Saudaraku, seorang begawan ekonomi AS, Jeffrey Sachs, lewat keahliannya dalam ekonomi klinis mendiagnosis musabab kemunduran AS dan menyimpulkan dalam bukunya, The Price of Civilization (2011). Menurutnya, pada akar tunjang krisis ekonomi AS saat ini terdapat krisis moral: pudarnya kebajikan sipil di kalangan elite politik dan ekonomi.
Suatu masyarakat pasar, hukum, dan pemilu tidaklah memadai bila orang-orang kaya dan berkuasa gagal bertindak dengan penuh hormat, kejujuran, dan belas-kasih terhadap sisa masyarakat lainnya dan terhadap warga dunia. “Tanpa memulihkan etos tanggung jawab sosial, tidak akan pernah ada pemulihan ekonomi yang berarti dan berkelanjutan.”
Krisis moral itu bermula ketika peran negara dilucuti hanya sekadar “penjaga malam”; membiarkan ekonomi dikendalikan mekanisme pasar.
Pasar memang merupakan institusi yang efisien dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi yang mengarah pada tingginya produktivitas dan standar hidup. Namun, efisiensi saja tidak menjamin keadilan.
Keadilan memerlukan peran pemerintah untuk meredistribusikan pendapatan dan kesempatan, terutama dari kaum kaya kepada yang miskin. Pasar juga tidak mampu menyediakan “public goods” yang penting, seperti infrastruktur, regulasi lingkungan, pendidikan, riset dan pengembangan, yang kebutuhan pasokannya secara memadai memerlukan peran pemerintah. Ekonomi pasar juga rentan terhadap instabilitas finansial, yang hanya bisa diatasi oleh kebijakan pemerintah.
Dengan menjadikan negara sebagai pelayan pasar, neoliberalisme memberi terlalu banyak pada kebebasan individu, melupakan bahwa individualisme yang bersifat predator juga bisa membawa sumber penindasan dan ketidakadilannya tersendiri. Penekanan yang terlalu berlebihan pada daulat pasar menimbulkan apa yang disebut ekonom Joseph Stiglitz “inkompetensi dari pihak pengambil keputusan serta merangsang ketidakjujuran dari pihak institusi finansial.”
Untuk keluar dari krisis ekonomi-politik, Sachs merekomendasikan perlunya meninggalkan kecenderungan fundamentalisme pasar dengan memulihkan kembali peran negara yang berjejak pada nilai kebajikan sipil (civic virtues). Bagi Indonesia, jalan kemaslahatan itu berarti jalan kembali ke prinsip nilai Pancasila.