Yudi Latif, Ph.D menjadi narasumber bedah buku di UIN Mataram. (Dok. PSIK Indonesia)

Warisan terbaik para pendiri bangsa adalah politik harapan. Kendati perkembangan bangsa masih memperlihatkan banyak kekurangan, kita tak boleh kehilangan optimisme. Namun, optimisme yang berkobar bersifat realistis.

Setelah 77 tahun Indonesia merdeka, cara pandang seperti apa yang tepat untuk menilai pencapaian dan prospeknya?

Jika kita memimpikan Indonesia jaya di muka bumi, tolok ukur prediktifnya bisa berangkat dari asumsi Ray Dalio dalam Principles for Dealing with the Changing World Order (2021). Lewat pengkajian terhadap kenaikan dan kejatuhan sejumlah kekuatan adidaya (kekaisaran dan dinasti besar) di masa lalu, ia simpulkan bahwa rentang daur hidupnya, mulai dari masa formasi, konsolidasi, hingga puncak kejayaannya (sekaligus awal kejatuhannya), berlangsung sekitar 250 tahun.

Proses waktu yang dibutuhkan untuk menjadi kekuatan adidaya di masa lalu bisa berlangsung ratusan tahun. Ambil contoh pencapaian AS. Setelah meraih kemerdekaan pada 1776, dalam tempo hampir satu abad kemudian, AS masih dirundung persoalan integrasi nasional yang memuncak dalam perang sipil (1861-1865). Baru pada abad berikutnya, AS bisa lepas landas secara perlahan meraih status negara adidaya. Namun, berkat perkembangan globalisasi berbasis teknologi baru yang mempermudah transfer pengetahuan dan pengalaman antarbangsa, beberapa negara, seperti China, bisa segera mencapai status adidaya hanya dalam puluhan tahun.

Dibandingkan trajektori AS, laju pencapaian Indonesia sejauh ini tidaklah buruk. Untuk negara kepulauan terbesar di dunia dengan segala keberagaman dan kompleksitas kehidupan bangsanya bisa dengan cepat merajut integrasi nasional tanpa perang sipil yang masif dan menghancurkan adalah pencapaian yang membanggakan. Namun, dibandingkan China yang baru berdiri 1949, pencapaian Indonesia terasa jauh tertinggal.

Kendati demikian, kita tak bisa begitu saja membandingkan kecepatan kemajuan bangsa sendiri dengan bangsa lain mengingat perbedaan titik keberangkatan yang berkaitan dengan latar kesejarahan, faktor sosial-budaya, kondisi lingkungan, dan potensi sumber daya yang dimiliki. Yang lebih penting, apakah Indonesia memiliki prasyarat menjadi negara jaya? Untuk itu, kita harus memperhatikan formula sukses meraih kejayaan bangsa yang berlaku universal.

Pembangunan mental-kultural

Pertama, perlu kepemimpinan kuat dan cakap yang memperhatikan pembangunan kualitas manusia, dalam rangka menghadirkan warga negara unggul yang berkapabilitas tinggi dan berfungsi efektif, dengan pendidikan sebagai wahana utama. Berdasarkan pengalaman lintas negara, kualitas pendidikan merupakan paspor menuju kejayaan.

Pendidikan baik tidak hanya mengajarkan pengetahuan dan keterampilan, tapi juga karakter kuat, keadaban, dan etika kerja, yang dikembangkan di lingkungan sekolah, keluarga, komunitas.

Dengan begitu, pendidikan bisa menciptakan penghormatan yang sehat terhadap hukum dan peraturan, ketertiban di masyarakat, yang mengarah pada rendahnya korupsi, kesediaan bekerja sama dalam keberagaman untuk meningkatkan produktivitas. Suasana ini bisa mendorong perubahan dari usaha menghasilkan produk dasar menuju ekonomi berbasis inovasi dan teknologi.

Pendidikan sebagai basis kejayaan harus bisa menumbuhkan keistimewaan dalam mengetahui (pengetahuan), membuat (keterampilan), dan berbuat (karakter). Pendidikan di Indonesia sejauh ini terlalu menekankan pada pembelajaran kognitif. Pada aspek itu pun, kalau dilihat dari taksonomi Benjamin S Bloom, praktik pembelajaran umumnya masih berkutat pada level paling rendah: ”menghafal” (remembering); masih jauh menuju level tertinggi, ”mencipta” (creating). Tak heran, kapasitas kognitif bangsa, tecermin dari tingkat literasi, numerasi, dan pemecahan masalah, terpuruk ke level terendah, bahkan dibandingkan negara-negara jiran.

Pada aspek kemampuan membuat secara inovatif, bangsa ini pun tertinggal jauh, terlihat dari indikator yang berkaitan dengan tingkat keinovasian dan usaha memajukan sumber daya (perekonomian) berbasis pengetahuan. Dari skor 0-10, nilai Indonesia menurun secara gradual dari 3,68 pada 1995 menjadi 3,11 pada 2012. Peringkat Indonesia pada saat ini pun masih di urutan ke-100-an dari 147 negara.

Pada aspek keunggulan berbuat (karakter), Indonesia masih beruntung mewarisi sisa-sisa modal sosial yang kuat. Sebuah bangsa multikultural yang dipersatukan dengan nilai-nilai Pancasila dengan sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Dalam perkembangan terkini, kemampuan civic competence pun mulai menunjukkan tren peluluhan. Indikasinya, Indeks Demokrasi Indonesia sejak 2017 menunjukkan gerak mundur pada variabel yang terkait dengan kohesi sosial.

Tantangan terbesar dalam menumbuhkan civic competence bagi bangsa majemuk adalah kemampuan menghargai pluralitas disertai kesanggupan menemukan persamaan dan bekerja sama dalam berbedaan. Alhasil, apa yang harus dirawat di sini adalah ambang sehat schismogenesis dalam pengertian antropolog Gregory Bateson, yakni semacam tendensi untuk mendefinisikan diri (golongan sendiri) dengan melihat sisi perbedaannya dengan yang lain.

Hingga taraf tertentu, schismogenesis diperlukan sebagai sumber penemuan konsep diri dan keistimewaan diri sebagai sumber kebanggaan dan kompetisi sehat dengan yang lain. Korea, misalnya, mendefinisikan dirinya berbeda dengan Jepang—bangga dengan ginseng dan kekhasan budayanya sendiri, sekaligus menjadikan Jepang arch-mimetic (model tiruan) yang harus ditandingi.

Bahkan, Bateson menyimpulkan, jika ada yang disebut ”karakter bangsa”, itu tak lain produk dari schismogenesis: karakter bangsa Inggris terbentuk karena sebisa mungkin harus berbeda dengan Perancis; Perancis beda dengan Jerman, dan seterusnya. Antropolog Marcel Mauss, dalam penjelasannya tentang pembentukan ”wilayah budaya” menyimpulkan, keberagaman masyarakat pada umumnya memiliki banyak kesamaan budaya dengan saling meminjam elemen budaya, tetapi cenderung mendefinisikan dirinya dengan menekankan sisi perbedaannya.

Kecenderungan seperti itu bisa berlaku baik dalam relasi eksternal (antarbangsa) maupun internal antarelemen kemajemukan bangsa. Alhasil, wajar kalau antarsuku, antargolongan, antaragama, bahkan antardenominasi dalam setiap agama, dalam keluarga besar bangsa Indonesia, masih memelihara perbedaan identitas. Sejauh persepsi perbedaan itu masih dalam ambang tertib sipil dengan tetap menghargai eksistensi identitas lain sebagai sumber penemuan diri dan pemacuan prestasi.

Bahkan, politik identitas tak selamanya buruk, sejauh proyek emansipasinya sehat, seperti diekspresikan oleh gerakan pemberdayaan perempuan (feminist movement), gerakan identitas hijau (green movement), dan berbagai gerakan identitas marjinal lainnya.

Persoalannya, tendensi schismogenesis dalam kehidupan bangsa saat ini mengindikasikan kecenderungan melewati ambang batas, menuju polarisasi yang saling menegasikan (mutual mistrust). Dengan tendensi seperti itu, politik identitas yang berkembang tak terlihat proyek emansipasinya. Tendensinya justru tergelincir jadi politik diskri- minatif; tak menghadang sumber-sumber pemarjinalan yang disebabkan dominasi oligarki predatoris, tapi justru mengorbankan warga tak ”berdosa”.

Melemahnya daya literasi, empati, dan etika sosial membuat bangsa ini cenderung mengalami pelemahan actuarial intelligence dalam pengertian antropolog Christopher Boehm, yakni semacam kemampuan refleksi kesadaran untuk menakar apa kira-kira konsekuensi yang ditimbulkan bagi diri (golongan sendiri) dan orang (golongan) lain jika perseorangan (kelompok) melakukan atau tidak melakukan apa pun.

Kita juga melakukan banyak perubahan konstitusi, kerangka regulasi, kebijakan dan desain kelembagaan dengan defisit rasionalitas dan pertimbangan jangka panjang, yang bisa menimbulkan retakan sosial dan ketersandungan bangsa di banyak domain.

Institusional-politikal

Ranah kelembagaan sosial-politik dan tata kelola pemerintahan adalah enabler bagi pembangunan mental-kultural dan ekonomi-kesejahteraan. Tak ada negara yang bangkut hanya kurang adidaya atau sumber daya. Negara gagal itu umumnya karena salah urus.

Tata kelola negara, sebagai rumah bersama, memerlukan keseimbangan peran negara, pasar, dan komunitas. Raghuram Rajan mengingatkan (2019), terlalu lemah negara, kehidupan bangsa jadi penuh ketakutan, anarkisme, dan apatisme. Terlalu lemah pasar, bangsa jadi tak produktif. Terlalu lemah komunitas, bangsa mengarah pada oligarki (crony capitalism). Sebaliknya, terlalu kuat negara, kehidupan bangsa terbelenggu otoritarianisme. Terlalu kuat pasar, bangsa jadi tak berkeadilan. Terlalu kuat komunitas, bangsa jadi statis.

Ketiga pilar itu bisa bekerja sama dan mengemban peran sesuai fungsi dan kapasitasnya. Komunitas lebih tepat sebagai gembala nilai (mental-kultural); negara lebih tepat sebagai pengawal tata kelola kelembagaan politik dan pemerintahan; pasar lebih tepat sebagai wahana pemakmur kesejahteraan. Masalah Indonesia hari ini, penjaga komunitas abai memupuk nilai; penyelenggara negara abai memperbaiki tata kelola negara; pasar (dunia usaha) sibuk memperkaya perseorangan dengan menguras sumber daya alam, mengabaikan keadilan dan kemakmuran bangsa.

Negara sebagai pengemban tata kelola pemerintahan dalam mendistribusikan peran dan sumber daya tak berjalan efektif karena pasar terlalu kuat; dengan akumulasi kapital berbasis ekonomi ekstraktif (bukan ekonomi pengetahuan), yang mengandalkan lisensi negara.

Dalam kepentingan pemodal untuk mengendalikan kebijakan negara, berkembang yang disebut Robert Reich supercapitalism, menggambarkan makin menguatnya kompetisi di dunia bisnis memperebutkan peluang usaha dan konsumen yang kemudian merambah dunia politik. Dana politik dalam jumlah besar mengalir dari korporasi dan badan keuangan guna membiayai dan mengarahkan politik dan kebijakan publik untuk kepentingan mereka.

Bahkan para pemodal besar secara langsung menerjemahkan kekuatan finansialnya ke dalam kekuatan politik melalui pendirian parpol. Parpol yang mestinya jadi wahana aspirasi dan aksi kolektif sebagai instrumen kepentingan publik diprivatisasi jadi perusahaan privat. Dengan kata lain, kapitalisme telah menginvasi demokrasi. Krisis demokrasi timbul manakala kepentingan investor cenderung dimenangkan dan ketika nilai dan aspirasi publik tak memiliki sarana efektif untuk mengekspresikan diri.

Tata kelola negara dalam kendali privat itu melumpuhkan visi teleologisnya. Praksis politik terjebak orientasi jangka pendek, sebatas menyongsong ritual pemilihan untuk meraih kekuasaan demi kekuasaan. Padahal, Indonesia tak bisa menghindar dari pengaruh baru berskala global yang berdampak besar bagi kehidupan kebangsaan.

Tren perkembangan global itu antara lain tingginya tingkat otomatisasi, perampingan ”pemerintahan gemuk”, perubahan iklim, penggunaan energi hijau, penyebaran pandemi, dan perluasan kesenjangan sosial. Semua ini mestinya membuat kita harus keluar dari watak politik yang shortism menuju politik visioner, yang lebih antisipatif dan berorientasi jangka panjang.

Ekonomi kesejahteraan

Di bidang ekonomi, trayek menuju kemajuan memerlukan keselarasan antara usaha mengatasi kesenjangan sosial dan peningkatan kemakmuran. Usaha pertama bisa melalui praksis keadilan dalam mendistribusikan harta, kesempatan dan privilese sosial melalui ketepatan instrumen regulasi, redistribusi, afirmatif, dan negara kesejahteraan.

Yang kedua dengan mengangkat derajat Indonesia dari jebakan negara berpenghasilan menengah, melalui transformasi perekonomian secara konsisten dari ”ekonomi ekstraktif” (berbasis sumber daya mentah) menuju ekonomi inovatif (knowledge-based economy).

Arah kebijakan transformasi menuju ekonomi pengetahuan bisa belajar dari bangsa lain, tetapi tidak perlu sama. Kita bisa memberikan prioritas pada pengembangan iptek yang bisa memberi nilai tambah terhadap comparative advantage (kekhasan potensi) Indonesia.

Selain itu, keterkaitan antara aktivitas riset dan dunia usaha juga perlu diperkuat. Perlu disadari, hambatan utama pemacuan riset dan inovasi di Indonesia karena terlalu memusat dan bergantung pada inisiatif serta dorongan negara. Kurang ada terobosan untuk memasyarakatkan hasil riset atau menggairahkan kegiatan riset di jantung pasar dan komunitas. Padahal, riset inovatif itu harus sampai dan sanggup memenuhi kebutuhan pasar dan komunitas.

Warisan terbaik para pendiri bangsa adalah politik harapan. Kendati perkembangan bangsa masih memperlihatkan banyak kekurangan, kita tak boleh kehilangan optimisme. Namun, optimisme yang berkobar hendaklah bersifat realistis, dengan kesediaan mengakui kelemahan seraya berusaha memperbaiki.

Peringatan Hari Kemerdekaan adalah momen terbaik melakukan refleksi diri. ”Semangat Proklamasi,” ujar Bung Karno, ”adalah semangat rela berjoang, berjoang mati-matian dengan penuh idealisme. Semangat proklamasi adalah semangat persatuan, persatuan yang bulat-mutlak dengan tiada mengecualikan sesuatu golongan dan lapisan. Semangat proklamasi adalah semangat membangun negara…. Dan manakala sekarang ada tanda-tanda kelunturan dan degenerasi, kikislah bersih semua kuman kelunturan dan degenerasi itu, hidupkanlah kembali semangat proklamasi!”

*Tulisan ini telah dimuat di harian Kompas, 18 Agustus 2022.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.