorium politik kebencian, praktik serupa menggejala pada pilkada serentak 2018 dengan skala berlainan. Lebih daripada itu, politik kebencian sempat pula mengharu biru masa kampanye Pemilu Nasional 2019.

Tidak efektif sebagai instrumen pemenangan, dampak politik kebencian mempertajam polarisasi sosial. Banyak parpol bersikap ambigu terhadap politik kebencian; mengecamnya ketika mereka dirugikan. Namun, justru menjadi pelakunya saat strategi ini dianggap menguntungkan.

Adalah tanggung jawab bersama agar kontestasi elektoral tidak disabotase kerawanan sosial. Potensi politik kotor ketiga adalah praktik politik dinasti, yang memupuk dominasi di antara kerabat para calon kepala daerah. Pada pilkada serentak 2017, tercatat 12 nama kandidat dari 11 daerah memiliki hubungan kekerabatan dengan tokoh politik lokal berpengaruh.

Pada 2018, gelaran pilkada di sedikitnya tujuh provinsi diwarnai kentalnya kekerabatan politik para calon. Bersama lemahnya kontrol publik, kombinasi kuatnya oligarki dan ketertutupan rekrutmen politik membuka peluang berkembangnya dinasti politik. Penguatan dominasi semacam itu rentan terperosok korupsi politik, seperti terjadi di Banten atau Sulawesi Tenggara. Berlawanan dengan prinsip meritokrasi, tidak keliru jika ini dikategorikan sebagai praktik kotor politik.

Momen perubahan

Pilkada serentak 2020 merupakan batu uji transformasi demokrasi Indonesia. Dari sisi teknis, tantangan penyelenggaraan bertambah dengan sebaran pandemi covid-19. Dari sisi lebih substansial, praktik kotor politik dapat saja turut memanfaatkan kondisi darurat kesehatan. Kedua bentuk tantangan menuntut kesiagaan seluruh pihak yang terlibat setiap tahapan pilkada.

Menyangkut tantangan teknis prosedural, Indonesia bisa belajar dari keberhasilan atau kegagalan beberapa negara yang telah menyelenggarakan pemilu/pilkada di tengah pandemi covid-19. Pemenuhan protokol kesehatan harus menjadi bagian lekat standar pelaksanaan berbagai tahapan, dan semua pihak berkewajiban untuk menjaga diri serta lingkungan mereka.

Penanganan pandemi covid-19 bahkan dapat menjadi suatu isu politik di daerah-daerah tempat penyelenggaraan pilkada. Para petahana dapat menunjukkan keberhasilan mereka, sedangkan para penantang dapat mengeksploitasi kekurangan petahana. Harapannya, pilkada akan lebih banyak diisi adu program untuk mementaskan keunggulan para calon di hadapan publik pemilih.

Menyangkut hal-hal lebih substansial, kualitas demokrasi turut bergantung pada komitmen para pelaku politik untuk berpegang pada berderet norma politik terkait dengan tindakan mereka. Setelah sejumlah eksperimen politik sejak 1999, demokrasi nasional belum kunjung terkonsolidasi, dan salah satu penghambatnya terletak pada praktik kotor kontestasi elektoral.

Parpol juga perlu mengembangkan budaya politik lebih sehat, antara lain dengan mengurangi sentralisme kuasa dan mengembangkan komunikasi publik intens. Tanpa keduanya, berhadapan dengan kontestasi elektoral, parpol terus bergantung perbuhulan culas makelar politik dalam proses rekrutmen kandidat hingga pendulangan suara pemilih.

Ketepercayaan institusional penyelenggara pilkada menjadi kebutuhan berikutnya. Sementara itu, independensi penyelenggara tidak mungkin ditawar, integritas dan profesionalitas kelembagaan disumbang kemampuan mereka untuk menjaga pemenuhan prosedur pemilihan. Hal ini menjadi bagian penentu keabsahan sekaligus keberterimaan hasil suatu pilkada yang bebas dan adil.

Tidak kurang, kita membutuhkan integritas serupa dari para penegak hukum baik dalam konteks pencegahan maupun penindakan pidana pilkada. Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang melibatkan Bawaslu, Polri, dan kejaksaan tidak boleh tunduk pada tekanan politik. Selain itu, pelibatan institusi seperti PPATK dan KPK diharapkan dapat efektif menekan politik uang.

Terakhir, peran media massa dan organisasi nonpemerintah dapat dipadukan dengan lembaga pendidikan. Selain terlibat dalam pengembangan diskursus politik, mereka dapat meningkatkan peran dalam pendidikan politik bagi publik pemilih. Dengan segenap langkah perbaikan tersebut, pilkada serentak 2020 kiranya memberi sumbangan besar bagi transformasi politik Indonesia.

Tulisan ini telah dipublikasikan di harian Media Indonesia, 15 Juli 2020.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.