Negara ini tak bisa dipimpin oleh kebohongan. Sekali kita menggunakan kebohongan sebagai cara meraih kekuasaan, manipulasi dan destruksi menjadi tak terelakkan sebagai praktik memimpin. Hasil akhir dari tindak kebohongan ini adalah pembodohan dan pengabaian rakyat secara berkelanjutan.

Demokrasi sejati menghendaki prosesi pemilihan pemimpin sebagai ikhtiar mempromosikan kebenaran. Ditilik dari suatu perspektif, kebenaran tak lain adalah ketidaktertutupan. Itulah sebabnya mengapa asas fairness, kejujuran dan keterbukaan, mendarahi seluruh prosesi pemilihan.

Kondisi jasmani-rohani calon presiden-calon wakil presiden harus diperiksa, sumber pendanaan kampanye harus diaudit, tim kampanye harus diverifikasi, informasi daftar pemilih, arus masuk dan tabulasi suara harus bisa diakses, lembaga survei dan penyiaran harus bisa dicek, lembaga pemilihan harus bisa diawasi. Di atas landasan itu pula, mengapa pada masa kampanye diperlukan arena perdebatan.

Menjadi presiden dan wapres tidak sekadar impian berbekal modal, manipulasi pencitraan dan komedi omong, tetapi memerlukan kemampuan kualitatif yang tecermin dalam visi yang terang dan konsep matang. Visi dan konsep mereka menentukan arah perjalanan bangsa lima tahun mendatang. Oleh karena itu perlu diuji dalam perdebatan publik.

Debat publik antarkandidat memiliki makna strategis. Acara ini merupakan suatu institusi vital bagi proses pengujian agenda-agenda kepresidenan pada masa mendatang. Bagi para kandidat, acara ini menyediakan wahana untuk mempertajam visi dan konsepnya. Keseriusan mereka merumuskan visi dan program untuk menghadapi perdebatan akan memberi mereka kesiapan dan kerangka kerja jika terpilih.

Bagi publik pemilih, acara ini membantu mengenali karakter dan kapasitas para kandidat yang bisa menghindarkan mereka dari praktik beli kucing dalam karung. Semua itu mengandaikan, acara perdebatan yang dirancang dan dijalankan secara baik.

Empat komponen

Profesor J Jeffrey Auer (1982) menekankan, acara debat kandidat yang benar harus memiliki setidaknya empat komponen esensial: adanya konfrontasi antarkandidat, proposisi yang dinyatakan secara jelas, keterlibatan pemirsa, dan kesederajatan antarkandidat.

Berdasarkan kerangka ini, kita pergoki acara-acara debat kandidat yang digelar televisi selama ini tidak memenuhi persyaratan.

Di banyak kesempatan, moderator tidak mendorong konfrontasi antarkandidat. Mereka dihadirkan bersama, tetapi tetap berbicara sendiri-sendiri menurut keinginannya sendiri-sendiri. Tidak ada adu argumentasi secara tajam mengenai suatu isu yang dilontarkan.

Dengan begitu, tidak ada proses pengujian dan pendalaman. Publik pemilih tidak diberi kesempatan untuk mengetahui seberapa serius dan seberapa kokoh penguasaan suatu kandidat mengenai masalah tertentu yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Kecenderungan pemandu acara untuk memelihara harmoni melanggengkan budaya politik lama yang melihat perdebatan sebagai konflik. Hal demikian tidak memberikan katalis bagi proses pendewasaan dan rasionalitas politik.

Perdebatan juga tidak memunculkan proposisi tertentu yang menjadi fokus kontroversi. Perdebatan dibiarkan melebar, menyajikan isu-isu umum yang menjadi klise. Tidak ada proses pengujian secara intens, bagaimana program dan strategi tiap kandidat untuk mengatasi masalah tertentu yang bersifat kritis. Tanpa fokus kontroversi, tak ada proses pendalaman.

Bagi para kandidat, hal ini memberikan celah untuk manipulasi atau mengumbar janji tanpa keseriusan pemikiran. Bagi publik pemilih, hal ini menyulitkan untuk mengukur kualitas dan kesungguhan masing-masing kandidat.

Dalam perdebatan selama ini, pemirsa nyaris tak dilibatkan. Keterlibatan pemirsa lewat suara moderator tak teraktualisasikan. Pertanyaan dilontarkan sekali tanpa ada kesempatan ulang untuk mengejar jawaban para kandidat mengenai isu yang dipersoalkan. Alih-alih melakukan pengujian terhadap kapasitas para kandidat, pertanyaan seperti ini lebih sering membantu para kandidat untuk mengelak dari kritik publik atau menjernihkan isu negatif yang melanda dirinya.

Dengan begitu, moderator tidak menjadi penyambung lidah publik, tetapi pemberi legitimasi bagi janji-janji kandidat.

Isu kesetaraan antarkandidat juga menjadi persoalan. Ada tendensi alokasi waktu yang diberikan kepada masing-masing kandidat tak dibatasi secara ketat, yang memberikan peluang bagi kandidat tertentu untuk ”mencuri” kesempatan. Belum lagi adanya kekhawatiran tentang adanya bocoran pertanyaan.

Memang benar ada kemajuan berarti dalam perdebatan terakhir dibandingkan dengan sebelumnya. Namun, tetap saja belum memenuhi persyaratan ideal. Dengan demikian, masih belum memenuhi tuntutan demokrasi untuk mengupayakan ketidaktertutupan.

Betapapun, kurun satu bulan terakhir telah memberikan ruang bagi kandidat dan tim suksesnya untuk berlomba mempromosikan kebenaran.

Mereka belajar menyusun visi dan misi yang transformatif, beradu strategi kampanye yang efektif, mengembangkan jaringan yang masif, membuat iklan yang persuasif, serta mempersiapkan dialog dan perdebatan yang cerdas.

Semua akumulasi pengetahuan dan pembelajaran dalam penyempurnaan demokrasi ini hanya bernilai sejauh ada jaminan kebenaran (ketidaktertutupan) dari institusi Komisi Pemilihan Umum. Institusi inilah yang akan menentukan nilai terakhir dari segala jerih payah ini. Di tangan merekalah hitam putihnya masa depan demokrasi dipertaruhkan!

Tulisan ini pernah dimuat di harian Kompas, 19 Oktober 2009.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.