Jean Baudrillard (1929-2007), filsuf Prancis dan teoretikus kebudayaan yang dikenal dengan teori hiper-realitas, wafat pada 6 Maret lalu. Pemikiran tokoh postmodern ini penting untuk membaca gejala sosial ketika “ruang dan waktu telah dimediakan”. Selain itu, untuk membaca gejala munculnya apa yang disebut dengan masyarakat konsumer.
Hampir tiap hari kita menyaksikan berbagai bentuk obyek produksi diciptakan, dipublikasikan, dan dikonsumsi. Masyarakat kita hari ini menghabiskan waktu tanpa melewatkan kesempatan untuk mengkonsumsi. Setiap saat mal sebagai pusat perbelanjaan selalu dipenuhi tubuh-tubuh yang haus akan benda-benda produksi. Muncullah apa yang dinamakan masyarakat konsumer (the consumer society). Masyarakat yang tak dapat melepaskan konsumsi. Tak ayal bila slogan dari masyarakat saat ini adalah “aku mengkonsumsi maka aku ada”, “I consume therefore I am”.
Tapi sepertinya usang apa yang diungkapkan oleh Karl Marx bahwa komoditas produksi didasarkan atas nilai tukar (exchange-value) daripada nilai guna (use-value). Juga para generasi penerusnya, seperti Marcuse dan Adorno, yang menisbahkan masyarakat kapitalisme lanjut (late capitalism society) ditandai dengan kolonisasi semua ruang kehidupan masyarakat oleh nilai tukar, bukan nilai guna.
Seni, media, budaya, dan politik dimanipulasi dalam rangka kepentingan-kepentingan nilai tukar. Ketika menciptakan seni, bukanlah demi seni itu sendiri, melainkan demi mendapatkan nilai tukar agar laku di pasar dengan harga dan keuntungan yang lebih tinggi. Nilai tukar yang hanya berlaku dalam bentuk produksi barang pada zaman Marx meluas menerobos masuk ke semua bentuk kehidupan masyarakat modern, termasuk seni. Seluruh relasi antarmanusia juga diperantarai oleh komoditas. Inilah apa yang dinamakan Adorno dengan masyarakat yang tereifikasi (hubungan kebendaan).
Keusangan itu terlihat pada bagaimana obyek-obyek produksi dan konsumsi pada zaman yang dinamakan postmodern tidak lagi didasarkan atas nilai tukar sebuah obyek, tapi lebih didasarkan atas “pencitraan,” “simbol”, dan “tanda.” Pada zaman ini, komoditas dipenuhi oleh citra dan tanda. Membeli celana jins bukan saja demi jins itu sendiri atau demi nilai tukar jeans itu, melainkan demi membeli citra tentang jins. Piano di ruang tamu tak hanya sebuah alat musik, tapi juga simbol kelas menengah. Belanja di mal bukan hanya karena faktor kenyamanan, melainkan juga gengsi. Citra, image, dan simbol adalah modal yang dipertaruhkan, direbut, dan sekaligus dirayakan dalam semua bentuk kehidupan manusia zaman ini.
Sebagai contoh, elektronik merek Sony tentu dianggap lebih prestisius dan bergengsi daripada merek lainnya. Lea sebagai merek jins mewakili kedudukan status sosial tertentu. Cukup wajar bila manusia zaman kini berjuang untuk mendapatkan Lea atau Sony, bukan hanya sebagai alat elektronik atau pakaian, melainkan demi citra dan status sosial. Kita ingat beberapa citra yang diproduksi oleh beberapa produk: sepeda motor Mega Pro: “Motornya Lelaki”, rokok Gudang Garam: “Pria Punya Selera”, dan lain-lain. Semua itu menunjukkan bagaimana citra dan image selalu melekat dan diproduksi dalam sebuah komoditas. Dan kita selalu diarahkan tidak hanya membeli komoditas, tapi juga image dan citra.
Kenyataan ini disebut oleh Jean Baudrillard dengan the regime of sign-value, sebuah rezim tanda ketika manusia hidup dan menikmati hidup dengan mengkonsumsi tanda. Buruh juga bukan hanya sebatas agen produksi, melainkan tanda di antara tanda-tanda yang lain (sign among signs), tanda yang menunjukkan kedudukan sosial dan cara hidup bahwa ia seorang buruh.
Dunia simulasi
Cukup rasional bila Baudrillard menamakan masyarakat masa kini adalah masyarakat simulasi (the society of simulation). Terilhami semiologi, ia mengembangkan konsep-konsep dalam semiologi dan memakainya untuk menganalisis masyarakat. Sementara Adorno dan Horkheimer memakai Marxisme sebagai landasan teoretis untuk mengkritik masyarakat dan kebudayaan, Baudrillard merefleksikan kebudayaan lewat pendekatan-pendekatan semiologi. Jadi tak mengherankan bila keduanya berada pada kesimpulan yang berbeda. Yang sungguh menarik adalah bahwa menurut Jean Baudrillard, dalam masyarakat kapitalisme, produksi tidak lagi didasarkan pada exchange-value, tapi sign-value.
Dalam masyarakat seperti ini, sign-value memproduksi dan memasuki dunia periklanan, media, fashion, dan konsumsi secara baru. Dunia-dunia seperti itu bahkan kadang lebih sering dianggap yang real dibanding dunia di luarnya. Kita percaya begitu saja bahwa apa yang dibentuk oleh media, mode, dan produksi merupakan kenyataan nyata, padahal dunia itu tak lain adalah dunia tanda dan simbol.
Konsekuensinya, ketika berbagai bentuk kehidupan dikolonisasi oleh sign-value, yang ada hanyalah realitas tanda. Dalam dunia yang dikerumuni tanda, keberadaan yang real sudah tiada (the death of the real). Sebab, kenyataan adalah relasi dan konstruksi atas tanda. Sungguh mustahil menemukan suatu esensi realitas bila semua realitas adalah tanda. Bukan hanya realitas itu adalah sesuatu yang dikomodifikasi (the comodification of reality), melainkan komodifikasi itu sendiri sudah merupakan realitas (the reality of comodification).
Karena itu, nilai (value) pun sesuatu yang sulit digapai bila yang kita sebut nilai adalah sesuatu yang inheren di dalam obyek. Jika pada zaman modern nilai merupakan sesuatu yang inheren di dalam obyek dan dapat digapai, nilai juga sesuatu yang dapat diproduksi oleh subyek, pada masa kini nilai adalah sesuatu yang mustahil diraih dalam diri obyek. Sebab, nilai mengandaikan kedalaman, dimensi yang tersembunyi, dan substratum yang tetap, sedangkan zaman kini adalah zaman yang segala sesuatunya visible, eksplisit dan transparan, serta selalu berubah. Sebab, obyek juga selalu sudah terkomodifikasi oleh tanda dan simbol. Karena itu, pencarian akan nilai selalu terselubung di dalam jejaring tanda dan simbol.
Begitu juga dengan masalah identitas. Identitas dikonstruksi dalam relasinya dengan tanda dan simbol. Siapakah aku? Jawaban atas itu selalu dikonstruksi dalam relasinya dengan apa yang dapat aku beli dan apa yang dapat aku konsumsi. Ketika tanda dan simbol itu mengalami perubahan, identitas menjadi gagap dan mengalami krisis. Tak aneh bila di zaman kita, individu sering mengalami gagap diri dan identitas sering mengalami fragmentasi. Sebab, simbol dan tanda yang menjadi acuan identitas selalu berubah, sedangkan identitas mengandaikan stabilitas.
Akhirnya, yang asli (the pure) hanyalah mimpi para pujangga yang tak pernah tercapai. Yang origin hanyalah kisah masa lalu yang romantis. Semuanya hanyalah tanda yang bertalian dengan tanda yang lain. Teks yang berkaitan dengan teks yang lain (inter-textuality). Karena itu, trace (jejak) adalah sumber sekaligus esensi dari masyarakat seperti ini. Meminjam pemikiran Walter Benjamin, reproduksi mekanis telah menghilangkan apa yang disebutnya dengan aura. Sungguh suatu masyarakat yang hidup dalam dunia hiper-realitas, dunia tanpa esensi, tanpa yang origin, dan tanpa yang pure.
Pada sistem dan struktur masyarakat seperti itu, yang tersisa hanyalah pilihan individu yang bebas. Sebab, bagaimanapun, kebebasan individulah yang mampu menjaga jarak dengan realitas, yang mungkin mampu melampaui dunia tanda yang diproduksi oleh kapitalisme. Kehendak individulah yang mampu menindak atas reproduksi tanda. Mereka individu yang menjadikan komoditas produksi tak lebih dari sekadar sekumpulan alat dan obyek, tanpa prestise tertentu. Maka diri tetap tak berubah entah kita mengkonsumsinya entah tidak. Sebab, secara primordial relasi manusia dengan benda-benda selalu dalam arti obyek atau alat, bukan tanda dan simbol.
Tulisan ini pernah dimuat di Koran Tempo, 11 Maret 2007.