Saudaraku, harmoni dalam kemajemukan adalah kode genetik bangsa ini. Modal unggulan Indonesia yang bisa dibanggakan pada dunia. Teladan luhur di tengah pergaulan antarbangsa.
Berbilang bangsa dalam zona keseragaman terguncang hadapi globalisasi keragaman. Bahkan bangsa maju kembali mengeja multikulturalisme secara tergagap. Tak sedikit gagal, berujung populisme dengan supremasi tribalisme antiasing, antiperbedaan.
Beruntung, Indonesia telah banyak makan asam garam. Bangsa maritim, di tengah persilangan arus manusia dan peradaban dunia, terbiasa menerima perbedaan.
Jauh sebelum merdeka, para pemuda lintas etnis dan agama sudah menemukan nama “Indonesia” sebagai penyebut bersama, yang dapat menyatukan keragaman bangsa. Saat dasar negara dan konstitusi Indonesia dirumuskan, keragaman agama, etnis, gender, profesi dan wilayah terwakili, menghadirkan negara semua buat semua.
Di negeri kepulauan sepanjang rangkaian cincin api, memang bisa diterjang letusan gunung dan badai tsunami. Kedamaian di sepanjang untaian zamrud khatulistiwa sesekali bisa dilanda konflik dan pertikaian. Namun letusan gunung tak berarti mengakhiri kehidupan. Muntahan abu volkanik bisa jadi pupuk yang menyuburkan kehidupan.
Apa yg melukai bangsa ini bisa merahmatinya. Dalam pedih pertikaian, warga disadarkan arti penting merawat persatuan dalam perbedaan dengan berbagi kesejahteraan. Kegelapan menyediakan kunang-kunang penuntun perjalanan bangsa.
Seperti kata Jalaluddin Rumi: “Kesedihan menyiapkanmu untuk kegembiraan. Dia menyapu bersih semuanya dari rumahmu, sehingga kegembiraan baru dapat memasuki ruang. Dia menggugurkan dedaunan yang menguning dari dahan hatimu, agar dedaunan hijau dan segar dapat tumbuh di tempatnya. Dia mencerabut akar yang busuk, agar akar baru yang tersembunyi di baliknya punya ruang untuk tumbuh. Kesedihan apa pun yang luruh dari hatimu, hal-hal yang jauh lebih baik akan mengambil alih tempatnya.”