Kembali ke Natal seperti memasuki ruang liminal menuju kelahiran kembali. Istilah liminal berasal dari kata limen, yang berarti ‘ambang batas’ atau ‘ruang antara’. Dalam studi-studi antropologi, istilah itu dimunculkan Arnold van Gennep (1960) merujuk ritus-ritus transisi antara ritus-ritus perpisahan dari dunia lama dan upacara-upacara penasbihan memasuki dunia baru.
Ruang liminal memberi kesempatan jeda, menyediakan momen reflektif dari mana kita bermula, di mana kita sekarang, dan hendak ke mana. Dengan melewati prosesi refleksi diri ini, manusia diharapkan kembali ke titik awal kehidupan: terlahir ke dunia sebagai buah cinta kasih, yang diharapkan dapat menumbuhkembangkan cinta kasih.
Peringatan Natal seperti hadiah untuk menyehatkan kembali kehidupan, yang secara simbolik dirayakan dengan berbagi hadiah. “Natal tidaklah menjadi Natal tanpa sesuatu hadiah,” tulis novelis Louisa May Alcott. Dan tiada hadiah yang lebih berharga daripada cinta. Ia adalah obat bagi yang sakit, lilin bagi kegelapan, harapan bagi kebuntuan.
Cinta memperoleh pemenuhannya bukan pada apa yang bisa ia dapatkan, melainkan pada apa yang bisa ia berikan. Mencintai sesuatu berarti menginginkannya hidup. “Apa yang kuharap dari anakku, sudahkah kuberikan teladan baginya. Apa yang kuharap dari rakyatku, sudahkah kupenuhi harapan mereka,” ujar Lao Tzu.
Ujian cinta dibuktikan oleh pengorbanan, seperti Yesus yang siap mengorbankan diri demi keselamatan warga bumi. Setiap Natal, saatnya mengisi baterai cinta, dengan menghidupkan jiwa pengorbanan, demi kebaikan dan kesuburan negeri tercinta. “Cintailah satu sama lain,” ujar Yesus dalam Perjanjian Baru (John 13: 34). Nabi Muhammad menggemakan anjuran ini dengan bersabda, “Engkau akan melihat orang beriman dalam perangai belas kasih, saling mencintai, serta berbagi kebaikan satu sama lain.”
Peringatan Natal adalah momen pengingat bahwa jalan spiritualitas-keagamaan itu adalah jalan cinta kasih menuju mata air kebahagiaan. Agama dimulai saat pemeluk agama melihat orang di tepi jurang, lantas ia tarik-selamatkan tanpa mempertanyakan apa agamanya. Agama dihayati saat pemeluk agama menikmati warna-warni perbedaan untuk saling mengarifkan dalam berlomba menumbuhkan kebajikan. Agama ditinggikan saat pemeluk agama menghargai orang sujud di masjid, berlutut di gereja dan wihara, serta bersimpuh di sinagoga.
Apabila para pemeluk agama dapat menyibakkan ranting-ranting kecil dari tiap-tiap agama untuk dapat menjangkau batang pohon yang tegak lurus menjulang ke langit, mereka akan dipersatukan dengan semua pemeluk agama. Dipersatukan dalam akar tunjang yang menghunjam ke bumi kehidupan yang sama dan menjunjung keluhuran langit spiritualitas yang sama.
Semua pemeluk agama ingin bahagia, tetapi tak semua orang memahami cara memenuhinya. Ada yang mengejar dengan memenuhi kesenangan gairah konsumsi dan gaya hidup. Memburu makanan lezat hingga ufuk horizon. Merasakan segala minuman hingga paling memabukkan. Melampiaskan hasrat birahi. Menjajal segala model penampilan hingga reparasi paras. Menimbun harta tanpa batas. Ada orang memburu bahagia dengan memenuhi hasrat kuasa. Ambisi terus berkobar mengejar jabatan. Syahwat kuasa tak kenal usia senja. Apakah dengan itu puncak kebahagiaan insani bisa diraih?
Apabila mimpi bahagia bisa dicapai dengan memenuhi hasrat konsumsi dan kuasa, hewan di rimba raya pun sanggup mengejarnya. Ketahuilah bahwa manusia dengan hewan tertentu memang memiliki kemiripan. Kromosom manusia dan simpanse sekitar 98 persen identik. Dengan otak mamalia purba, manusia bisa bak binatang: tega membunuh sesamanya apabila kekasih atau makanannya direbut. Seperti hewan, manusia juga cenderung berkumpul dengan mereka yang warna kulitnya sama. Tetapi, sadarilah, manusia masih memiliki neokorteks yang tak dipunyai binatang. Dengan itu, manusia bisa mengembangkan etika, estetika, spiritualitas, dan ilmu pengetahuan. Dengan itu pula manusia bisa mengaktualisasikan diri demi kebahagiaan.
Kebahagiaan tertinggi itu terletak pada kesanggupan untuk memberi dan meraih makna hidup. Tidak cukup makan sendiri, tetapi merasa lebih bermakna apabila bisa berbagi makanan kepada sesama. Tidak cukup meraih hasrat kuasa, tetapi merasa lebih bermakna apabila bisa melayani harapan banyak orang. Kebahagiaan tertinggi itu teraih manakala kita bisa menjadi lebih besar dari diri sendiri; terhubung dengan realitas kehidupan, menciptakan kehidupan yang lebih bermakna bagi kebahagiaan hidup bersama.
Demi menumbuhkan kepekaan bela rasa, cobalah sesekali tengok daerah aliran sungai yang tak lagi berair? Aliran perasaan manusia pun bisa mengering. Air mata tak bisa lagi merembes-menetes menjadi sungai kehidupan. Jika hati terasa tandus, pertanda kurang siram keharuan. Basahi rongga hati dengan menampung tetes tangis duka-lara. Hidup steril di zona nyaman bisa menumpulkan kepekaan pada kemarau kehidupan. Rasakan getar keroncong perut kosong, kita akan mengerti perih rintih kelaparan. Sambungkan hati pada isak-tangis kepiluan, kita akan memahami arti perhatian kasih sayang.
Seseorang boleh berhasil melewati ambang batas kemiskinan, belum tentu lulus menghadapi ambang batas kekayaan. Ujian terberat adalah menahan diri dari godaan menimbun harta kelewat batas. Manusia perlu sifat keugaharian, tahu kapan merasa cukup, agar bisa merawat kepekaan bela rasa, berbagi rezeki. Ketamakan mengeringkan air mata, seperti kemarau yang menerikkan langit tanpa hujan. Hidup tanpa tetes tangis keharuan ibarat padang rumput tanpa guyuran hujan.
Dengan menghikmati Natal, semoga rerumputan hati yang kering kembali mendapatkan siraman kasih sayang demi kelahiran musim semi kebahagiaan!
Tulisan ini pernah dipublikasikan di harian umum Kompas, 19 Desember 2017.