Abdul Moqsith Ghazali: Negara Tak Boleh Intervensi Agama

1963

Kemajemukan (pluralitas) sejatinya merupakan sebuah keniscayaan yang tak mungkin ditolak. Karena secara teologis maupun sosiologis, perbedaan menjadi konsekuensi logis dari beragamnya kebudayaan masyarakat. Sayangnya, dalam banyak pengalaman, khususnya dalam konteks Indonesia, perbedaan itu tak jarang berubah menjadi konflik yang sering kali merenggut hak seseorang sebagai warga negara; misalnya hak untuk hidup dengan rasa aman, hak menjalankan agama menurut keyakinannya, pun hak untuk mendapat perlakukan sama dan setara. Setidaknya fakta inilah yang terkuak dalam perbincangan singkat antara Julmanyah Putra dan Zaenal Abidin dari PSIK-Indonesia dengan Abdul Moqsith Ghazali, Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina dan Peneliti The Wahid Institute di sela-sela kesibukannya memberi materi dalam sebuah acara di Wisma Sahida Inn, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada Kamis, 16 April 2009 lalu. Bagi Moqsith, pemicu konflik tidak melulu lahir dari soal-soal keagamaan. Ada variabel lain yang juga turut memicu yakni soal ekonomi dan politik. Karenanya, harus dikategorisasi, misalnya harus dipolarisasi konflik yang berlatar belakang ekonomi dan politik, tentu tidak bisa diselesaikan hanya lewat penyeselaian teologis. Berikut petikan wawancaranya.

Kita tahu bahwa diskusi atau dialog dan bahkan tulisan-tulisan mengenai keniscayaan dari keragaman itu sudah banyak dilakukan. Sebenarnya, jauh mana pengaruh diskusi dan penulisan itu pada perkembangan pluralisme dan pencegahan atau pengurangan konflik di tanah air dan sebenarnya apa yang salah dengan perbedaan itu?

Abdul Moqsith Ghazali
Abdul Moqsith Ghazali

Mungkin butuh riset khusus untuk mengetahui seberapa jauh efek dari buku tentang kerukunan itu terhadap pengurangan konflik. Ada banyak analisa, salah satunya bahwa konflik yang melibatkan umat beragama di Indonesia, tidak selalu bermotifkan utama soal-soal keagamaan. Tetapi biasanya diawali dari persoalan ekonomi politik; perebutan sumber ekonomi dan dan kekuasaan, baru kemudian untuk mendramatisasi konflik itu dibumbui argumen-argumen agama. Walaupun, tidak menutup kemungkinan ada konflik yang diawali betul oleh soal-soal keagamaan, tapi biasanya itu tidak ada variabel-variabel tunggal.

Banyak orang yang mengatakan bahwa konflik yang lahir justru dari luar motif keagamaan. Apalagi misalnya sekarang sedang ramai-ramainya otonomi daerah, kecenderungan untuk menegakkan identitas, baik identitas agama atau identitas etnis itu cenderung menguat dan terutama sebagai bagian dari identitas itu muncul tentu dengan lain-lain, seperti ekonomi dan politik, misalnya. Karena itu buku-buku yang berbicara tentang kerukunan umat beragama, hanya menjadi satu bagian dari solusi besar untuk mengatasi ketegangan antarumat beragama, tidak bisa satu-satu, oleh karena itu harus serentak, harus dikategorisasi, misalnya harus dipolarisasi konflik yang berlatar belakang ekonomi-politik, tidak bisa diselesaikan hanya lewat penyeselaian teologis.

Pluralisme biasanya diidentikkan dengan penyeragaman semua agama, ini mungkin salah satu penyebab keengganan beberapa kalangan menerima istilah ini. Namun, jika dikaji lebih dalam justru inti dari pluralisme itu adalah pengakuan terhadap keragaman itu. Bagaimana Mas Moqsith melihat ini?

Pandangan yang menganggap pluralisme itu berarti penyeragaman semua agama itu keliru tidak hanya secara teologis, tapi secara sosiologis juga keliru. Karena satu agama dengan adaptasi dan adopsi terhadap kebudayaan lokal tidak mungkin agama bisa diseragamkan. Internal umat beragama saja, antara NU, Muhamadiyah, dan Persis tentu tidak bisa disamakan. NU yang ada di Jawa Timur tentu tidak bisa disamakan dengan NU yang ada di Jawa Barat. Jadi ada soal-soal sosiologis yang tidak memungkinkan satu kelompok agama atau aliran dalam agama bisa disamaratakan. Maka, pluralisme tidak identik dengan menyamakan seluruh agama, bukan saja agama karena secara teologis tidak mungkin disamakan, namun juga karena sosiologis juga tak memungkinkan.

Islam sudah memberikan contoh atau memberi pengakuan untuk agama lain. Islam menyebut agama lain sebagai ahli kitab. Bahkan menikah dengan ahli kitab pun juga diperbolehkan, sebagai bukti bahwa pengakuan itu sangat aktif dan juga positif. Dalam satu ayat dalam al-Quran, jika Muhammad ragu tentang makna sebuah ayat dalam al-Quran dipersilahkan untuk bertanya kepada ahli kitab dan itu sebenarnya bukti dari adanya sinergisitas. Hal yang demikian ini pun seharusnya dilakukan oleh kelompok-kelompok agama.

Dalam kasus Katolik, misalnya, ada Konsili Vatikan ke-II, yang memberikan pengakuan tidak hanya sosiologis tapi juga teologis tentang adanya keselamatan di luar Gereja, padahal dalam al-Kitab (Perjanjian Baru) jelas ditegaskan bahwa tidak ada jalan keselamatan, kecuali melalui Aku, kata Yesus, dan jalan keselamatan itu adalah Aku. Konsili Vatikan ke-II menegaskan ada kemungkinan keselamatan di luar Gereja Katolik. Tentu itu merupakan kemajuan luar biasa. Hanya masalahnya kita dihapkan pada kelompok-kelompok atau ormas-ormas keagamaan di dalam agama itu sendiri yang cenderung ingin terus menegakkan garis demarkasi dan ingin memelihara konflik dan seolah-olah dengan konflik itu mereka bisa eksis dan survive. Bukan hanya di Islam tapi juga di Protestan juga sama, karena itu tantangannya adalah bagaimana membagun harmoni di internal agama.

Kita sudah bisa melerai misalnya konflik antara NU dan Muhamadiyah, kita tidak lagi mendengar konflik antara keduanya dalam soal-soal keagamaan. Saya optimis, bahwa ormas-ormas yang baru dirintis belakangan pada era reformasi, seperti HTI dan FPI dan lain-lain akan mengalami penjinakkan, karena mereka harus tetap survive, maka mereka harus beradaptasi dengan kehidupan masyarakat yang memelihara toleransi. Karena ini baru, maka ghirah keislamannya begitu kuat, mereka cenderung belum beradaptasi dengan kebudayaan. Kalau dalam fenomena partai politik, kita bisa melihat PKS, yang awalnya eksklusif, tiba-tiba sekarang sudah sangat inklusif, itu keniscayaan bukan hanya teologis tapi juga sosiologis bahkan politis. Persis, misalnya juga mengalami penjinakkan, al-Wasliyah juga begitu.

Ke depan apa kira-kira polanya akan terjadi demikian itu, Mas?

Kalau mereka ingin survive mereka harus mengadaptasi kebudayaan lokal masyarakat dan harus bersinergi dengan ormas-ormas lain. Oleh karena itu, Wahabi kalau dengan caranya yang sekarang tidak akan bisa eksis, kalau Wahabi ingin tegak di Indonesia, mereka harus adaptasi dengan masyarakat Indonesia, tidak bisa apa yang mereka pikirkan di Arab Saudi, tanah-tanahnya akan dibawa ke sini. Karena itu NU bisa kuat. Karena itu Muhamadiyah yang pada awalnya ketus terhadap kebudayaan lokal, pada tahun 90-an akhir, sudah berbicara soal tentang dakwah kultural. Saya kira ini teori yang sangat standar dalam teori sosiologi dan antropologi.

Bagaimana Mas Moqsith melihat prospek kerukunan umat beragama ke depan?

Saya optimis kerukunan umat beragama itu akan berjalan dan berhasil, karena tidak mungkin orang lama bisa hidup dalam keadaan konflik, tidak satu pun orang apakah beragama atau tidak menginginkan ini. Oleh karena itu sebenarnya ini adalah pematang yang baru jebol setelah Soeharto tumbang yang dahulu segala perbedaan itu dihancurkan, ditaruh di bawah karpet. Begitu Soeharto lengser, maka ini kemudian terbuka semuanya, maka yang dulu tak tampak itu kemudian tampak. Saya kira, secara alamiah akan ada kreatifitas dari masyarakat lokal; dari umat beragama sendiri untuk mencari titik temu dan kemudian mencari bagaimana resolusi konflik itu akan dapat diselesaikan di tingkat bawah.

Bagaimana seharusnya peran negara dalam meminimalisir konflik, baik di internal agama atau antaragama?

Negara harus meminimalkan intervensinya pada wilayah agama. Sebab dengan cara itu tidak bisa dimintai tanggung jawab terlalu banyak untuk mengatasi konflik akibat persoalan teologis, saya kira itu kuncinya. Semakin banyak negara mengintervensi soal-soal keagamaan, semakin banyak beban yang akan dia tanggung, semakin dia masuk ke dalam, semakin dia repot dalam posisinya. Karena itu negara bukan mengatur teologinya, tapi mengatur secara sosial agar terjadi kerukunan antarumat beragama. Memfasilitasi, bukan menjadi pemain juga yang memihak pada mayoritas dan menindas yang minoritas seperti Ahmadiyah. Padahal mereka juga warga negara Indonesia yang harus dilindungi hak-haknya oleh negara. 

Terima kasih Mas Moqsith atas waktunya

 

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.