Ilustrasi
Foto: Getty Images/iStockphoto/Yamtono_Sardi

“Bahasa Menunjukkan Bangsa.”

(Peribahasa)

Setiap gerakan kebangkitan selalu bermula dari tanda. Tanda baru yang menjadi mercusuar, ke arah mana idaman orang diarahkan; tanda baru yang menjadi pembatas antara tradisi dan inovasi, masa lalu dan masa depan.

Kata, bahasa, dan susastera adalah rumah tanda. Karena tidak ada kemungkinan mengada di luar tanda (bahasa), maka sebagai rumah tanda, mereka (kata, bahasa, dan susastera) pun menjadi rumah kehidupan. Meminjam Martin Heidegger, ”Language is the house of being.”

Sebagai rumah kehidupan, upaya perjuangan dan kebangkitan apa pun harus bermula dari bebenah kata, bahasa, dan susastera; dengan jalan merebut dan menghidupkan kembali darah kata.

Tak salah jika Partha Chatterjee (pemikir India) dan Reynaldo Ileto (pemikir Filipina) mengakarkan nasionalisme bukan (hanya) pada mesiu, perundingan, kognisi Barat, dan kapitalisme percetakan (print capitalism), melainkan pada emosi Dionysian (passion) yang dipancarkan puisi dan daya kata (Chatterjee 1986; Ileto, 1989).

Taruhlah, gerakan kebangkitan dan kebangsaan Indonesia. Budi Utomo bukanlah yang pertama dan satu-satunya aktor kebangkitan. Ia sekadar monumen dari arus sejarah kebangkitan yang melewati fase persiapan (gestation), fase pembentukan (formative), dan fase pematangan (consolidation). Di sepanjang lintasan fase pergerakan ini, perjuangan kata/bahasa sebagai penanda baru memainkan peran penting.

Perjuangan kata sebagai tonggak kebangkitan

Fase persiapan gerakan kebangkitan bermula pada akhir abad ke 19, distimulasi oleh kehadiran secara embrionik ruang publik modern di Hindia (Indonesia). Ruang publik yang dimaksud ialah domain tempat wacana dan opini publik diekspresikan serta tempat kegiatan-kegiatan intelektual dan politik diaktualisasikan.

Seperti diamati oleh Jürgen Habermas (1989), pembentukan tradisi intelektual modern dalam konteks Eropa Barat merupakan bagian dari kemunculan apa yang disebutnya sebagai ‘ruang publik borjuis’ (bourgeois public sphere) sekitar abad ke-17 dan ke-18. Ruang publik ini berpusat di seputar wacana kritis mengenai karya-karya sastra dari keluarga borjuis yang berorientasi pemirsa, dan berlangsung di lembaga-lembaga sosial yang baru muncul dalam ranah publik: seperti klub-klub, majalah-majalah, jurnal-jurnal, kedai-kedai kopi, salon-salon dan ruang-ruang kafe lantai atas (cenacles).

Ruang publik ini merupakan sebuah tempat pertemuan bagi lingkaran-lingkaran intelektual dari masyarakat (merkantil) Eropa yang terurbankan, yakni individu-individu perseorangan berbaur ‘demi berbincang secara bebas dan setara dalam wacana yang rasional sehingga membuat mereka menyatu menjadi sebuah kelompok yang relatif kohesif yang pertimbangan-pertimbangannya bisa menjadi suatu kekuatan politik yang tangguh’ (Eagleton 1997: 9).

Bibit-bibit kelahiran ruang publik modern di Hindia dimungkinkan oleh dampak ikutan dari penerapan ekonomi Liberal pada paruh akhir abad ke-19, yang bertanggung jawab dalam mendorong pendirian pers-pers vernakular (berbahasa lokal) serta dalam penyebarluasan klub-klub sosial bergaya Eropa. Lewat proses pendidikan dan mimikri dan dengan cara membaca pers vernakular yang didirikan oleh orang Eropa dan kemudian juga oleh orang keturunan China, serta dengan membentuk perhimpunan-perhimpunan, inteligensia pribumi pada akhirnya bisa menciptakan ruang publiknya sendiri.

Wacana dominan pada fase kecambah ruang publik modern ini berkisar pada isu kemadjoean. Kemadjoean dalam arti ini mengekspresikan suatu kehendak untuk mencapai status sosial yang ideal, baik sebagai individu maupun komunitas imajiner, yang meliputi banyak hal: kemajuan pendidikan, modernisasi (yang secara luas diasosiasikan dengan Westernisasi), kehormatan, dan keberhasilan dalam hidup.

Sampai akhir abad ke-19, peran para guru dalam mempromosikan wacana kemadjoean sangatlah menonjol, setidaknya karena dua alasan. Pertama, profesi guru hingga masa ini menghimpun porsi terbesar dari orang-orang pribumi berpendidikan terbaik, dan sebagai para pendidik, mereka merupakan pihak yang paling merasa terpanggil untuk mengemban misi suci untuk mencerahkan saudara-saudara sebangsanya.

Kedua, fakta bahwa profesi guru kurang dihargai jika dibandingkan dengan posisi-posisi administratif mungkin telah menstimulasi mereka untuk menjadi artikulator dari konsep ‘kemadjoean’ dalam rangka menjadikannya sebagai tolok ukur baru dalam menentukan privilese sosial. Peran yang menonjol dari para guru ini menunjukkan bahwa ‘intelektual organik’ dari bibit inteligensia pada akhir abad ke-19 ini terutama berasal dari lingkaran-lingkaran para guru.

Para guru melancarkan tuntutan dan kritik mereka terutama lewat majalah-majalah pendidikan, seperti Soeloeh Pengadjar di Probolinggo (yang pertama kali terbit pada tahun 1887) dan Taman Pengadjar di Semarang (terbit sekitar tahun 1899-1914). Majalah-majalah itu memainkan peran yang signifikan dalam mengartikulasikan aspirasi-aspirasi guru pribumi bagi penghapusan diskriminasi dalam pendidikan.

Seiring dengan itu, persis menjelang akhir abad ke-19, perkumpulan guru paling berpengaruh terbentuk, yang diberi nama klub ‘Mufakat Guru’. Cabang-cabang dari klub ini bermunculan di berbagai kabupaten dan kawedanan di Jawa. Tujuan dari ‘Mufakat Guru’ pada pokoknya ialah ‘untuk membuka jalan bagi para guru untuk bersatu dan berdiskusi mengenai permasalahan dan isu kemadjoean.

Tuntutan utama dalam proyek emansipasi kaum guru ini berkisar pada upaya perjuangan kata/bahasa, yakni perluasan akses terhadap kepustakaan serta peningkatan pengajaran bahasa Belanda di sekolah-sekolah pendidikan guru pribumi dan pengajaran bahasa Belanda bagi semua anak pribumi (Adam 1995: 89).

Dengan trajektori kemadjoean yang telah dirintis kaum guru, sedini awal dekade pertama abad ke-20, terjadilah fase formatif ruang publik modern. Sejauh mengenai perkembangan pers vernakular, dekade pertama abad ke-20 merupakan momentum paling penting dalam sejarah keterlibatan kaum pribumi dalam bidang tersebut.

Sementara pada abad ke-19, telah ada beberapa redaktur dan jurnalis pribumi yang bekerja untuk pers milik orang Belanda/Indo dan orang keturunan China, peran kaum pribumi dalam dekade awal abad ke-20 jauh lebih substansial. Di samping jumlah redaktur dan jurnalis pribumi yang meningkat, para anggota dari inteligensia pribumi itu sekarang telah mendirikan pers yang sepenuhnya dimiliki dan dikelola oleh kalangan pribumi sendiri.

Para jurnalis pribumi yang paling terkemuka pada masa itu berasal dari para pelajar atau mantan pelajar sekolah Dokter-Djawa/Stovia. Di antara mereka, yang paling terkenal ialah Abdul Rivai (lahir tahun 1871) dan Tirto Adhi Surjo (1880-1918). Melanjutkan tradisi perjuangan kaum guru, para juranalis-inteligensia ini juga memancangkan tongkat kebangkitan lewat bahasa dan konstruksi tanda.

Menulis pada edisi perdana (1902) majalah pengobar ‘kemajuan’, Bintang Hindia, Abdul Rivai memperkenalkan istilah ‘bangsawan pikiran’. Dikatakan, “Tak ada gunanya lagi membicarakan ‘bangsawan usul’, sebab kehadirannya merupakan takdir. Jika nenek-moyang kita keturunan bangsawan, maka kita pun disebut bangsawan meskipun pengetahuan dan capaitan kita bagaikan katak dalam tempurung. Saat ini, pengetahuan dan pencapaianlah yang menentukan kehormatan seseorang. Situasi inilah yang melahirkan ‘bangsawan pikiran’.”

Tulisan seorang lulusan sekolah Dokter-Jawa ini, mewakili kegetiran anak-anak terdidik dari kalangan priyayi rendahan dan non-bangsawan. Karena administrasi pribumi, sebagai lambang kehormatan, diperuntukkan bagi anak-anak priyayi tinggi, anak-anak dari kalangan ini cenderung memilih sekolah menak yang disebut hoofdenschool (awal abad 20 menjadi OSVIA). Sementara itu, perluasan birokrasi dan kapitalisme memerlukan tenaga-tenaga pertukangan. Sekolah Dokter-Jawa (awal abad 20 menjadi STOVIA) dan sekolah guru (Kweekschool) semula dirancang untuk memenuhi keperluan itu.

Diskriminasi tidak sendirinya lenyap dengan menyandang ijazah. Baik dalam standar gaji maupun status sosial, lulusan STOVIA lebih rendah ketimbang lulusan OSVIA. Situasi inilah yang mendorong kaum terdidik dari keturunan priyayi rendahan dan non-bangsawan berjuang memancangkan ‘pikiran’ sebagai tanda baru kehormatan sosial.

Dalam usaha itu, anak-anak STOVIA bermotivasi tinggi untuk memperjuangkan gerakan-gerakan kebangkitan. Salah satu yang terpenting ialah pendirian perkumpulan Budi Utomo (BU) pada 1908. Dengan melancarkan kritik terhadap kegagalan kepemimpinan priyayi tua dalam melindungi kepentingan rakyat, pada awalnya BU bermaksud memperjuangkan kepemimpinan kaum muda. Meskipun terbukti, pengaruh priyayi mapan masih terlalu kuat, membuat BU segera dibajak oleh kalangan priyayi konservatif.

Betapapun, BU menjadi tonggak penting dalam pertumbuhan gerakan kebangkitan berbasis ‘bangsawan pikiran’. Sejak itu, ‘pikiran’ menjadi peta-jalan bagi ideal-ideal generasi selanjutnya. Memasuki dekade kedua abad ke-20, dengan dibukanya sekolah ala Eropa bagi penduduk bumiputera, seperti HIS (sekolah dasar), MULO (sekolah menengah pertama), dan AMS (sekolah menengah atas), orang-orang terdidik dari keturunan priyayi-rendahan dan nonbangsawan makin besar jumlahnya.

Berpijak pada peta-jalan yang telah dipancangkan generasi sebelumnya, angkatan baru kaum terdidik begerak lebih maju dengan mencampakkan kata bangsawan yang mendahului kata pikiran. Seseorang menulis di Sinar Djawa (4 Maret 1914): “Dengan pergeseran waktu, telah muncul jenis bangsawan baru, yakni ‘bangsawan pikiran’. Namun, jika bangsawan pikiran ini hanyalah kelanjutan dari bangsawan usul, perubahan dan pergerakan tak akan pernah lahir.”

Maka tanda baru segera dicipta, tanda yang sepenuhnya bebas dari imaji kebangsawanan, dan bekhidmat sepenuhnya pada pikiran. Tanda itu bernama ‘kaum terpelajar’ atau ‘pemuda-pelajar’, atau seringkali diungkapan dalam bahawa Belanda, ‘jong’. Dalam tanda dan peta-jalan seperti inilah generasi Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Natsir dibesarkan.

Semua tokoh-tokoh ini lahir pada dekade pertama abad ke-20, dan semuanya tak bisa dikatakan sebagai anak-anak priyayi tinggi. Soekarno hanyalah anak priyayi-rendahan yang mujur bisa masuk ELS karena pertolongan seorang guru Belanda; Hatta adalah anak ulama-pedagang, yang beruntung bisa diterima di ELS karena kekayaan keluarganya; Sjahrir berlatar sedikit lebih baik, ayahnya seorang jaksa pribumi sehingga diterima di ELS; keluarga Natsir lebih rendahan lagi, ayahnya hanyalah seorang jurutulis kontelir, yang membuatnya hanya diterima di HIS. Alhasil, mereka bisa memasuki pendidikan sistem Eropa, berkat kegigihan generasi sebelumnya dalam menciptakan tanda; tanda yang membuat Belanda terpaksa mengendurkan persyaratan keturunan.

Kebetulan juga, generasi ini merupakan buah pertama dari gelombang ‘pembelandaan (Dutchification) yang intens serta politik asosiasi yang dicanangkan oleh Snouck Hurgronje. Memasuki abad ke-20, bahasa dan budaya Belanda makin penting menyusul perluasan operasi perusahaan-perusahaan swasta Eropa, perluasan birokrasi dan institusi pendidikan, kemudahan hubungan antara Eropa dan Nusantara akibat dibukanya Terusan Suez (1869) serta munculnya armada-armada pelayaran swasta. Sejak itu, bahasa Belanda menggantikan bahasa lokal dalam pergaulan formal. Saat yang sama, politik asosiasi juga memperluas terpaan Barat terhadap kaum terdidik bumiputera.

Kedua hal ini memperluas akses kaum terdidik bumiputera terhadap pengajaran bahasa Belanda dan Eropa lainnya. Dengan bahasa sebagai kunci pembuka kepustakaan dunia, genenasi Sukarno mampu berkenalan langsung dengan pemikiran dan wacana semasa tanpa perantara.

Akses kepustakaan kaum inteligensia ini diperkuat oleh kebijakan pemerintahan kolonial untuk mendirikan sebuah ‘rumah penerbitan buku’, yang memiliki dampak yang signifikan terhadap perkembangan kepenulisan dalam sejarah Hindia di kemudian hari. Pada tahun 1908, pemerintah membentuk sebuah komisi untuk memberikan saran bagi penyediaan bahan bacaan bagi kaum pribumi dan sekolah-sekolah pribumi.

Apapun agenda tersembunyi dari komisi tersebut, yang jelas keberadaan BP berperan penting dalam penyediaan bahan-bahan bacaan yang murah bagi khalayak umum di Hindia. Selain itu, dalam pandangan para kritikus sastra, A Teeuw, lahirnya novel modern Indonesia dan popularitasnya sangat dimungkinkan oleh keberadaan dari Balai Pustaka. Bahkan kebanyakan pujangga nasional dari dekade selanjutnya merupakan mantan pegawai, entah untuk jangka waktu lama atau sebentar, dari BP. Atau paling tidak beberapa karya mereka pernah diterbitkan BP.

Dengan demikian, makna penting dari rumah penerbitan (buku) yang disponsori pemerintah ini pada kurun waktu itu adalah dalam fungsinya sebagai medan permagangan bagi para anggota inteligensia untuk meniru aktivitas kesusastraan Barat. Proses peniruan ini membuka jalan bagi keterpautan literati Hindia ke dalam semangat universal ‘Respublica litteraria’ (Republik Para Pujangga).

Sementara kesusastraan BP masih bersifat apolitis, sebuah genre kesusastraan politik menemukan medium ekspresinya dalam koran-koran dan majalah-majalah vernakular dalam bentuk literatur serial. Contoh-contoh dari genre novel politik yang diterbitkan dalam dekade tersebut ialah Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo, dan Hikajat Kadiroen karya Semaun. Sementara karya yang pertama diterbitkan dalam koran Sinar Hindia Semarang pada tahun 1918, karya yang kedua diterbitkan oleh koran yang sama pada tahun 1920.

Dimuatnya dua cerita bersambung dalam koran tersebut mencerminkan peran penting kesusateraan dan medianya dalam menyuarakan bahasa nasionalisme. Imajinasi kesasteraan tentang kemerdekaan bahkan mendahului dan memberi inspirasi bagi gerakan-gerakan kemerdekaan yang menjadi agenda gerakan politik di kemudian hari.

Demikianlah, perjuangan kebangkitan selalu dimulai dari kerja wacana. Tanpa kata, perjuangan kehilangan arah. Seperti itu jugalah generasi Sukarno. Praksis wacana lewat kelompok studi, kerja jurnalistik, dan kesasteraan menjadi tahap awal dari perjuangan mereka. Sejak 1924, Hatta terlibat aktif di Perhimpunan Indonesia berikut jurnalnya Indonesia Merdeka, seraya tak lupa menulis puisi-puisi patriotik .

Pada 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studieclub berikut jurnalnya, Indonesia Moeda. Saat yang sama ia juga aktif sebagai editor malajah SI, Bandera Islam (1924-1927), bahkan selama pembuangan tak luput menulis naskah drama. Seperti Hatta, Sjahrir aktif di Perhimpunan Indonesia, dan kelak berperan penting dalam jurnal Daulat Rakyat. Ia pun dikenal sebagai pemain sandiwara dengan erudisinya yang luas di bidang kesusasteraan. Natsir mengikuti beberapa kelompok diskusi dan terlibat intens di Persatuan Islam. Sejak 1929 ia mulai menekuni kerja jurnalistik sebagai ko-editor dari jurnal Pembela Islam.

Menulis adalah mencipta, dan mencipta selalu mensyaratkan membaca. Semakin banyak mencipta, semakin banyak membaca; semakin kaya bacaan, semakin kaya hasil penciptaan.

Yang pertama mereka ciptakan adalah nama. Tanda pengenal diri, yang memberi kesadaran eksistensial. Jika tak suka dengan rumah kolonial, hal pertama yang harus dirobohkan adalah tanda-tanda yang diciptakannya. Jika Belanda menandai tanah-air ini sebagai Hindia-Belanda, yang diperjuangkan generasi Sukarno adalah memberi nama baru kepada tumpah darahnya.

Semula ditemukan sebuah istilah dalam bahasa Belanda ‘Indonesische’, yang merujuk pada suatu geo-kultur di kawasan Austronesia yang berciri kepulauan dan bercorak kultur India. Maka pada 1922, perkumpulan pelajar Indonesia di Negeri Belanda, Indische Vereeniging, berubah menjadi Indonesische Vereeniging. Pada 1924, Sutomo mendirikan kelompok studi pertama pemuda-pelajar bumiputera dengan nama ‘Indonesische Studieclub’.

Mencipta nama pada akhirnya mengisyaratkan bahasa. Jika yang diperlukan adalah sebuah nama yang otentik, maka bahasa yang digunakan mesti berbeda dengan bahasa kolonial. Maka nama Indonesische segera diubah menjadi Indonesia. Akhir 1924, Indonesische Vereeniging berganti menjadi Perhimpunan Indonesia. Lantas, perhimpunan-perhimpunan sosial politik di tanah air mulai mengimbuhkan kata ‘Indonesia’ di balik namanya. Segera saja Indonesia pun menjadi nama bangsa, sedang bahasa Indonesia menjadi identitas-kebangsaan. Monumennya dipancangkan pada peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Dari sinilah kemerdekaan Indonesia menemukan jangkarnya.

Tragedi Indonesia

Apabila gerakan kebangkitan di masa lalu berhasil memancangkan ’pikiran’ dan ’keberaksaraan’ sebagai tanda kemajuan, lantas tanda apakah gerangan yang kita ciptakan masa kini, seabad setelah BU berdiri? Inilah pertanyaan genting yang harus dicermati.

Terdapat tanda-tanda bahwa ‘pikiran’ dan keberaksaraan tak lagi menjadi ukuran kehormatan. Inteligensia dan politisi berhenti membaca dan mencipta, karena kepintaran kembali dihinakan oleh ‘kebangsawanan baru’: kroni dan kemewahanterdapat indikasi bahwa ‘pikiran’ dan keberaksaraan tak lagi menjadi ukuran kehormatan.

Penaklukan daya pikir dan daya literasi oleh pragmatisme dan banalisme membuat mindset kebangsaan kehilangan daya refleksivitasnya? Tanpa kemampuan refleksi diri, suatu bangsa kehilangan wahana pembelajaran untuk menakar, memperbaiki dan memperbaharui dirinya sendiri.

Tanpa kapasitas pembelajaran, bangsa Indonesia (secara keseluruhan) bergerak seperti zombie. Pertumbuhan penampilan fisiknya tak diikuti perkembangan rohaninya. Tampilan luar dari kemajuan peradaban modern segera kita tiru, tanpa penguasaan sistem penalarannya. Sebagai pengekor yang baik dari perkembangan fashion dunia, kita sering merasa dan bergaya seperti bangsa maju. Padahal, secara substantif, tak ubahnya bak Peterpan yang mengalami fiksasi ke fase “kanak-kanak” (jahiliyah). Bahkan bisa lebih buruk lagi. Dalam kasus strategi kebudayaan, kita cenderung mempertahankan yang buruk dan membuang yang baik.

Dalam situasi demikian, gerakan kebudayan yang mengeluhkan apa yang disebut Taufiq Ismail sebagai ”generasi nol buku”, yang berpotensi mengalami kelumpuhan daya tulis, daya baca, dan daya pikir, secara tepat menyasar pusat saraf kelumpuhan kebudayaan Indonesia.

Gerakan kebudayaan seperti ini penting untuk melakukan koreksi terhadap kecenderungan untuk menjadikan politik dan ekonomi sebagai panglima. Dalam teori sosial secara umum, responsibilitas untuk perubahan biasanya dialamatkan pada faktor-faktor semacam modernisasi, kapitalisme, imperialisme, figur karismatik atau individu-individu berpengaruh

Hal ini mengabaikan kenyataan bahwa reformasi sosial tidak akan pernah muncul hanya mengandalkan reformasi politik dan ekonomi, melainkan perlu berjejak pada reformasi sosial-budaya.

Gerakan kebudayaan merupakan jantung dari reformasi sosial. Pada dekade 1960-an, Herbert Marcuse menekankan dimensi estetik dari gerakan sosial pada masa itu, dengan menegaskan bahwa dalam seni, musik dan sastera lah gerakan-gerakan sosial mengingat dan menyimpan tradisi kritik dan perlawanan (Marcuse, 1969). Hal ini diperkuat oleh Richard Flacks dalam analisisnya tentang “tradisi kiri” Amerika, yang mengindikasikan bahwa gerakan sosial seringkali lebih penting sebagai aktor budaya ketimbang politik (Flacks, 1988).

Reformasi sosial merupakan fungsi dari perubahan proses belajar sosial secara kolektif, yang membawa transformasi tata nilai, ide dan jalan hidup (ways of life). Dalam hal ini, minat pengetahuan (knowledge interest) serta aktivitas produksi ide (ideas-producing activities) sangat esensial dalam mengonstruksikan identitas kolektif baru yang memungkinkan gerakan sosial mampu memelihara vitalitasnya.

Dalam ketiadaan platform politik yang jelas, gerakan kebudayaan menjadi alternatif menjaga kewarasan publik. Adalah melalui sastera, nyanyian dan seni yang lain—yang dibudayakan dalam masyarakat—yang bisa membuat gerakan dan cita-cita sosial bisa bertahan dalam memori kolektif.

Dalam kaitan ini, ada baiknya kita simak pernyataan Antonio Skármeta, Sastrawan Chile, ”Jika modernitas bukan sekadar budaya efisiensi, dan jika demokrasi bukan hanya pesta pemilihan dan penjelimetan prosedur politik, akan selalu ada intelektual-sastrawan di seberang struktur politik—berhadapan dengan mereka yang memburu kekuasaan—di luar institusionalisasi akademik dan negara. Akan selalu ada intelektual-sastrawan yang melontarkan pertanyaan jenaka, menafsirkan kembali kontroversi dengan memunculkannya lagi untuk menunjukkan bahwa hal-hal yang mungkin diabaikan agenda publik, atau digelapkan oleh media masih absah dipertanyakan” (Skármeta 1996: 48-49).

*Tulisan ini telah dipublikasikan di harian Media Indonesia, 30 Oktober 2023.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.