Paham demokrasi (demokratisme) sama sekali tidak bisa menjamin bahwa warga-masyarakat suatu negara yang menjalankan akan bahagia, makmur, damai dan adil. pemerintahan manapun termasuk pemerintahan yang paling demokrasi tak akan mampu memenuhi tujuan-tujuan ideal tersebut. Bahkan dalam praktiknya demokrasi selalu mengecewakan dari apa yang dicita-citakan olehnya. Seperti usaha-usaha sebelumnya untuk mencapai pemerintahan yang demokratis, negara-negara demokrasi modern juga menderita banyak kerusakan.

Terlepas dari cacat demokrasi bagaimanapun juga kita harus terus memandang berbagai keuntungan yang membuat terus demokrasi diharapkan. Ada beberapa alasan mengapa demokrasi begitu marak ingin diwujudkan hingga saat ini. Setidaknya, menurut Robert Dahl ada sepuluh keuntungan demokrasi dibandingkan sistem politik lainnya, yaitu: 1) demokrasi menolong mencega tumbuhnya pemerintahan oleh kaum otokrat yang kejam dan licik, 2) demokrasi menjamin bagi warga negaranya dengan sejumlah hak azasi yang tidak diberikan dan tidak dapat diberikan oleh sistem-sistem yang non-domokratis, 3) demokrasi menjamin kebebasan pribadi yang lebih luas bagi warga negaranya daripada alternatif sistem politik lain yang memungkinkan, 4) demokrasi membantu rakyat untuk melindungi kepentingan dasar mereka, 5) demokrasi membantu perkembangan manusia lebih baik daripada alternatif sistem politik lain yang memungkinkan, 6) hanya pemerintahan yang demokrasi yang dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi orang-orang untuk menggunakan kebebasan dalam menentukan nasibnya sendiri, 7) hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menjalankan tanggung jawab moral, 8) hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat membantu perkembangan tingkat persamaan politik yang relatif tinggi, 9) negara-negara demokrasi perwakilan modern tidak berperang satu dengan lainnya, 10) negara-negara dengan pemerintahan yang demokratis cenderung lebih makmur daripada negara-negara dengan pemerintahan yang non-demokratis.

Pengalaman Indonesia di masa lalu baik di bawah rezim Orde Lama maupun di bawah pemerintahan Orde Baru, merupakan petunjuk betapa sulitnya jalan menuju masyarakat dan negara bangsa yang demokratis. Jika demikian halnya, mengapa beberapa negara berhasil mencangkok demokrasi setelah runtuhnya rezim otoriter sementara beberapa negara lainnya gagal?mengapa proses demokratisasi di beberapa negara berhasil sampai ketahap mengkristalnya demokrasi baru, sementara yang lainnya mandeg atau bahkan berantakan pada tahap-tahap awal? Setelah membandingkan dengan mengkaji beberapa kasus, Casper dan Taylor berpendapat, bahwa tahap pencangkokan demokrasi baru merupakan separuh dari proses demokratisasi. Kita tidak dapat berasumsi bahwa demokrasi akan tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Menurut mereka ada dua langkah penting yang harus dilakukan agar atau negara-bangsa dapat sampai pada kehidupan demokratis yang dicitakan. Pertama, langkah jangka pendek yang berkaitan dengan pencarian jalan keluar bagi kekuatan-kekuatan yang masih mendukung rezim lama,dan kedua, adalah langkah jangka panjang yang difokuskan pada proses konsolidasi demokrasi baru tersebut.

Kerangka tersebut bukanlah resep yang dapat mentransformasi otoritarianisme dan situasi anarkis saat ini menjadi kehidupan yang harmonis dari demokratis dalam sekejap mata, semalam, atau bahkan dalam hitungan bulan. Akan tetapi, seperti pada temuan Casper dan Taylor, bangsa kita dapat memompa optimisme dari mana usaha harus dimulai agar proses reformasi yang tengah bergulir tidak berakhir dengan kembalinya kekuasaan negara yang begitu besar (state centered) sehingga warna otoritarianisme atau bahkan fasis menjadi keadaan nyata sekali lagi di negeri ini.

Dalam buku On Democracy Robert Dahl menjelaskan bahwa demokrasi musti berwujudnya 1) adanya pemilihan umum yang bebas, adil, dan berkala, 2) kebebasan berpendapat, 3) adanya akses ke sumber-sumber informasi yang luas dan beralternatif, 4) adanya otonomi asosiasional, 5) dibangunnya pemerintahan perwakilan, dan 6) adanya hak warga negara yang inklusif.

Sistem politik yang demokratis pada hakikatnya memerlukan tiga prinsip dasar sebagai institusionalisasi demokrasi itu sendiri, seperti pertama, tegaknya etika dan moralitas politik sebagai landasan kerja sistem politik, ekonomi, dan sosial dalam horizon bernegara dan berbangsa. Kedua, tegaknya prinsip konstitusionalisme secara tegas, melalui pelaksanaan dan keputusan terhadap supremasi hukum dalam masyarakat dan ketiga, diberlakukannya dan dilaksanakannya mekanisme akuntabilitas publik, yakni mekanisme yang memosisikan semua pemegang jabatan publik sebagai pemegang amanat dari warga masyarakat sehingga dapat diminta pertanggung jawabannya.

Hampir sepuluh tahun transisi menuju demokrasi berlangsung banyak orang yang kini bertanya-tanya kemana arah reformasi ini bergerak? Bagaimana kelanjutan dari trasisi ini manakala rezim yang demokratis telah berkuasa? Bagaimanakah keberadaan perempuan dan bagaimanakah hubungan sipil dan militer pada pasca-Orde Baru? masih banyak pertanyaan lainnya. Sampai-sampai beberapa kalangan sangsi bila demokrasi ini bakal terhenti dan atau bahkan berbalik arah ke arah yang lebih buruk dari Orde Baru. Oleh karenanya, tujuan dan prioritas reformasi tak boleh hanya ditetapkan secara terbatas oleh elite-elite pembuatan kebijakan saja, tapi juga (bisa) dibuat melalui diskusi dan konsultasi yang meliputi seluruh warga masyarakat, dimana salah satu jalannya melalui pertukaran wacana. Dalam kajian politik peralihan dari rezim yang otoriter menuju rezim demokratis dapat muncul tiga pendekatan pertama, demokrasi dapat muncul oleh karena peran elit,  kedua, peran aktif masyarakat termasuk ornop, kelompok penekan, kelompok kepentingan untuk menggugat pemerintahan yang berkuasa, ketiga,kombinasi dari kedua pendekatan sebelumnya, yakni penggabungan antara peran aktif dari masyarakat dan keinginan dari elite yang berkuasa.

Masyarakat Sipil

Istilah civil society sering diartikan dengan masyarakat sipil atau masyarakat madani (selanjutnya digunakan istilah masyarakat sipil). Masyarakat sipil dalam konteks negara yang demokratis meliputi pelbagai pranata, seperti: pers yang bebas dan bertanggung jawab, berkembangnya organisasi nonpemerintahan (ornop) atau non-govermantal organisations (NGO’s) yang beroposisi secara loyal pada pemerintahan, merdekanya kelompok-kelompok agama dan adat, dan macam sebagainya. Dalam iklim demokrasi yang sedang tumbuh seperti di Indonesia, kelompok-kelompok ini dapat memainkan peran vital baik untuk mengawasi dan mengimbangi (check and balance) kekuasaan negara, dan ikut bekerja sama mewujudkan perubahan ke arah yang lebih demokratis. Dalam masyarakat sipil adalah mendekonstruksi pendidikan melalui penitikberatkan pada dimensi etika dan moral, bukan hanya aspek-aspek ritual dan tektualnya, tapi pada pengejawantahan praksisnya. Juga yang terpenting dalam membentuk pendidikan yang berkarakter bagi masyarakat luas adalah menebar gagasan bahwa pluralisme dan toleransi adalah bagian dari wadah mendemokrasikan demokrasi pada masyarakat sipil di Indonesia.

Keterwakilan Perempuan

Era reformasi ini memungkinkan penyeimbangan kembali posisi laki-laki dan perempuan dengan tujuan mengurangi ketimpangan yang telah terjadi selama ini. Tujuan ini tidak hendak menggantikan patriarki dengan matriarki, tapi untuk memastikan bahwa masalah perempuan dan laki-laki harus diberikan perhatian yang sama oleh negara dan di dalam masyarakat. Upaya ini sudah pasti menghadapi rintangan kultural dan agama sekaligus kepercayaan bahwa demokrasi yang baru tumbuh seperti di Indonesia punya prioritas yang lebih penting ketimbang persoalan gender belaka. Bila kita cermati lebih dalam, maka kepercayaan seperti ini amatlah keliru, sebab ketimpangan gender berada di jantung demokrasi yang sejadi. Karena, tidak mungkin ada demokrasi tanpa menyertakan partisipasi dan peran aktif dari kelompok perempuan. Oleh karena itu, konstitusi perlu diamandemen untuk memuat jaminan bagi kesetaraan dan kesamaan gender, termasuk didalamnya mengenai pertentangan terhadap diskriminasi, juga proses amandemen itu harus melibatkan peran aktif dari kelompok-kelompok perempuan yang ada.

Otonomi Daerah

Sistem yang selama ini diberlakukan harus direformasi melalui otonomi daerah yang tidak semu, yang istrumennya adalah Undang Undang (UU) No. 22/1999 dan Undang Undang (UU) No. 25/1999 dan peraturan-peraturan pelaksanaannya. Desentralisasi bakal berdampak sangat besar terhadap sosial ekonomi masyarakat lokal.

Readjusment perlu dilakukan disegala bidang termasuk juga bagaimana pemerintahan pusat mempertimbangkan pengalihan kekuasaan dan fungsi yang bisa dengan mudah dilaksanakan sendiri oleh pemerintah daerah. Jika otonomi diartikan seperti apa yang dibayangkan oleh Osborne dan Gaebler serta Frederickson dengan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada daerah untuk mengelola kekayaan daerahnya dengan penuh tanggungjawab, kelihatannya persoalan mengawal transisi menuju demokrasi akan lebih mudah.

Sipil-Militer

Dinamika hubungan sipil-militer yang terkait dengan civilian control secara teoritik dibahas dengan gamlang oleh Samuel P. Huntington, dalam bukunya the Soldier and the State (1956), kekuasaan militer dapat dikontrol atau diredam dengan cara memperbesar kekuasaan pihak sipil, seperti mekanisme Zero-sum game. Bila hal ini dapat terwujud kekuasaan pihak sipil yang besar, maka yang muncul kemudian adalah dua kemungkinan kontrol sipil atas militer, pertama, subjective civilian control asumsunya sipil mengontrol segala aktifitas militer ada ucapan militer harus tunduk pada kelompok sipil. kedua, objective civilian control sipil terhadap militer untuk memaksimalkan profesionalisme militer, pada kontek ini sipil me-format bentuk ideal dari sifat dan perilaku kelompok militer.

Penutup

Sejatinya mengawal proses menuju demokrasi di negara kita merupakan tugas seluruh anak bangsa, mulai: Mahasiswa, militer hingga buruh, dari anak-anak hingga orang tua dan oleh perempuan maupun pria. Demokrasi tidak mungkin dapat muncul bila semua orang ingin didengar atau ingin menjadi tokoh. Padahal jiwa demokrasi adalah menghormati perbedaan (Pluralitas) dan mengatur pelbagai perbedaan serta kepentingan melalui mekanisme yang disepakati.

Tulisan ini disampaikan pada School of Democracy PSIK Indonesia denagn tema “Memaknai Kembali Nilai-nilai Demokrasi,” Minggu, 19 Juli 2009 di Parongpong, Bandung.

 

Bacaan Akhir

Althusser, Louis. 1984. Essay on Ideology. London:Verso

Dahl, Robert A. 1999. On Democracy. New Haven and London:Yale Universty Press

Keane, John. 1988. Democracy and Civil Society. London:Verso

Huntington, Samuel. dan Joan nelson. 1994. partisipasi Politik di Negara Berkembang Jakarta:Rineka Cipta

Raharjo, Dawam. 1995. Sistem Pemilu:Demokratisasi dan Pembangunan Jakarta

Simanjuntak, Marsilam. 1997. Pandangan Negara Integralistik. Jakarta;Grafiti

Habermas.Jurgen. 1975. Legitimation Crisis. Boston: beacon Press

Fukuyama,Francis. 1995. Trust:the Social Virtues and the Creation of Prosperty New York:Free Press

Geertz, Clifford. 1973. Penjajah dan Raja. Jakarta:LPEM FE UI

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.