Indonesia ibarat kapal besar yang limbung; terperangkap dalam pusaran gelombang hari ini; tanpa jangkar kuat ke masa lalu, tanpa arah jelas ke masa depan.
Indonesia ibarat kapal besar yang limbung; terperangkap dalam pusaran gelombang hari ini; tanpa jangkar kuat ke masa lalu, tanpa arah jelas ke masa depan.
Untuk mengeluarkan bahtera dari situasi limbung, sebuah negara perlu strategi untuk membangun hubungan yang proporsional antara tujuan (ends) dan sarana (means), antara aspirasi dan kapabilitas. John Lewis Gaddis dalam On Grand Strategy (2018) melukiskan dua tipe kepemimpinan yang kerap muncul di sepanjang pelintasan yang menghubungkan kedua titik (tujuan dan sarana) itu: tipe landak (hedgehogs) dan tipe rubah (foxes).
Tipe pertama bertindak lurus dengan menghubungkan segala sesuatu dengan visi sentral, yang memberi arah ke mana harus menuju. Tipe kedua bertindak tak menentu, mengikuti kepekaan penciumannya yang bisa mengarah ke berbagai tujuan yang tak berhubungan, bahkan mungkin kontradiktif.
Tipe pertama bisa memberi arah ke mana bangsa harus melangkah, tetapi acap kali tak bisa mendeteksi bahwa di sepanjang pelintasan visi itu ada banyak ranjau, lubang, dan rawa yang harus dihindari agar bisa sampai tujuan.
Digerakkan dorongan intuitif, tipe ini juga bisa kurang realistis bahwa aspirasi itu bersifat tak terbatas (infinite), sedangkan sarana dan kapabilitas selalu bersifat terbatas (finite). Tipe kedua bisa memberi kepekaan terhadap potensi ancaman dan perubahan yang bersifat sinkronis, tetapi bisa melupakan visi besar ke mana pergerakan harus menuju. Digerakkan rasionalitas situasional, tipe ini lebih tertarik merespons problem ad hoc tanpa kesanggupan menghubungkannya dengan tujuan.
Sebuah strategi yang tepat harus mampu merekonsiliasikan kontradiksi antardua tipe kepemimpinan ini. Kita harus bisa mengambil sisi-sisi positif dari kedua karakter. Kita perlu keajekan visi landak, yang memberi prinsip dan haluan direktif berjangka panjang; tanpa kehilangan fleksibilitas rubah, yang bisa senantiasa merespons ancaman dan perkembangan yang terus berubah.
Sebaliknya, dalam mengerahkan sarana dan kapabilitas untuk menghadapi masalah temporer, kita tak lupakan gerak kembali ke jalan visi yang lebih permanen.
Krisis kepemimpinan
Krisis kepemimpinan negara Indonesia hari ini bukan disebabkan kontradiksi antara tipe landak dan tipe rubah, melainkan karena (nyaris) kehilangan keduanya. Kita tak memiliki keajekan visi sebagai haluan direktif, saat yang sama seperti kehilangan sense of crisis untuk bisa merespons tantangan-tantangan segera. Para pemimpin politik terperangkap pusaran gelombang huru-hara hari ini; terus berayun dari satu isu ke isu lain, tanpa sungguh-sungguh mengatasi masalah yang muncul.
Mengapa itu terjadi? Karena kita tak bisa belajar dari sisi-sisi baik masa lalu. Bahwa masa lalu itu sesungguhnya tak pernah sepenuhnya terang dan tak pernah sepenuhnya gelap. Kita harus bisa mempertahankan yang terang dan menyingkirkan yang gelap. Namun, dalam bayangan arus besar bangsa Indonesia, masa lalu itu senantiasa membersitkan ingatan pedih yang tak bisa dilampau, dengan risiko mengulanginya.
Sebuah bangsa yang tak bisa melihat sisi-sisi terang dari masa lalu tak memiliki jangkar untuk menambatkan visi masa depan. Memang benar, tak ada seorang pun yang bisa mengantisipasi segala sesuatu yang mungkin terjadi di masa depan. Akan tetapi, memprediksi kemungkinan yang terjadi di masa depan lebih baik daripada tak mempersiapkannya sama sekali. Pengetahuan tentang masa lalu dapat membantu memahami masa depan. Tanpa menyadari masa lalu, perjalanan ke depan ibarat memasuki lorong sunyi kekelaman. Amnesia merupakan kemalangan ketidaktahuan dalam kesunyian.
Pengalaman masa lalu dan kemungkinan mengekstrapolasikannya ke masa depan adalah suatu penziarahan kompleksitas tak bertepi. Maka, kepemimpinan, sebagaimana diingatkan Sun Tzu, harus mampu melihat simplisitas dalam kompleksitas.
Dari kompleksitas pengalaman masa lalu, pemimpin harus bisa menemukan prinsip-prinsip utamanya, yang dengan itu, perjalanan ke masa depan memiliki tambatan; kompas untuk mengarungi kegelapan.
Dalam kaitan ini, Sun Tzu memberi contoh: dari sekian banyak kemungkinan melodi musik, secara prinsip bermula dari lima not (pentatonik); dari sekian banyak kemungkinan mosaik warna, secara prinsip bisa dikembalikan ke lima warna dasar; dari sekian banyak kemungkinan cita rasa, secara prinsip bisa ditarik ke lima rasa dasar. Lima adalah dasar simplisitas dari kompleksitas pengalaman. Lima prinsip itu bisa menjadi check list untuk antisipasi masa depan.
Prinsip-prinsip tak bisa dipungut sembarangan, melainkan harus disuling dari pengalaman hidup bersama di masa lalu. Itu sebabnya, prinsip dan tata kelola negara tak bisa sekadar di-copy paste dari pengalaman bangsa lain.
Pada musim panas 1990, sekitar dua lusin ahli konstitusi, hukum dan hakim dari dunia Barat berkumpul di Praha dalam rangka membantu pembuatan draf konstitusi baru bagi negara-negara Eropa Timur dengan memasukkan nilai-nilai dan tata kelola yang berlaku di dunia Barat. Namun, tanpa pemahaman terhadap kompleksitas struktur sosial dan pengalaman belajar sosial dari masyarakat bersangkutan, instalasi tata kelola baru itu terbukti tak berjalan seperti diharapkan.
Berdasar pengalaman ini, Clayton M Christenson (2019) menyimpulkan, ”Institusi sosial itu merefleksikan nilai masyarakat bersangkutan. Membangun institusi yang kuat tidaklah sesederhana ’mengekspor’ apa yang bisa berjalan di suatu tempat ke tempat lain.”
Dengan kata lain, menemukan prinsip sebagai tambatan visi ke depan harus merupakan intisari budaya masyarakat. Budaya dalam pengertian ini, didefinisikan profesor MIT, Edgar Schein (1988): ”Cara bekerja sama menuju tujuan bersama yang telah terbukti berhasil dan diikuti secara berulang oleh masyarakat, yang membuat banyak orang bahkan tak terpikir untuk mencoba cara lain.”
Setelah melalui pengkajian dan pembelajaran lintas-kultural dan lintas-zaman, para pendiri bangsa tiba pada kesimpulan bahwa prinsip dasar sebagai tambatan visi bangsa Indonesia yang muncul sebagai refleksi budaya yang telah terbukti efektif dalam mengarungi kehidupan bersama itu terkristalisasi dalam Pancasila. Yang pada dasarnya, prinsip Pancasila sendiri tumbuh di atas landasan budaya gotong royong.
Budaya gotong royong dijadikan tambatan visi ke depan sebagai usaha mengatasi kompleksitas persoalan dalam suatu bangsa majemuk dengan aneka nilai dan konflik kepentingan.
Dalam pandangan Soekarno, ”Gotong royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari ’kekeluargaan’…. Gotong royong adalah pembanting tulang bersama pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua.”
Semangat kekeluargaan yang bersifat statis cenderung mengarahkan welas asih (altruisme) pada sesama anggota keluarga atau golongan sendiri. Sementara semangat gotong royong yang bersifat dinamis lebih memiliki kesanggupan untuk mengarahkan altruisme pada sesama warga sekalipun dari golongan yang berbeda.
Gotong royong adalah level tertinggi proses adaptasi manusia dalam mengarungi tantangan seleksi alam kehidupan, dari makhluk individu dengan kecenderungan simpanse (yang bersifat selfish) menjadi makhluk sosial dengan kecenderungan lebah (yang bersifat groupish). Semangat gotong royong itu adalah semangat kooperatif, kolaboratif: senasib sepenanggungan; berat sama dipikul, ringan sama dijinjing; bukan yang satu untung, yang lain buntung.
Ketuhanan, menurut alam Pancasila hendaknya dikembangkan dengan jiwa gotong royong (ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang dan toleran); bukan ketuhanan yang saling menyerang dan mengucilkan. Kemanusiaan universalnya harus berjiwa gotong royong (yang berkeadilan dan berkeadaban); bukan pergaulan kemanusiaan yang menjajah dan eksploitatif.
Persatuan kebangsaannya harus berjiwa gotong royong (mengupayakan persatuan dengan tetap menghargai perbedaan, ”bhinneka tunggal ika”); bukan kebangsaan yang meniadakan perbedaan atau menolak persatuan.
Demokrasinya harus berjiwa gotong royong (mengembangkan musyawarah mufakat); bukan demokrasi yang didikte suara mayoritas atau minoritas elite penguasa-pemodal. Prinsip keadilannya harus berjiwa gotong royong (mengembangkan partisipasi dan emansipasi di bidang ekonomi dengan semangat tolong-menolong/kooperatif); bukan visi kesejahteraan yang berbasis individualisme-kapitalisme; bukan pula yang mengekang kebebasan individu seperti dalam sistem etatisme.
Dengan budaya gotong royong, visi Pancasila diarahkan untuk mewujudkan perikehidupan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Untuk itu, Pancasila telah mengantisipasi perlunya mengembangkan hubungan yang proporsional antara tujuan dan sarana, antara aspirasi dan kapabilitas. Bahwa visi itu tak akan bisa dicapai kecuali menghendaki pembudayaan Pancasila dalam ranah ”mental-spiritual” (tata nilai), ”institusional-politikal” (tata kelola), dan ”material-teknologikal” (tata sejahtera).
Tata nilai Pancasila diarahkan untuk menjadikan bangsa yang berkepribadian (berkarakter) dengan nilai utama berlandaskan sila pertama, kedua, dan ketiga.
Bahwa kehendak untuk bersatu dan harmoni dalam perbedaan bisa diraih manakala kita mampu mengembangkan hubungan welas asih dengan ”Yang Mahasuci”, yang memancarkan semangat ketuhanan yang berkebudayaan, lapang dan toleran; welas asih dengan sesama manusia, yang memancarkan semangat kemanusiaan yang adil dan beradab; welas asih dalam hubungan manusia dengan ruang hidup (tanah air) dan pergaulan hidupnya (kebangsaan), yang memancarkan semangat persatuan dalam keragaman bangsa. Dengan spirit ketuhanan, kemanusiaan, dan persatuan, dikembangkan daya-daya spiritualitas dalam sosiabilitas yang berperikemanusiaan, egaliter, mandiri, amanah (berintegritas), beretos kerja positif dan kreatif, serta sanggup menjalin persatuan dengan semangat pelayanan (pengorbanan). Agen utama tata nilai ini adalah komunitas.
Tata kelola sosial-politik Pancasila diarahkan untuk jadi bangsa berdaulat dengan nilai utama berlandaskan sila keempat. Bahwa tatanan sosial-politik hendak dibangun melalui mekanisme demokrasi yang bercita kerakyatan, cita permusyawaratan, dan cita hikmat-kebijaksanaan dalam suatu rancang bangun institusi demokrasi yang dapat memperkuat persatuan (negara persatuan) dan keadilan sosial (negara kesejahteraan); yang termanifestasi dalam kehadiran pemerintahan negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasar kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan. Agen utama tata kelola ini aparatur negara.
Tata sejahtera Pancasila diarahkan untuk menjadi bangsa mandiri dan berkesejahteraan umum dengan nilai utama berlandaskan sila kelima. Bahwa kemandirian dan kesejahteraan umum hendak diraih dengan mengupayakan perekonomian merdeka; berlandaskan usaha tolong-menolong (semangat koperatif), disertai penguasaan negara atas ”karunia kekayaan bersama” (commonwealth) serta atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak; seraya memberi nilai tambah atas karunia yang terberikan dengan input pengetahuan dan teknologi. Agen utama tata sejahtera ini dunia usaha.
Defisit kapabilitas
Kelahiran Orde Reformasi memberi peluang keberangkatan menuju dunia baru. Sayang, dalam kedatangan momen keemasan itu, yang banyak muncul
bukanlah para pemimpin yang bisa memadukan visi landak dan kapabilitas responsif rubah. Yang banyak berkerumun adalah laron-laron yang terus berpindah dari satu isu ke isu lain. Kebebasan sebagai negative right (”bebas dari”) mengalami musim semi. Namun, kebebasan sebagai positive right (”bebas untuk”) mengalami paceklik. Kita mengalami defisit kapabilitas dalam menggunakan kebebasan itu untuk mewujudkan visi Republik.
Berbagai bentuk pilihan dan kebijakan publik tak menggunakan asas-asas nalar publik yang sehat. Kebijakan dan pilihan politik dengan nalar publik yang sehat setidaknya harus memenuhi empat prinsip utama suatu politik yang responsif: prinsip kemasukakalan, efisiensi, keadilan, dan kebebasan.
Dengan keempat prinsip ini, politik yang responsif harus mempertimbangkan rasionalitas publik tanpa kesewenang-wenangan mengambil kebijakan/keputusan; adaptabilitas kebijakan dan institusi politik terhadap keadaan tanpa melupakan tujuan; senasib sepenanggungan dalam keuntungan dan beban; serta persetujuan rakyat terhadap pemerintah.
Ketika arena politik lebih mewadahi konflik kepentingan ketimbang konflik visi-ideologi, watak politik menjadi narsistik, mengecilkan harapan banyak orang.
Kembali ke Hari Kesaktian Pancasila bukan sekadar merayakan pepesan kosong. Agar Pancasila itu benar-benar sakti, kita harus kembali ke prinsip dasar republik dengan terus menjaga hubungan erat antara tujuan (aspirasi) dan sarana (kapabilitas) berdasarkan Pancasila.
*Artikel ini telah dimuat di harian Kompas 1 Oktober 2019.