Tugas terberat seorang presiden,” ujar Lyndon B Johnson, ”bukanlah mengerjakan apa yang benar, melainkan mengetahui apa yang benar.” Untuk mengetahui apa yang benar, seorang presiden harus menemukan panduan dari norma-norma fundamental. Bahwa praktik demokrasi harus disesuaikan dengan mandat konstitusi, karena pengertian ”demokrasi konstitusional” tak lain adalah demokrasi yang tujuan ideologis dan teleologisnya adalah pembentukan dan pemenuhan konstitusi.
”Sebagai presiden,” seru Abraham Lincoln, ”aku tak punya mata kecuali mata konstitusi.” Dengan mata konstitusi, presiden bisa mengetahui apa yang benar. Bahwa di mata Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, menteri bukanlah pegawai tinggi biasa; karena menteri-menterilah yang terutama menjalankan kekuasaan pemerintah (pouvoir executif). Dan menurut pokok pikiran keempat dalam Pembukaan UUD 1945 (”Ketuhanan yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”), sebagai penyelenggara negara, menteri-menteri wajib memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
Atas dasar itu, uji kepatutan atas calon menteri tidaklah seperti memilih para pencari kerja dalam dunia usaha. Motif utama para pencari kerja adalah hidup dari pekerjaannya. Adapun menjadi menteri, motif utamanya bukanlah ”hidup dari negara”, melainkan ”hidup untuk negara”. Para menteri harus bekerja atas dasar ”panggilan”, bukan atas pengajuan lamaran demi penghasilan dan kenyamanan—atau, yang lebih buruk lagi, demi perampokan sumber daya negara bagi kepartaian.
Profesionalisme memang diperlukan, tetapi bukanlah jaminan untuk menjadi menteri yang benar. Seperti disinyalir Clement Attlee, mantan Perdana Menteri Inggris, ”Sering kali para ahli menjadi menteri terburuk dalam bidangnya sendiri.” Untuk menjadi menteri yang benar, seorang profesional harus bisa memelihara jiwa amatirisme. Jiwa yang tidak bekerja semata demi uang, tetapi karena panggilan patriotisme; jiwa yang tidak terbelenggu batas-batas teknis, melainkan mampu meletakkan keterampilan teknis dan kebijakan sektoralnya dalam kerangka ”kebenaran besar”, dalam semesta pembangunan nasional yang saling terkait, yang secara integral mengarah pada pemenuhan keadilan dan kesejahteraan umum.
Dengan mata konstitusi, presiden dan para menterinya juga mengemban tugas untuk melindungi dan meliputi bangsa seluruhnya, yang mampu mengatasi kepentingan golongan dan perseorangan. Betapapun mereka tampil karena dukungan partai atau kelompok tertentu, sekali mereka terpilih anasir-anasir partikularistik harus dikesampingkan demi kemaslahatan bersama. Untuk mengetahui apa yang benar, presiden dan menterinya harus bisa mentransendensikan diri dari kepentingannya dengan memperkuat empati terhadap suara kaum minoritas-marjinal serta jeritan rakyat miskin yang terempas dan terputus.
Pada akhirnya, untuk mengetahui apa yang benar, presiden dan menteri-menterinya harus terbuka bagi suara-suara alternatif di seberang pemerintah. Kebenaran tidak selamanya terungkap dalam kekuasaan yang cenderung korup. Demi kebaikan pemerintah sendiri, perlu ada kelapangan jiwa untuk menerima kehadiran oposisi.
Mandat reformasi menghendaki peran parlemen yang kuat, tidak lagi sekadar stempel pemerintah sebagaimana sebelumnya. Parlemen diharapkan mampu mengembangkan checks and balances yang dapat mengatasi kemungkinan persekongkolan destruktif antara legislatif dan eksekutif yang dapat mengarah pada apa yang disebut Bung Hatta sebagai ”negara kekuasaan”, ”negara penindas”.
Dalam memenuhi tuntutan tersebut, parlemen diberikan fungsi pengawasan terhadap pemerintah. Fungsi ini hanya bisa berjalan efektif sejauh ada kekuatan alternatif di luar partai-partai penyokong pemerintah. Peran kekuatan alternatif ini sangat vital sebagai corong untuk menyuarakan aspirasi publik maupun sebagai peniup peluit peringatan agar publik waspada akan adanya hal-hal yang tak beres dalam kebijakan pemerintah.
Dengan demikian, betapapun kecilnya suara alternatif ini, akan segera bersambung dengan suara publik di luar gedung parlemen, yang bisa mencegah pemerintah dari hal-hal yang tidak terpuji.
Tugas terberat presiden untuk mengetahui mana yang benar itu makin penting disadari karena lima tahun mendatang merupakan periode pembuktian bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di tengah keraguan dan ketidakpastian. Reputasi Yudhoyono sebagai jago pencitraan tak diragukan, tetapi kualitas kinerjanya masih perlu dibuktikan.
Citra tanpa bukti kinerja akan melahirkan kekecewaan dan apatisme. Padahal, seperti kata Robert Maynard Hutchins, ”Kematian demokrasi bukanlah karena tikaman oleh penyerangan, melainkan suatu kepunahan secara perlahan oleh apati, ketidakhirauan, dan kekuranggizian.”
Demokrasi memang merupakan pemerintahan dengan perdebatan, tetapi hanya akan mencapai efektivitasnya bilamana pemerintah mampu menyurutkan suara rakyat karena kepuasan mereka terhadap kinerja pemerintah.
Maka dari itu, seperti nasihat publik Amerika Serikat kepada Jimmy Carter, ”Kurangi bicara dan kembalilah ke meja kerja!”
Tulisan ini pernah dimuat di harian Kompas, 20 Oktober 2009.