Neng Dara Affiah: Pembagian Tugas Bukan Takdir, Tapi Negosiasi

3481

Hidup dengan background keagamaan yang kuat ternyata memberi Neng Dara Afiiah bekal yang cukup untuk terus berjuang membela persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Neneknya adalah sosok awal yang memberi pencerahan dan semangat itu. Begitulah ungkapnya PSIK-Indonesia mewawancarainya di kantor Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Senin, 20 April 2009. Keterlibatannya yang intensif dalam memperjuangkan hak-hak perempuan membawanya aktif di Komnas Perempuan dan PP Fatayat NU. Usaha untuk keluar dari kultur patriarkis, di mana laki-laki sebagai yang utama dan perempuan adalah komplemennya, menuju masyarakat yang setara dan bebas mengemukakan pendapat secara bebas adalah cita-citanya yang terus ia perjuangkan hingga kini. Pada titik inilah ia bersama teman-teman di Komnas Perempuan dan Fatayat NU mencoba merangkul pemuka agama untuk terus memberi pembelaan terhadap perempuan korban dalam masyarakat. Dalam wawancara yang cukup panjang bersama Julmansyah Putra dan Fachrurozi, Teh Neng, begitu ia disapa, mengurai pandangannya mengenai kultur patriarki yang menjiwai masyarakat Indonesia, selain juga pandangannya soal perempuan di ruang publik. Berikut petikan wawancaranya.

Anda dikenal sebagai seorang aktivis perempuan yang sejak lama concern dalam persoalan-persoalan perempuan. Apa sebenarnya yang melatarbelakangi keterlibatan Anda dalam aktifitas itu?

Neng Dara Affiah
Neng Dara Affiah

Sebetulnya yang melatarbelakangi keterlibatan saya adalah kultur patriarki yang begitu kuat di tengah masyarakat kita, terutama komunitas agama Islam. Kultur patriarki itu justru bukan dari luar diri saya, ada dalam diri saya, bahkan muncul di lingkungan keluarga saya. Ayah saya tidak salah karena ia tidak lepas dari struktur sosial yang melatarbelakanginya. Yang saya maksud adalah bahwa beliau hidup dalam backgraund keagamaan yang sangat kuat. Dia ahli agama, dia hidup dalam tradisi agama dan nilai-nilai yang melekat dalam dirinya adalah nilai yang dia resapi, dan itu juga yang dia implementasikan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu kultur patriarki tadi.

Kultur patriarki yang saya maksud adalah kultur yang mengutamakan laki-laki sebagai sesuatu yang utama dan perempuan mengikutinya. Jadi seirama atau setara tetapi dia di atas, laki-laki yang utama dan perempuan hanya sebagai pelengkap. Dan kehidupan yang dialami keluarga saya kira-kira seperti itu faktanya. Kami sebagai anak perempuan tidak bisa hidup dalam suasana demokratis di mana kita bisa menyampaikan pendapat secara bebas. Yang saya inginkan, pola seperti itu tidak berlaku untuk orang lain, cukup saya saja yang mengalami. Artinya untuk generasi mendatang jangan mengalami hal seperti itu, terutama untuk komunitas-komunitas keagamaan dalam Islam. Karena kultur patriarki sesungguhnya mempunyai implikasi terhadap paksaan pada perempuan, membuat istri menjadi kerdil dan tidak percaya diri. Nah, itulah yang melatarbelakangi saya dan saya mendambakan suatu masyarakat yang demokratis yang tidak tertekan oleh otoritarianisme agama, yang tidak memberikan ruang kebebasan untuk kita.

Lalu, kira-kira apa yang harus dilakukan kira apa yang harus kita lakukan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa antara laki-laki dan perempuan itu setara?

Di dalam buku saya yang baru saja terbit bulan April 2009 Muslimah Feminis: Penjelajahan Multi Identitas yang diterbitkan oleh Nalar (2009) ini saya menuturkan perihal pemahaman itu mestinya dilakukan. Peran-peran pembagian tugas, itu dipahami sebagai takdir. Misalkan Istri memasak itu sebagai takdir tugasnya memasak, akan tetapi itu bukan takdir melainkan negosiasi di antara kita. Tapi oleh sebagian besar kalangan Muslim dianggap sebagai takdir. Nah, itu yang saya coba bongkar. Mengapa? Karena ini soal negosiasi dan soal kesepakatan-kesepakatan kita di mana hal itu bisa diubah. Mengapa kita memitoskan ini sebagai suatu takdir padahal seandainya tidak membuat kita menjadi manusia seutuhnya mari kita bongkar. Misalnya, laki-laki tidak boleh menangis. Kenapa tidak? Itu salah. Masyarakat kita yang melakukan dikotomi-dikotomi. Laki-laki bisa menangis dan punya perasaan. Jadi jangan sampai ada pernyataan ketika laki-laki menangis, ”Ih, kaya perempuan”. Jadi kita dihadapkan pada berbagai stereotipe seperti itu. Sehingga ada semacam perlakuan masyarakat kita yang cenderung tidak memanusiakan kita. Menurut saya, cara-cara berpikir seperti ini yang harus diubah. Misalnya, di PSIK-Indonesia, sejauh mana keberadaan perempuan? Mungkin yang paling dominan adalah laki-laki, karena atmosfir keilmuan sering dikonotasikan sebagai sesuatu yang merupakan monopoli pihak laki-laki. Ini keliru. Pola hubungan seperti inilah yang saya coba ubah.

Saya ingin masuk pada kasus kekerasan dalam rumah tangga. Semakin hari frekuensinya tidak mengalami penurunan yang signifikan. Kira-kira faktor apa yang menurut Teh Neng yang paling dominan?  

Memang catatan tahunan Komnas Perempuan menunjukan bahwa tingkat kekerasan prempuan dalam rumah tangga (KDRT) semakin tahun semakin meningkat. Secara fakta memang KDRT itu tinggi. Lalu, ada kecenderungan di kalangan para istri karena sudah ada jaminan hukum atau UU KDRT, maka meraka punya keberanian mengadukan persoalannya. 

Kalau ditanya masalahnya, salah satu penyebabnya adalah pemahaman yang kuat bahwa istri itu harus dididik, bahwa istri itu adalah milik saya (suami), atau ada rasa kepemilikan sama dengan rasa kepemilikan terhadap anak yang boleh dipukul, boleh dihajar, misalnya seperti itu, posisi yang tidak imbang. Misalnya, kamu nikah sama seseorang yang sama usianya, ketika nikah statusnya bisa menjadi berubah. Istrimu yang dulu memanggil nama, berubah menjadi memanggil ”Mas” gara-gara satus perkawinan. Ketika sudah masuk pada perkawinan semua berbeda. Ini juga yang menimbulkan status hirarki dalam hubungan suami-isrti di kemudian, dimana posisi suami lebih tinggi dan istri di bawahnya. 

Persoalannya, kekerasan itu ada siklus-siklusnya. Milsanya, kalau seorang laki-laki yang terbiasa atau terdidik dalam keluarga yang mengalami praktek kekerasan (sering dipukul), maka besar kemungkinan bahwa orang itu akan melakukan hal serupa terhadap istri dan anaknya. Jadi siklus semacam itu akan terus terjadi apabila kita tidak memotongnya.

Kekerasan terhadap istri juga seperti itu, kalau misalnya suami terbiasa dipukul dalam keluarganya oleh orang tuanya atau dia mennyaksikan ibunya dipukul oleh ayahnya, ketika ada persoalan di dalam rumah tangganya, cara mengatasi masalahnya adalah dengan memukul istri atau memukul anak. Itulah siklus yang terjadi. Dalam masyarakat kita, budaya memukul seperti itu masih sangat kuat, entah memukul anak atau memukul istri. Saat ini kita harus menghentikan praktek-praktek kekerasan seperti itu. Faktor pendorongnya bisa faktor ekonomi, karena tekanan ekonomi begitu tinggi, maka tekanan itu dilimpahkan kepada orang terdekat, sehingga kadang-kadang kehilangan kontrol dan akhirnnya memukul. Tapi menurut saya, sekalipun tekanan ekonomi sangat tinggi jangan menjadi alasan untuk memukul seorang istri.

Dalam kasus lain, fenomena ini bukan hanya khas karena tekanan ekonomi. Para pejabat publik yang tingkat ekonominya sudah memadai juga banyak melakukan kekarasan. Jadi tidak berbanding lurus. Saya kira ada banyak persoalan yang sudah berurat-berakar dan ini perlu perjuangan panjang guna memperkecil tindakan kekerasan terhadap keluarga.

Saya ingin masuk kepada peran tokoh agama yang disinggung tadi. Bahwa masyarakat kita terkadang tidak hanya mengadukan masalahnya hanya kepada keluarga, tetapi juga kepada tokoh agama sekitarnya. Ini berarti mereka punya peran yang cukup besar dalam mengurangi kekerasan yang terjadi, karena posisinya sebagai tokoh. Apa yang dilakukan Komnas Perempuan dalam hal ini?

Dalam rangka menjawab itu, hari Rabu, 22 April 2009 Komnas Perempuan mengadakan peluncuran dan diskusi buku ”Memecah Kebisuan: Agma Mendengan Suara Perempuan Korban Kekerasan demi Keadilan”. Justru kita ingin agar organisasi-organisasi keagamaan (NU, Muhamamdiyah, Katolik, Protestan dan lain sebagainya) menjadi tempat untuk mencari keadilan bagi perempuan dari tindak kekerasan di berbagai daerah, baik misalnya melalui tokoh agama setempat maupun melalui organisais formal mereka. Karena berdasarkan pengalaman pemantauan Komnas Perempuan, maka kami mendorong organisai agama itu untuk memiliki kebijakan keagamaan yang ramah terhadap perempuan korban kekerasan.

Faktanya, untuk problem perempuan kita, sudah tidak memperoleh keadilan yang memadai di pengadilan, lalu mereka dipersalahkan kembali oleh tokoh-tokoh agama. Misalnya, seorang istri babak belur dihajar suaminya si istri akan disalahkan kembali, “Kamu mungkin melayaninya tidak baik”. Jadi balik lagi. Sama halnya dengan orang yang menjadi korban pemerkosaan yang mengadu kepada tokoh agama, “Mungkin kamu salah karena pakai baju yang ngerangsang”. Jadi dipersalahkan lagi. Ini kan membuat pesan agama tidak ramah sama sekali terhadap para perempuan korban kekerasan.

Misalnya, dalam kasus poligami. Yang disalahkan justru bukan pihak laki-laki, tetapi tetapi perempuan. Sudah dia disakiti oleh suaminya dengan dipoligami kemudia dipersalahkan oleh masyarakat, itu yang terjadi. Sikap seperti ini kita sampaikan kepada pemuka agama supaya meraka mendidik pemuka agamanya dan memberi pengetahuan untuk tidak lagi atau mengubah persepsi terhadap para perempuan korban. Jadi kami mencoba membangun mekanisme yang sifatnya sistemik dengan organisai-organisasi agama supaya tidak semakin menyalahkan kembali perempuan korban, apakah kekerasan dalam rumah tangga, atau korban buruh migran dan lain-lain.

Misalnya dalam kasus buruh migran. Di tengah yang mereka alami, mereka mencoba mencari peruntungan dengan bekerja di luar negeri. Ketika bekerja, mereka mendapatkan perlakuan kekerasan (penyiksaan) dari para majikannya. Namun dalam situasi seperti itu, mereka tetap disalahkan, ”Ngapain sih kerja di luar negeri?” Lalu pertanyaannya, ”Memangnya di dalam negeri mau kerja apa?” Karena itu kita coba memperkecil pandangan-pandangan tersebut agar kemudian berubah, lalu bagaimana melindungi mereka sebagai TKW, misalnya, karena pekerjaan itu juga merupakan pilihan terakhir, karena hidup di negara sendiri juga tidak menjamin apa-apa.

Soal perempuan dan politik, dalam undang-undang politik ada pernyataan kuata 30% untuk perempuan. Artinya mereka didorong untuk maju ke ruang publik. Ini merupakan angin segar dalam sejarah politik Indonesia. Bagaimana Teh Neng melihat ini? 

Kalau ditanya apakah perempuan sudah siap atau belum untuk masuk ke dunia politik, saya kira jawabannya belum siap. Mengapa? Karena dunia politik yang selama ini terbentuk kuat adalah politik yang maskulin. Sekali pun aktornya perempuan tetapi modelnya tetap maskulin. Misalnya kalau politisi perempuan pasti gayanya kaya laki-laki. Jadi, semua itu karena kultur politik kita yang maskulin. Di Amerika, perempuan boleh memilih pada tahun 60-an. Artinya apa, bahwa dunia ini tidak familiar dengan perempuan. Nah karena ini perlu ada kuota 30%. Kenapa? Ini sama sekali bukan untuk mengistimewakan perempuan, tetapi merupakan tindakan afirmatif (affirmative action). Kalau posisinya sudah setara, tindakan afirmatif tidak berlaku lagi, kuota 30% bisa dianulir atau revisi. Jadi, tindakan afirmatif ini menjadi niscaya karena titik berangkat antara laki-laki dan perempaun yang tidak setara. 

Dulu, kalau ada anggota parlemen perempuan pasti terkait dengan keturunannya orang bernama (tokoh masyarakat, menteri, pejabat, dan lain sebagainya). Tapi perempuan pejuang rakyat tidak terakomodir di dalam sistem politik yang sudah terbentuk berpuluh-puluh tahun itu. Sekarang kita mencoba mewadahi perempuan yang betul-betul pejuang untuk mewakili aspirasi rakyat dengan tindakan afirmatif itu. Tetapi, mengalami tantangan dengan keputusan MK dengan perolehan suara terbanyak, maka kebanyakan perempuan ga bakalan jadi, dan akhirnya bisa menganulir kuota 30% karena suara terbanyak. Sehingga mengalami kesulitan lagi.

Lalu bagaimana pandangan Teh Neng ketika partai politik memasukkan artis sebagai calon anggota legislatif mereka? Apakah hanya sekedar pengumpul suara atau serius?

 Sebenarnya saya masih cukup punya harapan terhadap artis atau model jika artisnya seperti Nurul Arifin dan Rieke Dyah Pitaloka. Tapi kalau yang lain, saya tidak mempunyai harapan itu karena mereka tidak memiliki rekam jejak yang baik yang benar-benar memperjuangkan kepentingan masyarakat terutama kepentingan kaum perempuan. Karena seseorang bersedia menjadi wakil rakyat karena ada pengakuan dari rakyat bahwa dia memilki rekam jejeak seperti ini atau itu, karna itu saya mengamanatkan suara kepada dia untuk meperjuangkan kepentingan aspirasi kita. 

Kalau dia tidak mempunyai rekam jejak yang cukup baik di dalam masyarakat, apa yang kita harapkan? selain hanya popularitas yang mereka miliki karena kita tahu dunia artis itu kan hedonis. Itulah sebenarnya potret ketidakmatangan masyarakat kita untuk memilih wakil rakyatnya di parlemen. Wakil rakyat itu sebenarnya adalah wakil yang kita amanatkan dan itu bukan pekerjaan yang remeh-temeh. 

Terakhir, selama 10 tahun reformasi ini, sebagai seorang yang lama yang bergelut di bidang keislaman dan perempuan, kira-kira yang harus dievaluasi?

Banyak sekali. Jadi terkadang saya merasa bahwa satu tahap berhasil, ada tahapan-tahapan lain yang datang silih berganti. Kita berharap reformasi ini negosiasi-negosiasi hak-hak politik perempuan atau hak-hak perampuan bisa terwadahi melalui kerangka sistem demokratisasi yang berjalan saat ini. Tapi yang terjadi justru politisasi perempuan melalui politik agama. Apa itu politisaasi perempuan melalui politik agama? Sekarang ini sejumlah ”badut politisi” sok-sok-an, sok berkuasa, apakah dia jadi bupati dan sebaginya., dari DPRD sampai DPR Pusat. Dengan apa caranya, dengan memainkan simbol-simbol agama. Misalnya, kalau anda main ke daerah saya di Pandeglang, sekolah-sekolah SMA dan SMK yang sebetulnya sekolah umum yang netral dari agama siswinya diberi kewajiban mengenakan jilbab dan ironisnya hal semacam ini terjadi di beberapa daerah melalui keputusan bupati atau pemerintah daerah lainnya dengan apa yang disebut sebagai Perda syariah. Secara pribadi, saya tidak menentang pemakaian jilbab karena baik jika itu merupakan ekspresi keberimanan seseorang. Tetapi ketika itu menjadi simbol politisasi yang mungkin bagi perempuan itu sendiri merupakan keterpaksaan untuk memakainya. Inilah masalahnya bagi saya. Biarlah orang yang berjilbab itu menjadi pilihannya sendiri, dengan demikian dia bisa mempertanggungjawabkan apa yang dia pakai,. Tapi kalau sudah menjadi alat politisasi karena hanya ingin dikatakan kebijakannya berhasil melakukan islamisasi, menurut saya di sini masalahnya.

Kaitannya dengan Cak Nur, ini yang sebenarnya yang ditentang oleh Cak Nur, bahwa kita terjebak ke dalam simbolisasi agama yang sekarang berkembang dan kokoh di mana-mana bahkan dalam institusi pemerintah sekalipun. Saya kira sangat baik bagi seoarng membaca asma al-husna untuk kepentingan dirinya, tetapi kalau itu sudah dipasang di jalan raya, di sana lewat orang non-Muslim, ada Cina, Protestan, Katolik, ini yang menjadi masalah. Kita menjadi kelompok yang tidak ramah terhadap mereka. Inilah yang menjadi keprihatinan mendasar saya.

Inilah yang menjadi tantangan terbesar kita. Saya kira saya tidak tahu sejauh mana keprihartinan tokoh-tokoh Muslim terhadap persoalan ini. Tapi bagi saya yang menganut pemikiran Cak Nur tentu sangat sangat prihatin terhadap situasi ini. Meskipun kita sudah punya UU KDRT, tetapi juga dalam bidang lain kita dihantam. Ini juga salah satu tantangan dari reformasi. Tapi bagi saya kita jangan meratapi situasi seperti ini. Dalam demokrasi, antara yang menentang demokrasi dan pro-demokrasi hidup di dalamnya, sekarang sejauh mana kita melakukan konsolidasi terhadap lawan kekuatan-kekuatan yang anti demokrasi itu. Saya kira demikian.

Baik, terima kasih Teh Neng atas kesempatan ini

 

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.