“Keagungan terakhir dari kepresidenan,” ujar Rossister Clinton, “terletak pada kebenaran.” Dalam pandangannya, “Kepresidenan bukan hanya kedudukan dengan kekuasaan yang luar biasa, melainkan juga tempat persemaian nilai-nilai kenegaraan yang tak bisa dihancurkan.” Kepresidenan adalah pusat teladan. Dalam sejarah jatuh-bangunnya kekuasaan di Nusantara, dapat dipetik pelajaran, bilamana pusat teladan gagal menjadi jangkar moralitas, kekacauan akan segera melanda wilayah negeri.
Benar pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahwa apa pun kebijakan yang diambil menyangkut bailout Bank Century, penanggung jawab terakhirnya adalah presiden sendiri. Presiden harus tetap dalam posisi tegak lurus dengan pernyataannya bahwa kasus Bank Century harus diusut tuntas secara terang benderang. Keberanian untuk menghadapi kasus ini secara jujur menjadi kunci untuk memulihkan kepercayaan publik pada pusat teladan.
Tentu keteladanan presiden itu harus terpancar pada perilaku para pembantu dan partainya. Jika presiden menekankan perlunya menjaga etika politik, harus dipastikan terlebih dahulu bahwa anggota pansus dari Partai Demokrat tidak mengotori ruang publik dengan ucapan-ucapan kotor dan rasis. Jika etika politik hendak dijunjung tinggi, tidak sepantasnya pula para pembantu presiden mencoba menekan anggota-anggota pansus dan kesimpulan yang dibuatnya dengan mengungkap dugaan pelanggaran hukum pejabat-pejabat partai lainnya.
Pengungkapan berbagai pelanggaran hukum yang menimpa petinggi partai lain, mulai kasus dugaan impor sapi fiktif dengan tersangka Ketua MPP PPP Bachtiar Chamsyah; kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI 2004 dengan tersangka sejumlah politikus PDI Perjuangan, PPP, dan Golkar; kasus dugaan LC fiktif yang melibatkan politikus PKS Misbakhun; sampai kasus dugaan penggelapan pajak oleh perusahaan Grup Bakrie, dengan tujuan ditukargulingkan dengan kasus Bank Century, justru menyiratkan sisi keborokan lain dari pemerintah. Yakni, kecenderungan untuk tebang pilih dalam pemberantasan korupsi, disesuaikan dengan kepentingan politik.
Tidak pantas pula, secara etika politik, para staf presiden dikerahkan untuk mengemban misi lobi politik di luar lingkup tugasnya. Staf presiden itu bukanlah pekerja sukarela pribadi SBY, melainkan digaji oleh negara. Karena itulah, mereka harus tunduk pada undang-undang yang mengatur kekuasaan bahwa staf presiden itu tidak bersifat operasional.
Di lain pihak, partai-partai juga tidak bisa menjadikan kasus Bank Century sebagai alat negosiasi. Partai-partai tersebut tidak bisa menghapus begitu saja jejak-jejak pandangan dan kesimpulan anggota pansusnya.
Inkonsistensi kesimpulan anggota pansusnya dengan keputusan partai di sidang paripurna merupakan bentuk kebohongan publik yang tak termaafkan. Pertama, mereka mempermainkan mandat penyelidikan yang diamanatkan warga negara. Kedua, mereka mempermainkan dugaan penyalahgunaan kekuasaan dengan melahirkan sejenis penyalahgunaan kekuasaan yang baru. Ketiga, mereka menjadikan ranah negara menjadi ranah privat untuk ditransaksikan.
Penguatan etika politik merupakan pertaruhan masa depan demokrasi di Indonesia. Ketika politik sebagai seni mengelola republik demi kebajikan kolektif mulai tersisihkan oleh apa yang disebut Machiavelli sebagai raison d’état (reason of state), yang berorientasi sempit dan menghalalkan segala cara. Jika “politik” sejati memiliki kepedulian untuk mempertahankan kepentingan kolektif melalui perbaikan otoritas publik, reason of state memprioritaskan kepentingan elite dan kelompok penguasa dengan mengatasnamakan “kebajikan publik”. Dengan demikian, reason of state adalah seni memerintah dengan menipu rakyat.
Dengan menjadikan kebijakan publik sebagai tawanan kepentingan golongan dan perseorangan, rule of law berubah menjadi rule by law. Berbagai penyalahgunaan kekuasaan terjadi dengan memaki instrumen hukum. Alat-alat kekuasaan dan kasus-kasus hukum dimanfaatkan untuk menekan lawan politik. Maka dari itu, masalah korupsi dan kelemahan pertanggungjawaban publik di negeri ini bukanlah karena defisit hukum, melainkan terutama karena defisit etika politik, yang menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan kenegaraan.
Dalam panggung politik pada saat ini, klaim-klaim etis sering dipakai untuk memojokkan pihak pengkritik tanpa kemampuan refleksi diri untuk menginsafi kelalaian etis pejabat negara sendiri. Loyalitas partai-partai koalisi dituntut dengan klaim etis, tetapi melupakan prinsip etis yang paling fundamental menurut demokrasi konstitusional bahwa loyalitas tak dibenarkan untuk tujuan keburukan dan pelanggaran hukum. Gotong royong hanya dibenarkan dalam kebajikan dan takwa, tidak dalam kesesatan dan keburukan!
Dengan menempatkan kebaikan, kemaslahatan, dan kebahagiaan bersama sebagai tujuan fundamental politik, persoalan mempertahankan jabatan pemerintah menjadi perkara remeh-temeh. Pejabat negara boleh silih berganti, tetapi prinsip moral kekuasaan harus tetap ajek. Partai-partai politik, parlemen, dan lembaga kepresidenan sebagai pengemban amanat publik harus istikamah di jalan kebenaran. Itulah keagungan terakhir kepemimpinan negara.
Tulisan ini pernah dimuat di majalah Gatra, 4 Maret 2010.