Yudi Latif

Saudaraku, ke mana pendulum sejarah kehidupan dunia bergerak pasca-pandemi Covid-19?

Baiklah, pagi ini saya membaca buku Peter Zeihan berjudul The End of the World is just the Beginning (2022). Dikatakan bahwa perkembangan globalisasi dalam beberapa dekade terakhir sebenarnya dipicu oleh kepentingan AS untuk melumpuhkan Uni Soviet selama perang dingin, dengan menjalin aliansi strategis lintas negara.

Untuk itu, AS menawarkan bantuan keamanan, investasi, infrastruktur teknologi, finansial, dan pasar global. Rantai pasok cakupan global dimungkinkan karena proteksi angkatan laut AS. Dolar AS menopang pasar finansial dan internasionalisasi energi. Kompleks-kompleks industri inovatif tumbuh untuk memuaskan konsumen AS. Kebijakan keamanan AS menekan negara-negara bersengketa untuk melucuti senjata. Miliaran orang memperoleh makanan dan pendidikan berkat sistem perdagangan global yang dipimpin AS.

Berkat semua itu, globalisasi merebak dengan membuat segala hal jadi lebih cepat, lebih baik, lebih murah.

Dengan berakhirnya perang dingin, AS kehilangan kepentingannya untuk mempertahankan itu. Kecuali bila AS terlibat perang langsung dengan negara adidaya baru, pendulum sejarah akan berbalik arah menuju de-globalisasi. Tandanya mulai dicanangkan pada era Trump: “America First“. Dan keterisolasian berbagai negara semasa pandemi mempercepat proses ke arah itu.

Di era de-globalisasi, negara dan kawasan tak memiliki pilihan lain kecuali membuat barang sendiri, menanam makanan sendiri, memenuhi energi sendiri, bertempur dengan senjata sendiri, dan mengerjakan semua itu dengan penduduk dan sumber dayanya sendiri.

Indonesia memiliki peluang dan ancaman. Secara demografis, kita beruntung memiliki struktur penduduk bercorak muda; terhindar dari problem negara-negara Eropa dan Asia Timur yang mengalami proses penuaan. Kita juga memiliki keanekaragaman sumber daya sebagai sumber rantai pasok bagi industri sendiri.

Ancaman terbesar yang kita hadapi adalah rendahnya human capital. Bila kita gagal membangun kualitas hidup dan kapabilitas manusia, maka di negeri yang kaya potensi sumber daya ini, kelimpahan penduduk muda tidak akan menjadi bonus demografi, melainkan bencana demografi.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.