Saudaraku, keadilan tidak dapat dipertukarkan dengan persatuan. Kita tidak bisa memperjuangkan keadilan dengan mengorbankan persatuan; sebaliknya, tak bisa memperjuangkan persatuan dengan mengorbankan keadilan. Keduanya ibarat sepasang sayap yang harus bergerak serempak.
Dalam Pancasila, sila kerakyatan didahului oleh sila persatuan, dan diakhiri dengan sila keadilan.
Pada sayap pertama, demokrasi Indonesia mensyaratkan adanya persatuan dan menghasilkan penguatan persatuan.
Pada sayap kedua, demokrasi yang dijalankan harus dapat mewujudkan keadilan sosial; dan keadilan sosial diharapkan dapat memperkuat demokrasi.
Dalam pokok pikiran pertama Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa perwujudan negara yang dikehendaki ialah “Negara—begitu bunyinya—yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan, dengan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Dalam demokrasi Pancasila, kebebasan kehilangan makna substantifnya sejauh tidak dapat mendekati perwujudan “negara persatuan” (negara yang bisa mengatasi paham perseorangan dan golongan) serta “negara keadilan” yang dapat mewujudkan kesejahteraan umum (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).
Maka, setiap kali konflik sosial meruncing, setiap kali itu juga kita diingatkan untuk merestorasi retakan-retakan pada sepasang sayap keindonesiaan: persatuan dan keadilan.